Salin Artikel

Mengenang Masa Kecil Bagian I: Nangis Pingin Dibeliin Sepeda dan Domba

Misalnya kami terbiasa melaksanakan selamatan. Setiap ada peristiwa selalu saja melakukan selamatan, potong ayam dan kambing. Saya selalu diajarkan bapak untuk mengantarkan makanan kepada orang paling miskin di kampung saya. Selalu begitu. Diajarkan hidup tidak pelit.

Di kampung saya dulu ingat ada seorang tunawicara bernama Nenek Suwati. Dia hidup sebatang kara. Saya diberi tugas bapak untuk mengantar makanan kepada Nenek Suwati dan ibu-ibu lain yang dianggap sangat miskin tetapi tidak punya keluarga.

Kalau ada pedagang yang tidak laku menjelang sore, mereka tak bisa pulang dan tak bisa bawa uang hasil jualannya, kami selalu menampung mereka untuk mampir ke rumah, menyimpan barang dagangannya. Kami juga tak punya uang, kami biasanya menukar atau memberi beras.

Kalau ada yang kemalaman, misalnya tukang sol sepatu dari Garut, penjual tikar dari Tasikmalaya, rumah kami dibuka untuk mereka menginap. Kami siapkan makan.
Saya ingat betul setiap sore ada Mang Anta. Dia berjualan kayu bakar. Bayangkan di kampung saya, yang waktu itu orang sudah biasa pakai kayu bakar dan ke kebun, dia berjualan kayu bakar. Kayu dari akar pohon karet.

Setiap petang, Mang Anta selalu lewat ke depan rumah. Bapak saya selalu minta dia mampir untuk menyimpan kayu bakar. Mang Anta ketika ditanya harga kayu bakar, dia selalu menghitung berapa jumlah anak di rumahnya lalu dikali biaya makan dua kali. Akhirnya ketika dia pulang, kami titipkan sejumlah beras dan ikan asin peda, setiap sore.

Itu pengalaman saya sejak kecil hingga sekarang masih tetap dilakukan. Tidak ujug-ujug sifat saya begini. Sudah diajarkan kepekaan sosial sejak kecil. Saya dari dulu tidak tegaan. Lihat orang baju lusuh, muka pucet, saya suka sedih.

Menangis pingin dibeliin pitpitan

Seiring dengan waktu, perjalanan hidup saya sangat pedih. Saya waktu kecil ingin punya pitpitan, sepeda roda tiga, karena saya tidak punya.

Sementara tetangga saya sudah punya sepeda seperti itu karena memang orangtuanya adalah guru.

Karena tak punya pitpitan, saya setiap hari hanya bisa mendorong tetangga naik sepeda roda tiga itu.

Akhirnya, saya bercita-cita kalau saya dikhitan dan punya uang, saya ingin beli pitpitan. Umur saya saat itu 5 tahun.

Saat itu waktu ditanya uang panyecep (ampau) mau dipakai apa? Saya bilang beli pitpitan. Ibu saya bilang nggak boleh, harus beli emas. Akhirnya saya bertengkar dan menangis.

Akhirnya saya disunat (dikihitan), punya uang Rp 750 hasil panyecep. Waktu itu tahun 1976.
Ibu saya ke pasar.

Saya “pede” uang panyecep mau dibeliin pitpitan. Saya ikut ke pasar memakai sarung dengan dilapisi kapas kelapa biar sarung tidak mengenai alat kelamin.

Setelah membeli kebutuhan dapur, tiba-tiba ibu saya masuk ke toko emas. Beli emas setengah gram. Saya ingat waktu itu di atas emas tersebut terdapat tulisan “A”.

Akhirnya saya ngotot ingin pitpitan dan menangis di depan toko sepeda. Saya tendang belanjaan ibu sampai kemiri berserakkan. Saya pun ditonton orang-orang.

Kata pemilik toko sepeda, sudah emasnya ditukar sepeda. Kata ibu saya, nggak boleh. Biar saja anak mah. Saya nangis. Ya, orangtua dulu, anak nangis tak dipedulikan. Tapi akhirnya saya pulang, saya terima nasib tak dibelikan pitpitan.

Gembala domba

Saat usia SD kelas 1 sekitar tahun 1977, orang-orang pada pergi ke sawah ngangon (menggembala) domba. Saya juga ingin seperti mereka ngangon domba. Saya mulai marah-marah di rumah ingin domba. Akhirnya minta ke bapak. Tapi kata bapak, uangnya dari mana.

Saya bilang kan punya emas, jual saja emas saya. Akhirnya ibu saya menjual emas itu, antara tahun 1977 atau 1978. Harganya naik dari Rp 750 menjadi Rp 7.500. Naik 10 kali lipat.

Saya ingat membeli domba di Mang Wardik, anak paman saya. Awalnya harga domba Rp 8.000. Tapi bapak saya bilang tidak bisa karena uangnya hanya ada Rp 7.000. Setelah negosiasi, akhirnya domba itu dibeli dengan harga 7.000. Dari sana lah saya jadi pengembala domba.

Akhirnya jumlah domba saya kian banyak. Kalau sekolah pagi, saya pergi ke sawah sore hari untuk menggembala domba. Tapi kalau saya sekolah sore, ibu saya lah yang menggembala pada pagi hari.

Kami hidup prihatin. Sejak kecil saya terbiasa mengambil kayu bakar. Kadang sambil menggembala domba, saya memungut belalang buat dimakan. Atau mencari keong untuk dikonsumsi.

Perjalanannya memang pedih. Tapi saya di situ sudah jadi anak percaya diri. Sebab, di antara saudara, saya lah yang paling “mapan”. Saya sudah punya domba.

Dari menggembala itu, saya banyak membantu keluarga. Bapak saya ingin memasang listrik yang biayanya waktu itu Rp 10.000. Saya pun menjual domba.

Kakak saya membutuhkan kacamata, ya saya jual domba lagi. Saat lebaran atau acara selamatan, saya juga potong domba.

Saat masuk kelas 6 SD, saya membeli sepeda dari pasar loak. Harganya 17.500. Saya mampu membelinya karena menjual domba. Saya juga bisa membeli jam tangan dari menjual domba.

Menjual layangan

Ketika sekolah kelas 3 SMP, saya senang bermain layangan. Tapi saya berpikir jika ingin bermain layangan harus membeli, terus punya uang dari mana? Sejak saat itu, saya malah kepikiran mau menjual layangan saja. Modalnya adalah kepercayaan. Saya punya modal awal Rp 500.

Setiap hari saya pergi ke toko membeli layangan, naik sepeda biar tidak mengeluarkan ongkos. Setiap hari membeli gelasan dan kenur (tali layangan). Lalu berjualan di tempat orang bermain layangan.

Di sana, layangan saya paling laku. Sehari bisa 4 kali belanja layangan ke toko. Saya mulai punya uang. (bersambung)

https://regional.kompas.com/read/2021/01/15/21154221/mengenang-masa-kecil-bagian-i-nangis-pingin-dibeliin-sepeda-dan-domba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke