Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ratumas Sina, Perempuan Belia Asal Jambi yang Tak Gentar Melawan Belanda

Kompas.com - 11/11/2020, 16:05 WIB
Suwandi,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi


JAMBI, KOMPAS.com - Pejuang perempuan yang masih belia dan ditakuti Belanda adalah Ratumas Sina.

Pada masa sebelum kemerdekaan, Ratumas Sina turut mewarnai perjuangan kaum lelaki.

Ratumas Sina lahir di Kampung Pudak, Kumpeh, pada 1887.

Dia seorang putri tunggal dari pernikahan Datuk Raden Nonot, dari Suku Kraton, dengan Ratumas Milis binti Pangeran Mat Jasir.

Baca juga: Pahlawan 12 Asal Babel Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Ratumas Sina adalah saudara sepupu Ratumas Zainab. Sejak bayi hingga kanak-kanak, dia dibesarkan dalam kawasan perkebunan di Paal VIII, belakang Kampung Pudak.

"Sejak dia menikah pada usia 13 tahun, Ratumas Sina mulai ikut berperang melawan Belanda bersama suaminya," kata peneliti sejarah Jambi, Ali Surakhman, melalui sambungan telepon, Selasa (10/11/2020).

Dia mengatakan, pada awal 1900, saat memasuki usia 13 tahun, Ratumas Sina dinikahkan dengan salah seorang cucu dari Pangeran Poespo dari kerabat Ibunya, Permas Kadipan yang menjadi raja di Merangin.

Suaminya, menurut Ali, belum diketahui namanya hingga saat ini.

Baca juga: Selama 1 Tahun, Keuntungan Jual Madu Banten Palsu Mencapai Rp 8 Miliar

Namun, dia adalah seorang pimpinan pasukan perang di bawah komando panglima perang Pangeran Haji Umar.

Panglima perang Haji Umar ini bergerilya dan memukul Belanda di wilayah Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo, dan Kerinci.

Panglima perang yang paling ditakuti Belanda ini adalah paman dari Ratumas Sina.

Setelah menikah, Ratumas Sina juga mengangkat senjata bersama pasukan Haji Umar dan suaminya.

Pasukan ini begitu mematikan.

Tidak hanya menerapkan strategi gerilya, tetapi juga menyerbu musuh pada malam hari.

 

Perlawanan Belanda

Perlawanan Belanda berhasil menumbangkan suami Ratumas Sina.

"Belum genap satu tahun pernikahannya, pada 1902, suami Ratumas Sina gugur dalam sebuah serangan terhadap markas pasukan Belanda di Sungai Alai," kata Ali yang kini juga berstatus sebagai pamong budaya.

Dalam serangan pasukan Pangeran Haji Umar tersebut, banyak serdadu Belanda berhasil
dibunuh. Ratusan senjata serta amunisi (misiu) milik kolonial berhasil dirampas.

Baca juga: Cendera Mata Lapik Koto Dian, dari Kursi Depati hingga Pelaminan

Pimpinan pasukan Belanda di Sungai Alai marah besar terhadap Pangeran Haji Umar.

Jenazah suami Ratumas Sina diperlakukan dengan keji oleh pasukan Belanda.

Kedua tangan mayat dibentangkan pada sebatang kayu dan dipaku.

Lalu, kulit kepalanya dikelupas.

"Mayat yang sudah memprihatinkan itu kemudian diarak Belanda ke khalayak ramai," kata Ali.

Sampai saat ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui akhir dari nasib yang dialami jenazah suami Ratumas Sina dan letak pusara atau kuburnya.

Balas dendam

Perlakuan buruk dari Belanda terhadap suaminya membuat Ratumas Sina geram.

Dia pun menggempur pertahanan Belanda di semua tempat, bersama pasukan Haji Umar.

Setelah penyerangan di Sungai Alai, pasukan ini secara berkala terus melakukan serangan mendadak terhadap kedudukan-kedudukan penting serdadu Belanda, antara lain Ulu Tebo, Muaro Bungo, sampai ke Merangin.

"Dalam setiap serangan gerilya dan malam hari, pasukan Belanda banyak yang terbunuh," kata Ali.

Ratumas Sina terus meningkatkan ilmu perang dan ilmu bela diri dengan Haji Umar, Pangeran Seman, dan Pangeran Diponegoro.

Pada pengujung 1904, ketika Pangeran Haji Umar dan pasukan berada di sekitar pedalaman batas Muaro Bungo dan Merangin, tersiar kabar Depati Parbo tertangkap dalam sebuah jebakan yang dirancang Belanda.

Maka, pasukan Haji Umar bergerak ke arah Kerinci.

Sementara itu, Ratumas Sina dan pasukannya diminta menahan diri dan mundur dari daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda.

Pasukan Ratumas Sina diperintahkan untuk mengurangi serangan gerilya terhadap kedudukan serdadu Belanda di sekitar Merangin dan Muaro Bungo.

"Ratumas Sina hanya boleh menyerang apabila sudah dipastikan menang, karena kekuatan sudah terbagi," terang Ali.

Sembari menunggu waktu terbaik untuk menyerang, Ratumas Sina melakukan perekrutan pasukan di Muarobungo dan Tanah Sepenggal.

Dalam merekrut dan melatih perang pasukan baru, Ratumas Sina berada di persembunyian, yakni daerah antara Bungo dan Kerinci.

Akhir kehidupan Ratumas Sina cukup panjang.

Dia meninggal pada usia 80 tahun. Dia juga sempat tertangkap Belanda dan diasingkan ke Lumajang.

Peneliti sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri Dedi Arman menjelaskan, satu-satunya pejuang perempuan di Jambi yang memiliki sumber tertulis adalah Ratumas Sina.

Kendati demikian, kisah perjuangan Ratumas Sina itu satu zaman dengan pahlawan nasional dari Jambi, yakni Sultan Thaha Saifuddin dan Raden Mattaher.

"Pejuang perempuan dari Jambi itu Ratumas Sina. Dia sezaman dengan Sultan Thaha dan Raden Mattaher," kata Arman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com