Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Diskriminasi terhadap Slamet di Bantul, Gubernur DIY Keluarkan Instruksi

Kompas.com - 05/04/2019, 15:45 WIB
Wijaya Kusuma,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengeluarkan instruksi Nomor 1/INSTR/2019. Instruksi yang ditetapkan pada 4 April 2019 ini tentang pencegahan potensi konflik sosial.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Gatot Saptadi menyampaikan rasa prihatin dan menyayangkan kejadian beberapa waktu lalu di Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul.

Seorang warga pindahan ke desa tersebut sempat ditolak untuk tinggal lantaran non-Muslim.

"Sebagai warga Yogya kami prihatin. Yogya yang dikenal toleran, dengan nila setitik, langsung bahwa Yogya intoleran dan sebagainya," ujar Gatot dalam jumpa pers di Kantor Kepatihan, Jumat (5/4/2019).

Baca juga: Slamet Melawan Diskriminasi Agama, Berharap Tak Ada Lagi Aturan Serupa

Gatot menyampaikan, ada penyelengara pemerintahan yang kurang tepat jika berkaca dari kejadian di Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebab, kejadian tersebut dilatarbelakangi adanya aturan di dusun setempat.

"Kenapa bisa terjadi seperti ini, kalau dicermati, peraturan yang "ilegal" tersebut kan sejak tahun 2015. Ini tentu perlu kita sikapi bahwa ada penyelenggaraan pemerintah yang mungkin kurang tepat dan ada yang salah," ujar dia.

Gubernur, lanjut dia, sebagai kepala wilayah mempunyai kewajiban melakukan pembinaan kepada kabupaten/kota agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Gubernur langsung mengeluarkan instruksi kepada bupati dan wali kota di DIY.

"Penanganan penyelenggaraan kemasyarakatan seperti ini tentunya berjenjang. Instruksi itu perintah jadi ada perintah untuk bupati wali kota," ujar dia.

Gatot mengatakan, inti dari instrusi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 ada tiga. Pertama, pencegahan terkait dengan potensi konflik sosial.

Bupati/wali kota diinstruksikan untuk bisa mengemas agar tidak terjadi konflik sosial di wilayahnya.

Kedua, bupati/wali kota harus mengambil langkah penyelesaian dengan cepat, tepat, dan tegas, apabila sudah terjadi.

"Belajar dari kemarin kan ketinggalan kereta. Artinya kejadian sudah berlangsung, tetapi langkah-langkahnya agak terlambat," kata dia.

Ketiga, adalah pembinaan dan pengawasan. Artinya, perlu ada penertiban terkait dengan regulasi yang beredar di masyarakat.

Regulasi terendah dalam penyelenggaraan pemerintah itu pada level desa. Karena itu, desa menjadi ujung tombak untuk mengendalikan ini semua.

Baca juga: 7 Fakta Kisah Slamet Melawan Diskriminasi Agama di Bantul, Peraturan Dicabut hingga Warga Ingin Hidup Rukun

"Saya juga menyampaikan bahwa jangan kearifan lokal dijadikan senjata untuk segala sesuatu bisa. Kearifan lokal tetap berpegang pada NKRI, Pancasila, dengan Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 45," ucap dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com