Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dedi Mulyadi
Anggota DPR RI

Pernah menjadi tukang ojek, penjual beras, hingga peternak domba. Mantan Bupati Purwakarta yang kini anggota DPR RI.

Mengenang Masa Kecil Bagian I: Nangis Pingin Dibeliin Sepeda dan Domba

Kompas.com - 15/01/2021, 21:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Akhirnya saya ngotot ingin pitpitan dan menangis di depan toko sepeda. Saya tendang belanjaan ibu sampai kemiri berserakkan. Saya pun ditonton orang-orang.

Kata pemilik toko sepeda, sudah emasnya ditukar sepeda. Kata ibu saya, nggak boleh. Biar saja anak mah. Saya nangis. Ya, orangtua dulu, anak nangis tak dipedulikan. Tapi akhirnya saya pulang, saya terima nasib tak dibelikan pitpitan.

Gembala domba

Saat usia SD kelas 1 sekitar tahun 1977, orang-orang pada pergi ke sawah ngangon (menggembala) domba. Saya juga ingin seperti mereka ngangon domba. Saya mulai marah-marah di rumah ingin domba. Akhirnya minta ke bapak. Tapi kata bapak, uangnya dari mana.

Saya bilang kan punya emas, jual saja emas saya. Akhirnya ibu saya menjual emas itu, antara tahun 1977 atau 1978. Harganya naik dari Rp 750 menjadi Rp 7.500. Naik 10 kali lipat.

Baca juga: Datangi Pusara Ibunya Sebelum Damaikan Anak yang Laporkan Ibu ke Polisi, Ini Cerita Dedi Mulyadi

Saya ingat membeli domba di Mang Wardik, anak paman saya. Awalnya harga domba Rp 8.000. Tapi bapak saya bilang tidak bisa karena uangnya hanya ada Rp 7.000. Setelah negosiasi, akhirnya domba itu dibeli dengan harga 7.000. Dari sana lah saya jadi pengembala domba.

Akhirnya jumlah domba saya kian banyak. Kalau sekolah pagi, saya pergi ke sawah sore hari untuk menggembala domba. Tapi kalau saya sekolah sore, ibu saya lah yang menggembala pada pagi hari.

Kami hidup prihatin. Sejak kecil saya terbiasa mengambil kayu bakar. Kadang sambil menggembala domba, saya memungut belalang buat dimakan. Atau mencari keong untuk dikonsumsi.

Perjalanannya memang pedih. Tapi saya di situ sudah jadi anak percaya diri. Sebab, di antara saudara, saya lah yang paling “mapan”. Saya sudah punya domba.

Dari menggembala itu, saya banyak membantu keluarga. Bapak saya ingin memasang listrik yang biayanya waktu itu Rp 10.000. Saya pun menjual domba.

Kakak saya membutuhkan kacamata, ya saya jual domba lagi. Saat lebaran atau acara selamatan, saya juga potong domba.

Saat masuk kelas 6 SD, saya membeli sepeda dari pasar loak. Harganya 17.500. Saya mampu membelinya karena menjual domba. Saya juga bisa membeli jam tangan dari menjual domba.

Menjual layangan

Ketika sekolah kelas 3 SMP, saya senang bermain layangan. Tapi saya berpikir jika ingin bermain layangan harus membeli, terus punya uang dari mana? Sejak saat itu, saya malah kepikiran mau menjual layangan saja. Modalnya adalah kepercayaan. Saya punya modal awal Rp 500.

Setiap hari saya pergi ke toko membeli layangan, naik sepeda biar tidak mengeluarkan ongkos. Setiap hari membeli gelasan dan kenur (tali layangan). Lalu berjualan di tempat orang bermain layangan.

Di sana, layangan saya paling laku. Sehari bisa 4 kali belanja layangan ke toko. Saya mulai punya uang. (bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com