Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Anak Korban Perang Kemerdekaan yang Tolak Tawaran Ganti Rugi dari Belanda: Itu Tidak Adil

Kompas.com - 22/10/2020, 11:50 WIB
Rachmawati

Editor

Ia mengumpulkan keterangan dari para saksi mata, termasuk seorang kolonel bernama sama dengannya yang menuliskan peristiwa penembakan itu dalam sebuah buletin untuk internal TNI-AD.

Dari bukti-bukti yang didapat, ia menyusun sendiri riwayat hidup ayahnya.

Baca juga: Limbah Kayu Jadi Wayang Seharga Jutaan Rupiah di Tangan Joko, Warga Belanda sampai Terpikat

Bagi Sardjono, nyawa sang ayah tidak terhingga nilainya.

Meskipun begitu, ia tetap merasa berhak mendapatkan kompensasi lebih besar karena ayahnya adalah seorang tentara.

Ia mengaku dirinya beruntung karena bisa diasuh oleh kakeknya, yang sejak itu ia anggap sebagai ayah angkat.

"Kalau tidak ada yang mengasuh saya, saya bisa jadi 'anak kolong'," ujarnya.

Abdul Halik, anak dari warga Bulukumba korban pembantaian tentara Westerling juga menolak tawaran dari pemerintah Belanda, yang disebutnya sangat tidak adil.

Baca juga: Cerita Sri Mulyani soal Warisan Belanda: Ekonomi yang Rusak hingga Utang

Pria yang menyaksikan ayahnya, Becce Beta, dibawa oleh tentara Belanda untuk dieksekusi, menekankan bahwa jumlah kompensasi yang diberikan dalam skema baru ini jauh lebih kecil dari yang diberikan kepada sejumlah janda dari korban pembantaian di Rawagede dan Sulawesi Selatan pada 2013 dan 2015.

"Sudah banyak yang diberikan kepada janda, sebesar 20.000 Euro, sekarang mau diturunkan menjadi 5000 Euro, itu kan tidak adil," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Pria yang kini berusia 84 tahun itu menuntut agar pemerintah Belanda memberinya jumlah kompensasi yang sedikitnya sama dengan para janda.

"Itu pun sebenarnya yang 20.000 Euro itu tidak sebanding dengan pengorbanan orang tua kami yang dieksekusi. Tapi apa boleh buat karena sudah terlanjur pembayaran begitu, kalau memang pemerintah Belanda mau bijaksana dalam persoalan ini ya segitu saja," imbuhnya.

Baca juga: Belanda Janji Kembalikan 100.000 Benda Bersejarah Milik Indonesia

Pembayaran tanpa melewati gugatan ke pengadilan

Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders (kanan) berjumpa dengan Lasem (kedua dari kiri), pada Maret 2016. Lasem adalah satu-satunya janda korban pembantaian Rawagede yang tersisa.AFP/Getty Images Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders (kanan) berjumpa dengan Lasem (kedua dari kiri), pada Maret 2016. Lasem adalah satu-satunya janda korban pembantaian Rawagede yang tersisa.
Dalam surat yang disampaikan kepada parlemen Belanda oleh Menteri Luar Negeri Stef Blok dan Menteri Pertahanan Ank Bijleveld pada 19 Oktober, disebutkan bahwa tawaran ganti rugi dimaksudkan untuk mengakhiri gugatan-gugatan yang berkepanjangan menyusul berbagai kasus yang diajukan oleh anak-anak korban kekejaman Belanda.

Pada 2011, pengadilan distrik Den Haag memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada tujuh janda korban pembantaian massal di Rawagede dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.

Pengadilan menolak argumen pemerintah Belanda bahwa para janda korban tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena kasusnya kadaluwarsa.

Baca juga: Dominasi Pemerintahan Belanda

Pemerintah Belanda memberi ganti rugi kepada seluruh keluarga korban pembantaian, masing-masing sebesar 20.000 Euro atau setara Rp 243 juta berdasarkan kurs rupiah waktu itu.

Besaran kompensasi yang sama juga diberikan kepada sepuluh janda korban penembakan Westerling di Sulawesi Selatan, pada 2013.

Pada Maret tahun ini, Andi Monji, 83 tahun, mendapat 10.000 Euro (Rp173 juta) sebagai kompensasi atas pembunuhan ayahnya dalam "tindakan pembersihan" oleh tentara Belanda antara Desember 1946 dan April 1947.

Baca juga: Sejarah Masuknya Kopi di Indonesia, Belanda Bawa Benih Arabika ke Jawa

Ilustrasi pasukan Belanda menyerang Bali www.delpher.nl Ilustrasi pasukan Belanda menyerang Bali
Sementara delapan janda dan tiga anak dari korban lainnya mendapat kompensasi antara 123,48 dan 3.634 Euro.

Pengadilan Sipil Den Haag pada tanggal 30 September lalu memerintahkan pemberian ganti rugi sebesar 874,80 Euro (Rp 15 juta) kepada Malik Abubakar, putra dari Andi Abubakar Lambogo, pejuang asal Sulawesi Selatan yang kepalanya dipenggal oleh serdadu Belanda pada tahun 1947.

Dalam kebanyakan kasus, nilai ganti rugi bagi anak korban lebih sedikit dibandingkan yang diberikan kepada janda.

Baca juga: Raja Belanda Minta Maaf atas Kekerasan di Indonesia Pasca-proklamasi

Skema terbaru ini tidak melalui pengadilan, namun memberikan penyelesaian yang dipukul rata sebesar 5000 Euro bagi ahli waris yang memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain bukti bahwa ayah mereka memang dibunuh dalam eksekusi yang terdokumentasikan dan juga dokumen yang membuktikan mereka anak dari ayah yang dibunuh.

Pengacara yang mendampingi sejumlah anak korban kekerasan Belanda, Irwan Lubis, menilai skema ini berpotensi merugikan anak dari korban yang seharusnya mendapatkan lebih banyak kompensasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com