Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Keluarga Iskandar Merawat Aksara Incung yang Berusia 1.000 Tahun

Kompas.com - 21/02/2021, 20:54 WIB
Suwandi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Keteladan yang diberikan Iskandar menempa Deky untuk terus menyelami incung dalam kitab-kitab tua, yang tersimpan di rumah-rumah masyarakat Kerinci.

Merajut masa lalu dan masa depan

Seorang anak tengah khusuk menggores kertas sembari memandangi layar ponsel dan mendengar instruksi dari guru. Meskipun di masa pandemi, mata pelajaran muatan lokal, menulis incung tetap berlangsung.

“Ini huruf ka, ga, nga, ta, da, na, pa, ba, ma, ca, ja, nya, sa, ra, la, wa, ya, ha, hua, mba, ngga, nda, nja, mpa, ngka, nta, nca, ngsa,” suara guru mengeja huruf incung yang diikuti oleh Puteri dengan serius.

Gairah untuk melestarikan aksara incung juga datang dari Pemerintah Kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci.

Sebelum 2016, Pemkot Sungaipenuh meminta Deky Syaputra untuk melatih puluhan guru, yang nantinya sebagai pengajar incung di sekolah.

Kepala Dinas Pendidikan Sungaipenuh, Hadiyandra menuturkan, masuknya incung dalam materi pembelajaran di sekolah harus dilakukan. Menurutnya, incung adalah salah satu aksara tertua yang dimiliki Jambi, khususnya Kerinci.

Sementara orang yang mampu membaca dan menulis incung jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Bahkan beberapa orang telah meninggal dunia seperti Iskandar Zakaria dan Amirudin Gusti. Makanya, Pemkot Sungaipenuh merumuskan bahan ajar muatan lokal aksara incung.

Incung sendiri mulai menjadi mata pelajaran di sekolah sejak 2016. Pada saat itu, sambung Hadiyandra baru sekolah dasar kelas 4,5 dan 6.

“Harus mulai dari dasar dulu. Makanya diajarkan ke sekolah dasar. Kemudian tahun 2018 baru SMP untuk semua kelas,” kata Hadiyandra menjelaskan.

Incung yang dipelajari di sekolah ada 28 huruf. Materi pembelajarannya mulai dari pengenalan huruf, cara membaca, penulisan dan tanda baca. Tidak banyak tanda baca yang diberikan, hanya huruf (u) dan (i) serta (ng) dan (ah).

Berbeda dengan aksara nusantara lainnya, incung amat mudah dipelajari. Namun butuh penyesuaian dialek apabila menggunakan bahasa Kerinci.

“Kalau siswa yang sudah belajar incung itu sudah ribuan. SMP saja di Sungaipenuh ada 12 sekolah, sementara SD hampir 100 sekolah,” sebut Hadiyandra lagi.

Untuk guru sendiri, yang sudah mampu membaca dan menulis serta mengajarkan kepada siswa jumlahnya sudah hampir 200 orang.

Tidak mau ketinggalan dengan adiknya, Kabupaten Kerinci juga memasukkan incung dalam pelajaran muatan lokal di sekolah. Tahun ini, sudah menguji coba ke semua SD kelas 4, 5, dan 6.

“Kita sangat mendukung incung dipelajari di sekolah, agar dikenal generasi muda. Karena incung salah satu karya budaya leluhur, harus dilestarikan,” kata Bupati Kerinci Adirozal.

Aksara incung dan upacara adat

Iskandar Zakaria saat menunjukkan benda pusaka berupa tanduk yang bertuliskan aksara incungkompas.com/Suwandi Iskandar Zakaria saat menunjukkan benda pusaka berupa tanduk yang bertuliskan aksara incung

Digitalisasi dan pembelajaran di sekolah adalah cara terbaik untuk melestarikan incung pada hari ini dan masa depan. Namun ratusan tahun lalu, nenek moyang orang Kerinci, sudah mengenal pelestarian dengan menjadikan incung sebagai benda pusaka dan sakral.

Pelestarian incung dilakukan secara turun temurun pada pemangku adat di Kerinci. Naskah tua yang menggunakan incung umurnya lebih dari 700 tahun. Mengapa incung dapat bertahan?

Masyarakat Kerinci menyimpan naskah tua dan barang pusaka lainnya di atas loteng rumah dalam peti kayu yang kokoh. Mereka menganggap benda pusaka memiliki nilai luar biasa yang dapat melindungi dari ancaman bahaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com