Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Anak Korban Perang Kemerdekaan yang Tolak Tawaran Ganti Rugi dari Belanda: Itu Tidak Adil

Kompas.com - 22/10/2020, 11:50 WIB
Rachmawati

Editor

"Belum memuaskan, karena seperti contoh keputusan Maret 2020, Andi Monji dapat 10.000 Euro. Kalau dipukul rata nanti yang 10.000 akan turun jadi 5000.

Baca juga: Sejarah Kuliner Indonesia Jadi Populer di Belanda, gara-gara Koran?

"Akan merugikan bagi yang potensial mendapatkan 10.000, dan akan menguntungkan bilamana dia potensial hanya memperoleh 120 Euro sampai 800 Euro seperti [kasus] Lambogo itu," ia menjelaskan.

Bagaimanapun, ia memandang kebijakan yang diumumkan dua menteri Belanda ini sebagai suatu kemajuan karena bila selalu mengandalkan pengadilan, menurutnya, prosesnya lama dan berat.

Irwan meminta pemerintah Indonesia memfasilitasi warga yang hendak mengikuti skema baru ini, antara lain dengan membantu verifikasi dokumen-dokumen yang dijadikan bukti, sekaligus meminta permakluman kepada pemerintah Belanda atas kendala administrasi tersebut.

Baca juga: Raja Belanda Minta Maaf di Hadapan Jokowi, Ahli: Kemajuan

"Namanya zaman dulu kan tidak ada akte kelahiran. Kadang-kadang tukang urus di lapangan itu kan salah tanggal apa bagaimana, tidak klop. Nah itu mesti diverifikasi .... Yang berhak memvalidasi itu kan pemerintah Indonesia dalam hal ini RT-RW bila perlu kantor lurah."

Menurut pengamatannya, selama ini ada kurang-lebih 700 janda dan anak dari korban pembantaian Belanda yang telah berusaha mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda namun banyak dari mereka yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administrasi.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan kepada BBC News Indonesia lewat pesan pendek bahwa pihak pemerintah sedang mempelajari keputusan ini dan belum bisa memberi komentar.

Baca juga: Raja Belanda Minta Maaf atas Kekerasan di Indonesia Pasca-proklamasi, Mahfud: Ya Bagus Lah

Dibatasi masa kedaluwarsa

Raja Belanda, Willem-Alexander, dan Ratu Maxima bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X serta Gusti Kangjeng Ratu Hemas dalam kunjungan ke Kraton Yogyakarta pada 11 Maret lalu.BBC Indonesia Raja Belanda, Willem-Alexander, dan Ratu Maxima bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X serta Gusti Kangjeng Ratu Hemas dalam kunjungan ke Kraton Yogyakarta pada 11 Maret lalu.
Menurut Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Jeffry Pondaag, tidak banyak ahli waris yang akan dapat mengakses skema itu karena ganti rugi ini ternyata juga dibatasi oleh masa kedaluwarsa dua tahun sejak kasus terungkap di pengadilan. Hal itu untuk menjaga supaya tidak terlalu banyak orang yang menuntut.

Itu berarti Abdul Halik, anak dari korban pembantaian Westerling yang diakui pengadilan Den Haag pada 2011 tidak memenuhi syarat sedangkan Sardjono Danarbi punya waktu hingga 2022 untuk ikut serta.

"Jadi orang-orang yang bisa menerima ganti rugi ini, adalah orang-orang yang tidak terlambat menggugat pemerintah Belanda," kata Jeffry, seraya menyebut kompensasi 5000 Euro itu "kacang goreng"

Baca juga: Raja Belanda Akan Berhenti Pakai Kereta Emas Bergambar Perbudakan, tapi...

Jeffry juga mengkritik komentar anggota Komisi 1 DPR dari fraksi Golkar, Dave Laksono, yang menyebut keputusan Belanda itu sebagai "niat baik". Padahal, kata Jeffry, tidak ada kebaikan sama sekali.

"Itu didorong dari kita, sebagai Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda, didorong oleh pengadilan, didorong oleh kritik-kritik di sini (Belanda)... Kalau benar-benar baik itu sudah dari awal, tahun 2008, waktu kita menuntut kasus Rawagede itu diselesaikan," ujarnya.

Baca juga: Kunjungi Danau Toba, Raja Belanda Kagum dengan Keindahan Indonesia

Penyelesaian optimal?

Rektor UGM menerima kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima, Rabu (11/3) di Balai Senat UGM. Keduanya mengunjungi UGM dalam rangkaian kunjungan kerajaan dengan didampingi Menteri Luar Negeri Belanda, Stephanus Abraham Blok, dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Ambassador Swartbol.Dok. Humas UGM Rektor UGM menerima kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima, Rabu (11/3) di Balai Senat UGM. Keduanya mengunjungi UGM dalam rangkaian kunjungan kerajaan dengan didampingi Menteri Luar Negeri Belanda, Stephanus Abraham Blok, dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Ambassador Swartbol.
Senada dengan Jeffry, sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Asvi Warman Adam, mengatakan keputusan dua menteri Belanda ini jangan dipandang sebagai langkah ganti rugi Belanda kepada warga Indonesia atas penjajahan di tanah airnya.

Alih-alih, ujarnya, ini merupakan kompensasi yang diberikan kepada warga Belanda korban kekejaman tentara Belanda sendiri, mengingat Belanda baru secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.

"Jadi mereka mengadili tentara Belanda yang melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara Belanda atau Hindia Belanda pada saat itu. Dan kemudian diberikan ganti rugi kepada pihak korban," kata Prof. Asvi.

Ia menilai cara penyelesaian yang selama ini ditempuh Belanda untuk kasus-kasus seperti Westerling dan Rawagede setidaknya bisa disebut optimal.

Baca juga: Luhut Minta Raja Belanda Datangkan Praktisi Pariwisata

Kendati ganti rugi yang diberikan Belanda tidak banyak, kata Prof. Asvi, yang lebih penting ialah pengakuan bahwa sudah terjadi kesalahan pada masa lalu.

"Ini kan bukan pengadilan perdata ya, yang nanti akan dibayar ganti rugi yang besar sekali, bukan seperti itu," ujarnya.

"Jadi yang sangat penting itu menurut saya pengakuan sudah terjadi pelanggaran HAM, kekerasan, pada masa lampau. Dan pihak korban diberikan ganti rugi."

Baca juga: Raja Belanda ke Candi Prambanan, Promosi Pariwisata Gratis di Tengah Isu Corona

Meski begitu, bagi Sardjono Danardi, Abdul Halik, dan barangkali anak-anak korban eksekusi tentara Belanda lain, tawaran kompensasi tidak sepadan sepadan dengan penderitaan mereka serta hak-hak mereka yang dilanggar.

"Ini menyangkut masalah Hak Asasi Manusia. Kami ini sebagai ahli waris korban, telah menyerahkan kepada Tuhan bahwa Bapak kami sudah tidak ada. Dan bagaimanapun juga, pemerintah Belanda harus melihat kenyataan terhadap para anak korban yang telah dieksekusi orang tuanya, hidupnya menderita dan segalanya," kata Abdul Halik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com