Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Dicky Kenalkan Makanan Tradisional NTT, dari Se'i, Sorgum hingga Sambal Lu'at

Kompas.com - 08/12/2020, 14:54 WIB
Rachmawati

Editor

Seorang warga Mollo, yang juga aktif dalam komunitas Lakoat.Kujawas, Linda Nau, menceritakan bagaimana caranya mengolah sorgum.

"Sorgum dilepas dari tangkai kemudian ditumbuk. Cara tumbuknya beberapa kali, sekitar sampai enam sampai tujuh kali.

"Sampai saat ini, kami baru bisa masak saja, belum bisa buat semacam sereal atau apa. Orang tua dulu hanya masak saja seperti nasi," katanya Linda.

Baca juga: 6 Tempat Kuliner Sarapan di Salatiga, Ada Bakpao dan Masakan Rumahan Jawa

Tak hanya mengolah sorgum, kini komunitas itu juga mulai menanam sejumlah benih, dari sorgum hingga sejumlah kacang-kacangan lain, yang dalam waktu lama tak lagi dikonsumsi warga.

Dicky menduga bahan makanan itu "menghilang" karena perubahan iklim atau hutan-hutan yang berubah fungsi.

"Orang tua dulu, nenek moyang kami ya supermarketnya di hutan. Hilangnya hutan mengubah perilaku dan menghilangkan banyak sekali pengetahuan lokal.

"Salah satu yang kami lakukan adalah menanam kembali," katanya, seraya menambahkan komunitasnya berharap bisa membuat "perpustakaan benih" agar bahan-bahan makanan di daerah itu tak lagi hilang.

Baca juga: 10 Tempat Kuliner di Pasar Atom Surabaya, Ada yang Buka 24 Jam

Ia pun mengembangkan kegiatan Mnahat Fe'u Heritage Trail, yang menawarkan jasa perjalanan pada wisatawan untuk mengenal lebih jauh kebudayaan di Mollo, termasuk kulinernya.

Kegiatan itu, disebutnya memotivasi mereka untuk terus menanam.

"Mau tidak mau kami harus menanam karena kalau bahan baku makanannya tidak ada, kami mau cari di mana?" kata Dicky.

Baca juga: 7 Tempat Makan di Klaten untuk Wisata Kuliner, Ada Sop Ayam Pak Min

Fermentasi dan pengeringan

NTT, salah satu daerah dengan skor ketahanan pangan terendah di Indonesia, sebetulnya mewarisi kecerdasan para leluhur terkait pangan.

Orang Timor mengidentifikasi diri mereka sebagai 'Atoni Meto', yang secara harafiah berarti 'manusia kering'.

Daerah itu mengalami kemarau panjang dan minimnya curah hujan. Namun, kata Dicky, mereka menemukan cara untuk beradaptasi dengan alam yang keras.

Salah satunya, kata Dicky, adalah dengan metode fermentasi yang membuat makanan bisa awet dalam waktu lama.

Metode itu masih digunakan untuk membuat sambal lu'at, yakni sambal khas NTT.

Baca juga: 7 Kuliner Sidoarjo yang Terkenal, dari Ote-ote Porong sampai Ceker Lapindo

Dicky mengatakan sambal itu paling enak dikonsumsi tiga bulan setelah dibuat, bahkan tetap nikmat dimakan setelah satu tahun.

Bahan dasarnya adalah cabai, garam, bawang putih, dan jeruk.

Namun, dengan keanekaragaman herba dan jeruk di Mollo, sambal lu'at di sana rasanya unik, misalnya jika dibandingkan dengan lu'at ala Kupang.

"Dengan fermentasi itu, kapan pun orang Mollo mau makan sambal, mereka tinggal ambil. Dahulu orang-orang menaruhnya di dalam bambu dan digantung di rumah tradisional Ome Kebubu," ujarnya.

Baca juga: Resep Sambal Teri, Nikmat Dicampur Bubur atau Nasi Putih

Sambal luat dibuat dengan teknik fermentasi.Dicky Senda Sambal luat dibuat dengan teknik fermentasi.
Sambal itu pun dijual oleh Lakoat.Kujawas baik secara langsung atau melalui internet.

Dicky mengatakan ada cara memasak yang perlu dilestarikan apa adanya dan ada yang bisa dilakukan dengan pendekatan baru.

Untuk lu'at, pendekatan lama lah yang lebih baik, seperti diceritakan Linda Nau.

"Pengalaman masa kecil saya, orang tua tumbuk saja cabai. Ketika saya pake blender ternyata banyak sambalnya yang rusak, tidak bertahan lama," ujarnya.

Lakoat.Kujawas juga membuat fermentasi buah khas Mollo, lakoat (sejenis plum), dengan sopi Timor Noemuti usia empat bulan.

Baca juga: Resep Rujak Buah Manis Jawa Timur, Pakai Sambal Petis Lebih Enak

Minuman itu kemudian dicampur air jeruk, kujawas (jambu biji), bunga rosela, juga daun mint. Hasilnya adalah liquor yang juga jadi andalan komunitas itu.

Selain fermentasi, ada juga metode pengasapan makanan, seperti dalam pembuatan se'i.

Daging itu tidak dibakar, kata Dicky, tapi diletakkan sekitar dua meter dari api.

"Jadi justru matangnya karena asap, bisa dibilang seperti teknik slow cooking, masaknya bisa berjam-jam bahkan setengah hari. Setelah itu daging disimpan, jadi kapan mau dimakan tinggal diambil," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com