Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diburu untuk Uang, Kini Belasan Orangutan dari Luar Negeri Itu Dipulangkan ke Tanah Air

Kompas.com - 03/02/2021, 16:46 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sebanyak 11 Orangutan Sumatra (Pongo abelii) korban penyelundupan dipulangkan ke Indonesia pada akhir tahun lalu.

Dua satwa hasil repatriasi dari Thailand dikirim ke Jambi. Sedangkan sembilan lainnya dari Malaysia diterbangkan ke Sumatera Utara.

Rombongan ini bukan yang terakhir. Saat ini ada tiga orangutan di luar negeri yang masih menunggu repatriasi.

Akan tetapi, ketika pemerintah berupaya memulangkan satwa-satwa korban perdagangan, praktik perburuan dan penyelundupan satwa endemik terancam punah itu masih terus berlangsung.

Baca juga: Habitat Berkurang, Orangutan Boncel Kembali Ditranslokasi ke Tempat Lain

Adanya permintaan dan nilai fantastis yang dijanjikan serta lemahnya pengawasan jadi faktor penyebab.

Sebanyak sembilan Orangutan Sumatra yang direpatriasi dari Malaysia akhir tahun lalu, masih menjalani rehabilitasi di Pusat Karantina Orangutan Sumatera, Deliserdang, Sumatera Utara.

Saat ini, tempat itu ditutup rapat-rapat kecuali petugas.

Selain akses masuk, berbagai informasi lainnya juga tertutup. Termasuk jumlah total orangutan yang pernah menjalani karantina di tempat itu.

Baca juga: 9 Orangutan Dipulangkan ke Indonesia Setelah Diselundupkan di Malaysia

Seekor orangutan Sumatera korban penyelundupan satwa liar melihat dari dalam kadang saat hendak dipulangkan dari Thailand ke Indonesia di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, pada Kamis (17/12).AFP/Getty Images Seekor orangutan Sumatera korban penyelundupan satwa liar melihat dari dalam kadang saat hendak dipulangkan dari Thailand ke Indonesia di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, pada Kamis (17/12).
Bagaimanapun, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Indra Exploitasia, mengatakan, bahwa bayi-bayi orangutan itu dalam kondisi sehat.

"Semua kondisi dalam keadaan baik. Yang berasal dari Malaysia ditempatkan di pusat rehabilitasi Batu Mbelin Sumatera Utara dan yang dari Thailand ditempatkan di pusat rehabilitasi orangutan Jambi," kata Indra.

"Saat ini tim medis akan melakukan evaluasi medis secara keseluruhan, sekaligus mengkaji keliaran orangutan sebelum keputusan dapat dilepasliarkan ke habitat alamnya," sambungnya.

Usia mereka rata-rata masih satu hingga dua tahun. Lima di antaranya berjenis kelamin betina dan empat berjenis kelamin jantan.

Baca juga: Berumur 61 Tahun, Orangutan Tertua di Dunia Disuntik Mati

Masing-masing bernama Unas, Shielda, Yaya, Ying, Mama Zila, Feng, Papa Zola, Payet dan Sai. Bobot mereka bervariasi, mulai dari 11 kilogram sampai 20 kilogram.

Indra Exploitasia mengatakan, masih terdapat tiga orangutan yang menunggu dipulangkan dari Thailand.

"Ada tiga di Thailand. Menunggu proses hukum di sana selesai," kata Indra kepada wartawan BBC News Indonesia di Medan.

Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, mengatakan kegiatan kartel perdagangan satwa internasional menyebabkan sejumlah orangutan asal Indonesia kini berada di luar negeri.

"Kartel perdagangan satwa yang memang sudah cukup meresahkan banyak negara terutama Indonesia. Masih ada di Thailand, dan mungkin juga ada beberapa di Saudi Arabia atau Timur Tengah yang memang tidak mudah dilakukan repatriasi," kata Panut.

Baca juga: Detik-detik Kepulangan 11 Orangutan ke Indonesia, Usai Diselamatkan dari Penyelundupan di Thailand dan Malaysia

Diburu demi uang

Deputi Direktur Jenderal Departemen Taman Nasional dan Alam Liar, Prakit Vongsrivattanakul, mengatakan sebanyak 69 ekor orang utan sitaan telah dikembalikan ke Indonesia sejak 2006.AFP/Getty Images Deputi Direktur Jenderal Departemen Taman Nasional dan Alam Liar, Prakit Vongsrivattanakul, mengatakan sebanyak 69 ekor orang utan sitaan telah dikembalikan ke Indonesia sejak 2006.
Praktik perburuan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Utamanya satwa tersebut dijadikan peliharaan atau hewan koleksi orang-orang dari kalangan 'berkantong tebal'.

"Sebenarnya dari orang-orang dengan ekonomi yang lebih mapan yang berkeinginan untuk memelihara maupun memperdagangkan orangutan ini. Nilainya cukup fantastis," kata Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo.

Menurutnya, harga yang dipatok oleh para pemburu di tatanan bawah biasanya tidak begitu mahal. Namun nilainya akan melonjak 'fantastis' usai sampai di tangan pedagang.

Hal itu diamini Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea.

Baca juga: BERITA FOTO: Akhirnya, Orangutan Ung Aing dan Natalee Pulang ke Indonesia...

"Belum tentu juga yang menikmati nilai ekonominya ini orang-orang yang melakukan perburuan itu. Tapi bisa saja, nilai ekonomi yang lebih tinggi itu di orang-orang perantara. Namun begitu, ini masih butuh pembuktian," kata Eduward.

Eduward mengatakan bahwa nilai yang diperoleh para pemburu orangutan sebenarnya tidak sebanding dengan risiko hukumannya.

Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, siapa saja yang memelihara, memburu, memperjualbelikan dan menyelundupkan orangutan akan dikenakan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.

"Mungkin bagi sebagian orang ini menggiurkan nilai transaksinya," kata Eduward kepada wartawan BBC News Indonesia.

Baca juga: 2 Orangutan yang 5 Tahun Korban Perdagangan Satwa di Thailand, Akhirnya Kembali ke Indonesia

Peran aparat

Petugas memindahkan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) saat tiba di Terminal Cargo Bandara Kualanamo, Deliserdang, Sumatera Utara, 18 Desember 2020. Orangutan ini merupakan satu di antara sembilan individu korban trafficking yang direpatriasi dari Malaysia.Nanda Fahriza Batubara Petugas memindahkan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) saat tiba di Terminal Cargo Bandara Kualanamo, Deliserdang, Sumatera Utara, 18 Desember 2020. Orangutan ini merupakan satu di antara sembilan individu korban trafficking yang direpatriasi dari Malaysia.
Selain faktor ekonomi, praktik perburuan dan penyelundupan satwa langka endemik Pulau Sumatra tak lepas dari fakta bahwa jumlah sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah untuk menjaga hutan terbilang minim. Padahal, hutan yang mesti dijaga cukup luas.

Surat Keputusan Nomor 8088/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018. Keputusan itu menetapkan total kawasan hutan seluas 3.009.212,24 hektare. Sedangkan hutan lindung ditetapkan seluas 1.199.236,17 hektare serta kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam seluas 421.150,85 hektare.

"Ini menjadi catatan saja bahwa penting untuk memberi perhatian khusus terhadap perdagangan satwa ilegal ini oleh aparat dan pemangku kebijakan. Jadi kita minta pemangku kebijakan lebih memperhatikan spesies kunci, dan jangan sampai justru terlibat dalam distribusi satwa ilegal ini," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Doni Latuparissa.

Baca juga: 2 Orangutan yang Diselundupkan ke Thailand Dipulangkan ke Indonesia

Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea, mengatakan ketiadaan alat bukti yang cukup menyebabkan petugas sulit membongkar jaringan perdagangan orangutan hingga ke para pemodal maupun kolektor.

Menurut Eduward, terdapat perbedaan pola antara perdagangan orangutan dengan satwa-satwa dilindungi lainnya seperti harimau. Biasanya, orangutan diperdagangkan secara bebas tanpa diawali dengan transaksi uang muka.

Hal itu pulalah yang menyebabkan aparat kesulitan untuk mengungkap hingga ke jaringannya

Baca juga: Langka, Orangutan Sumatera Berhasil Lahir di Kebun Binatang Belgia.

Pengunjung memperhatikan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) koleksi Medan Zoo, Sumatera Utara, sebelum masa penutupan akibat pandemi COVID-19, Januari 2020 lalu.Nanda Fahriza Batubara Pengunjung memperhatikan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) koleksi Medan Zoo, Sumatera Utara, sebelum masa penutupan akibat pandemi COVID-19, Januari 2020 lalu.
"Kalau sudah ada DP [down payment], transfer, itu bisa. Tapi kalau orangutan tidak ada, biasanya mereka jual lepas. Di Aceh, di Riau, itu jual lepas," kata Eduward.

"Kalau memang transaksinya belum ada, kemudian pasal apa yang kita pakai untuk menjeratnya? Kan tidak ada. Tidak ada formilnya ke dia," sambungnya.

Eduward tak menampik perlunya pembenahan tata kelola dalam upaya menghentikan praktik perdagangan orangutan.

"Jadi saya bukan mengelak, tapi yang terpenting sebenarnya itu bukan petugas di lapangan dalam melakukan penindakan. Tapi petugas di lapangan dalam hal tata kelola itu menjadi sangat penting," kata Eduward.

Baca juga: Sempat Masuk ke Permukiman Warga, Orangutan Tapanuli Dilepasliarkan ke Habitatnya

Eduward mengatakan, Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera kini memiliki sekitar 270 orang karyawan. Dari jumlah itu, lebih 170 orang di antaranya merupakan polisi hutan.

"Tata kelola dibenahi, itu termasuk menghentikan simpul-simpul peredarannya melalui mekanisme penjagaan yang lebih ketat misalnya oleh Pelabuhan, Bea Cukai, dan lainnya. Dan kita harus menambah Polhut di penindakan. Kalau itu sudah terkunci semua, otomatis transaksi itu dengan sendirinya minimal terhalang. Kalau kita harapannya hilang, tidak ada lagi," jelas Eduward.

Baca juga: Telantar Saat Pisah dengan Induknya, Bayi Orangutan Dievakuasi Warga

Perlu tindakan nyata

Orangutan Sumatra (Pongo abelii) saat berada di kandang sementara di kantor YOSL-OIC, Medan, Sumatera Utara, 2017 lalu. Orangutan betina itu berusia empat tahun dan diselamatkan petugas dari warga.Nanda Fahriza Batubara Orangutan Sumatra (Pongo abelii) saat berada di kandang sementara di kantor YOSL-OIC, Medan, Sumatera Utara, 2017 lalu. Orangutan betina itu berusia empat tahun dan diselamatkan petugas dari warga.
Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, mengatakan pada 2020 lalu OIC telah menyelamatkan 24 orangutan yang berada di Sumatera Utara maupun Aceh. Dua provinsi ini memang dikenal sebagai kantung populasi orangutan.

Dari puluhan individu yang diselamatkan, delapan di antara mereka merupakan korban perdagangan dan koleksi ilegal. Sedangkan selebihnya diselamatkan karena kondisi tertentu, seperti menghindari konflik dengan manusia.

"Yang pasti orangutan yang diselundupkan masih terjadi. Perburuan orangutan masih terjadi. Dan ada beberapa pihak yang masih memelihara orangutan secara ilegal. Ini masih terjadi di Indonesia sehingga perlu tindakan yang nyata," ujarnya.

Baca juga: Bayi Orangutan yang Dirantai Warga di Rumah Walet Alami Cedera Kaki

Berdasarkan data 2016, Orangutan Sumatra di alam liar tersisa hanya sekitar 14.470 individu.

Jumlah tersebut sudah termasuk Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang jenisnya baru dinyatakan berbeda dari Orangutan Sumatra pada 2017 lalu.

Kini, Orangutan Tapanuli diperkirakan hanya berjumlah tak lebih dari 800 individu.

Panut menambahkan, terdapat beberapa upaya yang bisa ditempuh untuk menghentikan laju perburuan dan penyelundupan orangutan, semisal meningkatkan penjagaan dan pengawasan. Solusi lainnya yakni menjaga habitat orangutan dari kerusakan.

Baca juga: Tak Cuma Manusia, Orangutan Sumatera Berisiko Tinggi Terinfeksi Corona

Namun, kata Panut, semua itu hanya bisa diwujudkan dengan adanya komitmen semua pihak.

"Bagaimana kita bisa melindungi habitatnya, melindungi populasinya dari perburuan, tentu ini merupakan kondisi dimana kita mesti komitmen. Ini butuh kerja sama dengan banyak pihak, seperti masyarakat, pemerintah dan sektor usaha juga karena ada keterkaitannya. Jadi tugas bersama," kata Panut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com