Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karwar, Rumah Nin Leluhur Suku Biak, Papua

Kompas.com - 27/09/2020, 09:57 WIB
Kontributor Ciayu Majakuning, Windoro Adi T,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

MANOKWARI, KOMPAS.com-Sebelum Pendeta Otto dan Geissler membawa agama Protestan ke Tanah Papua pada 5 Februari 1855 lewat Pulau Mansinam di Teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat, sebagian besar suku di Tanah Papua memuja dan berlindung di balik bayang bayang arwah (nin) leluhur.

Mereka percaya, setiap manusia terdiri dari tiga unsur yaitu jasmani (baken saprop), arwah (rur),dan bayang bayang arwah (nin).

Ketika seseorang meninggal, jasmaninya rusak, arwahnya menuju dunia arwah, sedang bayang bayang arwahnya bergentayangan.

Agar nin tidak mencelakakan hidup mereka, dan sebaliknya, melindungi serta memberi petunjuk bermanfaat, dibuatlah patung kayu.

Baca juga: 21 Tenaga Medis Positif Covid-19, 4 Fasilitas Kesehatan di Manokwari Ditutup

Di sanalah nin bersemayam. Oleh para dukun (wennamon), patung kayu tersebut diberi sesaji, dimanterai, di tengah upacara ritual bersama.

Suku Asmat di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, mengenal patung kayu bisj (baca mbis). Bisj adalah patung kayu pada tiang berbentuk dua orang bersusun, atau lebih.

Upacara pembuatan tiang kayu berpatung manusia bersusun ini diwarnai acara pemenggalan kepala, dan kanibalisme para musuh yang dikalahkan.

Bisj dipercaya melindungi suku Asmat dari ancaman musuh, dan binatang buas. Selain itu, bisj selain diyakini membantu para pemburu mendapatkan hasil buruan melimpah.

Suku Biak yang tinggal di Kabupaten Biak-Numfor, mengenal patung kayu Karwar.

Baca juga: Tingkatkan Produktivitas Tanam, Petani di Manokwari Gunakan Transplanter

Patung berbentuk manusia berkepala besar sedang duduk dengan kaki dilipat seperti orang sedang jongkok ini, bagian telapak tangan, dan telapak kakinya dilipat ke dalam.

“Telapak tangan dan kaki dilipat ke dalam agar nin yang bersemayam dalam patung tersebut, tidak menyeret keluarga yang masih hidup ke alam arwah, atau ke kematian. Matanya pun ditutup dengan manik manik berwarna kuning atau putih, agar sorot mata nin yang memanggil, tertutup,” ungkap pematung karwar, Elly Krey (69) saat ditemui di galerinya, Jalan Jogjakarta, Manokwari, Papua Barat, Sabtu (19/9/2020).

Pematung karwar, Oridek Suruan (36), di rumahnya, di tepi Pantai Pasir Putih, Kwawi, Manokwari Timur, Manokwari, Papua Barat, Sabtu (19/9/2020).KOMPAS.COM/WINDORO ADI Pematung karwar, Oridek Suruan (36), di rumahnya, di tepi Pantai Pasir Putih, Kwawi, Manokwari Timur, Manokwari, Papua Barat, Sabtu (19/9/2020).
Karwar, lanjutnya, tidak memiliki kemaluan karena nin tak bisa berkembang biak.

Karwar kadang diberi atribut tambahan berupa perisai atau buaya untuk karwar seorang ksatria.

Atribut ular untuk seorang tabib, dan tanaman liar untuk para pemimpin yang melindungi anggota sukunya.

Karwar bagi jasad kepala suku, atau ketua adat, di bagian kepala terpasang tengkorak manusia. Ukuran panjangnya, 50 sentimeter. Nama karwar ini, amfi anir opur bukor.

Baca juga: Cegah Covid-19, Bupati Putuskan Tutup Akses Kapal Pelni Masuk Asmat

Krey menjelaskan, ketika ada anggota keluarga suku Biak yang meninggal, dibuatlah karwar.

Upah bagi pematung karwar adalah piring porselen, gelang logam, gelang siput, makanan, dan parang.

Karwar diletakkan di sisi jenazah. Usai acara ritual, jenazah dikebumikan, sedang karwar di simpan di rumah duka.

Suku Biak yang kemudian tersebar sampai Nabire, Serui, Wasiyor, Manokwari, dan Teluk Cendrawasih ini percaya, nin dalam karwar bisa ikut memelihara dan menjaga kebun, mendatangkan hujan, menjauhkan mereka dari penyakit dan mara bahaya lainnya. Juga melindungi mereka dari musuh, serta memberi petunjuk arah dan lokasi para nelayan dan pemburu binatang.

Kepercayaan itu membuat orang orang Biak berani mengarungi laut untuk berdagang atau berperang.

“Mudah membedakan perahu perang dan perahu dagang orang Biak. Kalau perahu dagang hanya satu, sedang perahu perang, dua muka. Enam orang di perahu perang tersebut bisa berbalik arah duduk, saat mereka membalikkan arah perahu,” tutur Krey sambil menunjukkan kerajinan kayu perahu dagang dan perahu perang, karyanya.

Baca juga: Australia Kembalikan Tengkorak Asli Suku Asmat dan Dayak Hasil Penyelundupan

Bisa jadi, tradisi karwar suku Biak lebih tua dari tradisi bisj suku Asmat.

Sebab, seperti ditulis Rini Maryonea dari Balai Arkeologi Papua di Jurnal Arkeologi Papua, November 2014, di mulut Gua Yenukem, di Desa Makmakerbo, Kecamatan Biak Timur, Biak Numfor, Papua, ditemukan goresan gambar karwar pada batu.

Seni cadas tersebut diperkirakan dibuat di era neolitikum.

Jadi Cinderamata

Di lokasi inilah, di Pulau Mansinam, Teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat, Pendeta Otto dan Geisler, mengawali penyebaran agama Protestan, di Tanah Papua. Keduanya tiba di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Sejak itu, setiap tahun, di tanggal 5 Februari, diadakan ibadah besar yang dihadiri puluhan ribu umat Protestan, Papua.KOMPAS.COM/WINDORO ADI Di lokasi inilah, di Pulau Mansinam, Teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat, Pendeta Otto dan Geisler, mengawali penyebaran agama Protestan, di Tanah Papua. Keduanya tiba di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Sejak itu, setiap tahun, di tanggal 5 Februari, diadakan ibadah besar yang dihadiri puluhan ribu umat Protestan, Papua.
Meluasnya ajaran Protestan diikuti Katolik, serta Islam di Tanah Papua, sempat membuat patung-patung tempat bersemayam nin ini menghilang karena dibakar, dan dimusnahkan.

Para pematung pun, berhenti berkarya.

Kehadiran bisj, karwar, dan patung jenis lain tempat bersemayam nin, dianggap menjadi bagian dari tradisi berhala yang mengerikan.

Tetapi di tahun 1960-an, patung patung tersebut muncul kembali sebagai cinderamata yang menarik wisatawan, dan kolektor.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Auguste Rodin, Seniman Pematung The Thinker

Mereka tertarik karena patung patung tersebut mengekspresikan fantasi purba, dan cerita tentang masa lalu orang orang Papua di jaman batu.

Masyarakat suku Asmat, memanfaatkan situasi ini dengan membangun sejumlah pemukiman para perajin patung kayu.

Tak sedikit keuntungan yang mereka dapatkan dari sana. Media massa pun bergairah menghadirkan mereka di pentas publik. Sinerji pun terbangun.

Para perajin mengembangkan model model patung yang sesuai dengan keinginan pasar.

Tidak demikian dengan orang-orang Biak perajin patung karwar.

“Regenerasi para pematung karwar dan patung patung bercorak suku Biak saat ini, nyaris terhenti,” keluh Krey yang juga Ketua Harian Dewan Kesenian Tanah Papua, Wilayah Papua Barat.

Baca juga: Dari Benih Lele dan Kerajinan Barang Bekas, Kampung Ini Jadi Tangguh di Tengah Pandemi Corona

Menurut dia, saat ini para pematung tradisional suku Biak di Manokwari tinggal 17 orang.

Dari jumlah tersebut, delapan di antaranya sudah setua dirinya, bahkan lebih.

“Dan dari sembilan pematung muda, cuma seorang di antaranya yang saya nilai, menjanjikan. Namanya Oridek Suruan,” ujar Krey.

Oridek (36) yang ditemui terpisah di rumahnya, di tepi pantai Pasir Putih, Kwawi, Manokwari Timur, mengaku belum bisa mengandalkan nafkah dari mematung kayu.

“Saya masih mengandalkan mencari nafkah sebagai nelayan, dan pekerja bangunan,” ungkapnya.

Setiap hari ia mampu membuat satu sampai lima patung kayu.

“Tergantung ukuran patung dan jenis kayunya. Kalau patung patung berukuran 20 sentimeter, saya mampu membuat lima dalam sehari. Tetapi kalau patung berukuran 50 sampai 100 sentimeter, saya cuma mampu membuat dua sampai tiga patung dalam sehari,” tuturnya.

Untuk menjual patung patung tersebut, ia butuh waktu tiga sampai lima bulan. Bahkan kadang butuh waktu setahun.

“Itu sebabnya saya tak bisa mengandalkan penghasilan dari membuat patung kayu,” ucap Oridek.

Baca juga: Pakai Motor Listrik, Bupati Asmat Keliling Sosialisasikan Pencegahan Covid-19

Padahal ia menjual patung patung tersebut dengan harga murah, Rp 250.000 sampai Rp 1,7 juta.

Berbeda dengan harga patung karya Krey. Karena sudah terkenal, Krey membandrol patungnya seharga Rp 25 juta sampai Rp 250 juta.

“Untuk patung patung karwar berukuran 50 sentimeter saya jual dengan harga Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta,” jelasnya.

Dari hasil menjual patungnya, setiap bulan Krey berpenghasilan rata-rata Rp 15 juta.

Baik Krey maupun Oridek mengaku, masih mengandalkan pameran untuk menjual patung patung mereka.

Celakanya, kegiatan pameran yang digelar pemerintah setempat, masih jarang, dan tidak rutin.

Krey mengakui, kerja sama para pematung dengan para pengelola hotel, penginapan, travel, dan pengelola tempat wisata lainnya, belum terjalin.

Dinas pariwisata setempat, dinilai belum cukup memberi perhatian usaha mereka.

Oleh karena itu, masing-masing perajin masih mengandalkan usaha sendiri untuk menjual karya mereka.

Gagap teknologi informasi masih menjadi ancaman mereka buat berpromosi.

“Saya cuma mengandalkan pembeli datang ke rumah saya,” keluh Oridek.

“Yang kami butuhkan itu pelatihan produksi, pelatihan pemasaran, serta bantuan dan pendampingan promosi,” tambah Krey.

Baca juga: Indeks Kemerdekaan Pers di Jakarta, Papua Barat, dan Papua Paling Rendah

Menurut dia, sampai saat ini sebenarnya ikon cinderamata dari tanah Papua yang paling menonjol, masih seni kriya, dan patung kayu dari khasanah budaya Papua.

Sayang, di Provinsi Papua Barat, kondisinya tak secerah di Provinsi Papua.

“Padahal masih banyak dongeng, dan fantasi di Provinsi Papua Barat yang tak kalah melimpahnya di banding di Provinsi Papua, yang belum tereksplorasi di seni kriya dan patung kayu orang orang Biak,” ucap Krey.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com