Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ARDY Laporkan Gubernur DIY Sultan HB X ke Komnas HAM

Kompas.com - 16/02/2021, 22:42 WIB
Wisang Seto Pangaribowo,
Khairina

Tim Redaksi

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil tergabung dalan Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X ke Komnas HAM.

Pelaporan tersebut buntut dari disahkannya Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka, yang dianggap tidak demokratis.

ARDY terdiri dari 78 lembaga non pemerintah dan individu pro-demokrasi mengirim surat kepada Komnas HAM. Surat tersebut bermaterai dan dikirim melalui Kantor Pos Besar Yogyakarta, Selasa (16/2/2021).

Baca juga: Gubernur DIY Sri Sultan HB X Siap Divaksin Covid-19 jika Sudah Ada untuk Lansia

Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli menyampaikan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka berpotensi melanggar HAM.

"Terutama hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Ada empat hal yang melanggar HAM," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/2/2021).

Ia menjelaskan, Pergub tersebut mengacu kepada keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata yang membatasi penyampaian pendapat di muka umum.

"Berkedok pariwisata, Gubernur DIY meneken aturan untuk membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat," katanya.

Untuk diketahui dalam Pergub tersebut ada larangan di lima lokasi, kelima lokasi tersebut adalah Istana Negara Gedung Agung, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro.

Unjuk rasa diperbolehkan asalkan dengan radius 500 meter dari lokasi tersebut.

"Kawasan terlarang untuk demonstrasi tersebut selama ini menjadi tempat untuk masyarakat sipil menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah," katanya.

Baca juga: Gubernur DIY Lantik Fajar Gegana Sebagai Wakil Bupati Kulon Progo

Lanjut dia, Pasal 6 Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka juga disebutkan pembatasan waktu. Dalam pasal tersebut unjuk rasa dibatasi dari pukul 06.00 hingga 18.00.

Poin selanjutnya yang menjadi perhatiannya adalah soal pembatasan penggunaan pengeras suara dalam pasal 6, yang menyebutkan setiap orang harus mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 desibel.

"Poin keempat, soal pelibatan TNI dalam urusan sipil. Dalam pergub itu, TNI dapat ikut serta dalam wilayah koordinasi sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu mereka juga ikut mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan," kata dia.

Menurutnya, setelah reformasi dwi fungsi ABRI telah dihapuskan. Sehingga prajurit hanya bertugas dalam hal pertahanan tidak lagi terlibat urusan politik.

"Pergub ini bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," jelas dia.

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Kepala Biro Hukum Setda DIY Dewo Isnu Broto menambahkan, pihaknya mempersilakan warga masyarakat untuk melayangkan keberatan atas peraturan ini.

Sambung dia, penolakan atau keberatan atas pergub ini bisa dilakukan dengan mekanisme melalui mengirimkan surat langsung kepada pemerintah daerah DIY.

Selain itu masyarakat juga diperbolehkan untuk gugatan melalui PTUN atau langsung ke peninjauan kembali terhadap peraturan yang dikeluarkan.

"Mekanisme persuratan dengan kita boleh melakukan gugatan melalui PTUN atau langsung ke peninjauan kembali terhadap peraturan yang kita keluarkan," ujarnya.

Dewo menjelaskan latar belakang Pergub ini adalah tindak lanjut dari UU Nomor 9 tahun 1998, Pasal 5 ayat tentang penyampaian di tempat umum.

Dalam UU tersebut dicantumkan bahwa terdapat objek-objek vital nasional yang dikecualikan untuk menyampaikan aspirasi.

"Obyek vital nasional itu karena belum jelas di undang-undang maka dalam hal ini Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 63 tahun 2004 tentang pengamanan objek nasional," ujarnya.

Ia menjelaskan objek vital nasional yang dimaksud dalam Keppres tersebut adalah kawasan atau lokasi, bangunan, instansi, dan usaha yang menyangkut dengan kepentingan negara dan hajat hidup orang banyak, serta juga sumber pendapatan strategis.

Melalui keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 itulah penentuan kawasan obyek vital nasional dikerucutkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com