Jadi Cinderamata
Meluasnya ajaran Protestan diikuti Katolik, serta Islam di Tanah Papua, sempat membuat patung-patung tempat bersemayam nin ini menghilang karena dibakar, dan dimusnahkan.
Para pematung pun, berhenti berkarya.
Kehadiran bisj, karwar, dan patung jenis lain tempat bersemayam nin, dianggap menjadi bagian dari tradisi berhala yang mengerikan.
Tetapi di tahun 1960-an, patung patung tersebut muncul kembali sebagai cinderamata yang menarik wisatawan, dan kolektor.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Auguste Rodin, Seniman Pematung The Thinker
Mereka tertarik karena patung patung tersebut mengekspresikan fantasi purba, dan cerita tentang masa lalu orang orang Papua di jaman batu.
Masyarakat suku Asmat, memanfaatkan situasi ini dengan membangun sejumlah pemukiman para perajin patung kayu.
Tak sedikit keuntungan yang mereka dapatkan dari sana. Media massa pun bergairah menghadirkan mereka di pentas publik. Sinerji pun terbangun.
Para perajin mengembangkan model model patung yang sesuai dengan keinginan pasar.
Tidak demikian dengan orang-orang Biak perajin patung karwar.
“Regenerasi para pematung karwar dan patung patung bercorak suku Biak saat ini, nyaris terhenti,” keluh Krey yang juga Ketua Harian Dewan Kesenian Tanah Papua, Wilayah Papua Barat.
Baca juga: Dari Benih Lele dan Kerajinan Barang Bekas, Kampung Ini Jadi Tangguh di Tengah Pandemi Corona
Menurut dia, saat ini para pematung tradisional suku Biak di Manokwari tinggal 17 orang.
Dari jumlah tersebut, delapan di antaranya sudah setua dirinya, bahkan lebih.
“Dan dari sembilan pematung muda, cuma seorang di antaranya yang saya nilai, menjanjikan. Namanya Oridek Suruan,” ujar Krey.