Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru Honorer di Samarinda, 11 Tahun Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar

Kompas.com - 30/10/2020, 12:03 WIB
Zakarias Demon Daton,
Dony Aprian

Tim Redaksi

“Dia kasihan lihat saya jalan kaki,” kata Berta.

Sejak itu, Berta bersama suami memutuskan pindah ke pondok tersebut.

Suaminya meninggalkan kebun di rumah sebelumnya dan membuka kebun baru di lokasi pindahan.

Jarak pondok ini menuju sekolah sebenarnya masih jauh sekitar satu setengah sampai 2 kilometer.

Tak ada listrik di rumah ini, keduanya menggunakan penerangan lampu pelita di malam hari.

“Sebenarnya masih jauh juga, tapi daripada lima kilo, lebih baik satu kilo lebih," tutur Berta.

Pondok yang kini ditempati Berta bersama suaminya terbuat dari kayu.

Kompas.com tiba di pondok ini Rabu sore tampak banyak anjing peliharaan.

Anjing-anjing tersebut, kata Berta, penjaga pondok.

Suami Berta membuka kebun ubi-ubian di sekitar pondok.

Menuju pondok ini, Berta masih menyusuri jalan yang sama, hanya saja lebih dekat dari jarak sebelumnya.

Dia memotong jalan melintasi bukit bebatuan, menuruni tanjakan dan melintasi beberapa kebun warga.

“Di tempat yang batu-batu itu ada ular. Sepertinya berada di lubang-lubang batu. Saya pernah lihat besar sekali. Saya paling takut lewat di situ, tapi itu cuma-cuma satu-satunya jalan,” terang Berta saat kami melintas di bukit bebatuan ini.

Beratnya medan ini kadang membuatnya Berta putus asa.

Berta mengaku sempat terlintas dibenaknya ingin berhenti mengajar dan fokus membantu suami menjual hasil kebun di pasar.

Namun, saat membayangkan wajah anak muridnya, Berta kembali luluh.

Ia tak tega meninggalkan anak-anak di sekolah tersebut.

“Saya kadang capek jalan kaki. Makin tua, sudah tidak kuat lagi, saya hampir menyerah, tapi kasihan anak-anak,” kenang Berta.

Karena alasan itu, Berta bertahan mengajar hingga saat ini, meski tiap hari harus berjalan kaki menuju sekolah.

Gaji pertama Rp 150.000

Berta mengaku menerima gaji pertama Rp 150.000 saat menjadi guru honor di SD Filial tahun 2009 lalu.

Cerita bermula saat ia terkena PHK dari salah satu perusahaan kayu di Samarinda tahun 2005.

Perusahaan ini tutup, semua karyawan dirumahkan, termasuk Berta.

Sejak itu, ia mengganggur, sedangkan suaminya bekerja buruh bangunan.

Keduanya tak mampu bayar kontrakan di Samarinda.

“Daripada bayar kontrakan. Kami pindah ke kebun di sini (dekat Kampung Berambai). Kebetulan ada ipar yang juga berkebun di sini. Dia panggil kami ke sini,” kenang Berta.

Setelah pindah, Berta sempat bantu suaminya mengurusi kebun selama empat tahun.

Namun, pada 2009, dia mendengar kabar SD yang terletak di Kampung Berambai butuh tenaga pengajar.

Meski jarak sekolah dan tempat tinggalnya jauh, Berta tetap melamar dan akhirnya diterima mengajar.

Dua tahun kemudian upah yang diterimanya naik menjadi Rp 400.000.

“Sampai sekarang gaji saya Rp 1 juta per bulan,” tutur wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, ini. 

Dengan penghasilan segitu, Berta mengaku tak cukup meng-cover kebutuhan hidup keluarga, terlebih biaya sekolah anak.

Namun, dia berusaha mencari penghasilan tambahan dengan menjual hasil kebun di pasar malam.

“Setiap malam Senin saya jualan sayur, ubi-ubian, pisang, lombok di pasar malam di Desa Bangun Rejo (desa tetangga). Kalau makan ada saja, enggak ada beras bisa makan ubi, tapi biaya anak sekolah ini agak sulit,” keluhnya.

Kondisi ini dipersulit sejak ada pandemi Covid-19.

Berta kembali memutar otak sebab pasar malam pun ditutup.

Terpaksa ia harus menjual hasil kebun ke sejumlah pasar tradisional di Samarinda dan Tenggarong.

Dengan kondisi demikian, Berta berharap ada perhatian pemerintah bagi para guru honor yang mengabdi di pelosok-pelosok negeri, termasuk dirinya.

“Yang kami sulit itu menyekolahkan anak-anak. Kalau makan, apa saja bisa kami makan dari hasil kebun,” tuturnya.

Kendati dengan kisah sedihnya, Berta tak berharap belas kasihan.

Ia mengaku ikhlas menjalani profesinya sebagai guru demi mencerdaskan generasi bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com