Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hamil Besar, Alma Ditangkap Aparat Malaysia dan Melahirkan Saat Dideportasi

Kompas.com - 07/09/2020, 20:57 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Khairina

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Bayi mungil dengan berat 3,5 kilogram berjenis kelamin laki-laki terlahir dari rahim Alma Punyenko (40) seorang pekerja migrant Indonesia (PMI) yang dideportasi pemerintah Diraja Malaysia pada 3 September 2020 melalui Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan Kalimantan Utara.

Bayi dengan panjang 51 cm tersebut terlihat sehat dan montok meski terlahir dalam kondisi serba sulit karena berada di penampungan sementara eks PMI di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Nunukan Selatan.

‘"Bersyukur prosesnya lancar, anakku lahir hari Minggu sekitar pukul 13.00 Wita di Puskesmas Nunukan Selatan, semua kebutuhan dibantu petugas Badan Perlindungan Pekerja Migrant Indonesia (BP2MI) Nunukan,’’tuturnya, Senin (7/9/2020).

Baca juga: Buruh Migran Positif Covid-19, Mengaku Diteror Hantu Saat Karantina

Pasca dideportasi pemerintah Diraja Malaysia pada 3 September 2020 bersama 131 deportan lain, Alma mendiami rusunawa. Dia mengalami kontraksi dan dilarikan ke Puskesmas.

Alma yang sudah memiliki bayi akhirnya dipindahkan di gedung penampungan yang ada di kantor BP2MI Nunukan Timur.

‘’Di sini nyaman, kebutuhan bayi semua dipenuhi, dan kami bisa merawat bayi tanpa takut tertular penyakit macam ketika kami bercampur dengan banyak lainnya,’’katanya.


Hamil besar dan berada dalam PTS Tawau

Saat berada di Malaysia, Alma mengaku sangat tersiksa berada dalam Pusat Tahanan Sementara (PTS) dalam kondisi hamil dan harus berdesak-desakan dengan ratusan pekerja migran dari berbagai negara.

Segala sesuatu harus antre, bahkan ketika hendak ke toilet, bagi wanita hamil, hal tersebut sudah termasuk siksaan tersendiri,

Selain itu, ia yang butuh makanan bergizi demi asupan nutrizi jabang bayi, hanya bisa makan seadanya layaknya orang dalam penjara.

"Namanya dalam tahanan ya makanannya begitu, mau diapa, tapi syukurnya anakku sehat saja, kerana sempat pigi klinik 3 kali, ada klinik kat PTS.’’kata Alma.

Alma bersama suaminya Iwan (42) dan anak pertamanya Siti Nurhaliza (7) mengakui status mereka ilegal pascahabisnya masa berlaku paspor mereka sekitar 2017 lalu atau overstay,

Mereka hanya pasrah saat dimasukkan dalam mobil petugas Malaysia. Anak pertamanya terus berteriak dan menangis karena ketakutan melihat banyaknya petugas berseragam yang membawa mereka.

Padahal, saat itu mereka hendak pulang kampung ke Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.

‘’Kami ditangkap petugas Imigresen di Pelabuhan Tawau saat nak balik Indonesia, usia kandungan saat itu 8 bulan, kami dibawa ke lokap (tahanan)," tambahnya.

Baca juga: Sakit Setelah Dideportasi dari Malaysia, Tiga Buruh Migran Diisolasi

Kondisi Alma yang hamil besar tidak membuat petugas mengecualikan dengan adanya perlakuan khusus.

Alma dan keluarganya ditempatkan di salah satu ruang di PTS Tawau, negara bagian Sabah Malaysia bersama para tahanan kasus pelanggaran keimigrasian lainnya.

‘"Satu ruangan ada mungkin ratusan orang, tidur di semen semua, macam ikan disusun rapi kami tidur saking banyaknya orang di PTS, banyak yang sakit gatal-gatal sampai luka kulitnya di sana,"lanjutnya.


Sering dikejar petugas dan tak ingin kembali ke Malaysia

Alma dan suaminya mengaku sudah 8 tahun bekerja di sebuah pabrik pupuk yang ada di Lahad Datu Malaysia. Mereka mendapat upah RM 750 atau sekitar Rp 2,5 juta per bulannya.

Di pabrik inilah keduanya bertemu dan menjalin asmara sampai memiliki dua orang anak.

Suami Alma, Iwan menceritakan, sejak 2017, mereka selalu menghindari adanya razia pendatang haram oleh petugas Malaysia terhadap para PMI dan orang asing. Mereka sering menumpang di rumah rumah WNI yang sudah lama tinggal di Malaysia.

"Selalu kami pigi ke rumah orang Indonesia yang sudah lama di Malaysia, mereka kan punya rumah, di situlah kami pigi sembunyi, kami selalu selamat, tapi sewaktu pigi balek kampung baru kenak tangkap.’’katanya lagi.

Pengalaman tersebut membuat mereka tak ingin kembali ke Malaysia. Meski nanti hanya menjadi buruh serabutan di Tana Toraja, Iwan mengatakan tidak peduli asal bisa bekerja nyaman dan bisa menghidupi keluarganya tanpa takut ditangkap aparat Malaysia dengan alasan keimigrasian.

Penanganan deportan di Nunukan

Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan Buruh Migrant Indonesia pada kantor BP2MI Nunukan Arbain mengakui, banyak BMI yang mengalami gatal-gatal saat dideportasi.

Menurutnya, lingkungan PTS yang tidak sehat dan harus berbaur dengan sekian banyaknya tahanan mengakibatkan lingkungan pengap dan kurang sehat.

"Memang banyak yang gatal gatal kalau dari PTS, di pemulangan terakhir ada yang parah satu orang kita larikan ke rumah sakit, tangannya penuh luka dan digaruk terus karena gatal,’’katanya.

Arbain mengatakan, ada 1.907 BMI telah dideportasi pemerintah Malaysia melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan pada periode Januari hingga Juli 2020.

"Ada 4 kali deportasi, semua kita data, yang memiliki KTP Nunukan kita persilakan pulang, yang mau bekerja di Nunukan kita salurkan ke perusahaan kelapa sawit, dan yang pulang kampung, kita pulangkan menunggu jadwal kedatangan kapal Pelni,’’katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com