Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahasiswa Bentang Spanduk Tolak Omnibus Law di Tebing Karts Air Terjun Berambai

Kompas.com - 27/10/2020, 17:03 WIB
Zakarias Demon Daton,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com – Mahasiswa pencinta alam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda membentang spanduk penolakan omnibus law Undang-undang (UU) Cipta Kerja di batuan karst tebing air terjun, Berambai, Samarinda, Kaltim, Minggu (25/10/2020).

Di spanduk tersebut, para mahasiswa yang menamai diri Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam (GEMPA) IAIN Samarinda menuliskan “ Keberlangsungan lingkungan terancam kepentingan oligarki, tolak omnibus law UU Cipta Kerja”.

Spanduk diikat dari kedua sisi tebing batuan karst dibentang memanjang melintasi aliran air terjun.

Baca juga: Buntut Ricuh Demo Tolak Omnibus Law, Polisi Tangkap 5 Admin Medsos Provokator Pelajar

Ketua aksi bentang spanduk di tebing karst Berambai IAIN Samarinda, Doddy Alpayet mengungkapkan aksi tersebut sebagai wujud penolakan para mahasiswa yang selama ini konsen mencintai alam yang natural.

Selain itu, kata Doddy, aksi ini juga memperkenalkan batuan karst tebing air terjun Berambai sekaligus melindungi hutan yang ada di lokasi tersebut.

“Bagi kami omnibus law UU Cipta Kerja mengancam alam Kaltim termasuk tebing batuan karst Berambai ini,” ungkap dia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/10/2020).

Bagi mereka, UU Cipta Kerja akan mengancam kelestarian hutan Kaltim yang saat ini sebagian besarnya sudah rusak karena industri.

Untuk itu, sebagian lainnya yang masih tersisa harus diselamatkan.

UU Cipta Kerja ini, bagi dia, akan membuka ruang bagi pelaku investasi untuk kerusakan hutan yang lebih masif.

Baca juga: 5 Demonstran Penolak Omnibus Law Jadi Tersangka Perusakan Kantor DPRD Jember

Hal tersebut, kata dia, tergambar dari beberapa pasal dinilai bermasalah dalam UU Cipta Kerja.

Misalnya, kata dia, penghapusan Pasal 18 UU 41/1999 tentang Kehutanan perihal batas minimum 30 persen luas kawasan hutan.

Hal tersebut membuka ruang eksploitasi secara masif terhadap hutan-hutan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kaltim.

Selain itu, perubahan Pasal 49 UU 41/1999 tentang Kehutanan yang tidak mewajibkan adanya tanggung jawab korporasi khususnya kebakaran di areal konsesi dalam UU Cipta Kerja.

Kemudian, perubahan kriteria analisis dampak lingkungan (amdal) yang semula diatur dalam Pasal 23 UU 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan sembilan kriteria dipangkas hanya dengan satu indikator saja dalam UU Cipta Kerja.

“Hal itu jadi salah satu peluang besar bagi korporasi atau pelaku usaha besar untuk mengabaikan aspek lingkungan dalam usaha,” terang dia.

Baca juga: Demo Tolak Omnibus Law di Makassar Ricuh, Polisi Tangkap 13 Orang

Hal lain, perubahan Pasal 24 Ayat 5 UU PPLH mengenai perizinan yang semula diatur sebagai izin lingkungan digantikan jadi izin berusaha.

“Bagi kami ini celah mempermudah korporasi atau pelaku usaha besar dalam melakukan eksploitasi, bahkan pada tataran hukum normatif,” tegas dia.

Atas dasar sejumlah pasal tersebut, bagi dia, sudah tak sejalan dengan kampanye mapala selama ini yang cinta akan alam.

Pun secara substansi pun omnibus law UU Cipta Kerja tersebut tidak sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yakni bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com