Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Lagi Andalkan Pariwisata, Warga Sebuah Desa di Bali Beralih Jadi Petani Saat Pandemi

Kompas.com - 26/08/2020, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

Tak hanya Jenek dan Arta yang mengalami hal sama. Ada sekitar 700 orang lain dari Desa Tembok yang kini kembali ke desanya karena pandemi.

Baca juga: Pertanian Mau Krisis atau Enggak, Selalu Tumbuh...

Selain para pekerja lepas seperti mereka, ada pula pekerja-pekerja lain yang dirumahkan atau bahkan diputus hubungan kerjanya. Dari sebelumnya mereka bisa mendapatkan setidaknya Rp 5 juta per bulan, sekarang tidak ada pendapatan sama sekali.

Lebih dari separuh perekonomian di Bali bergantung langsung pada wisata, sedangkan seperempatnya terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata, seperti transportasi turis dan memasok makanan ke hotel serta restoran.

Sebagai gambaran, tahun lalu Bali menarik lebih dari enam juta turis asing dan 10 juta turis domestik.

Hingga pertengahan tahun ini, Bali hanya menerima 1,1 juta turis asing—hampir semuanya datang sebelum pandemi melanda. Jumlah itu merupakan penurunan drastis dari hampir 2,9 juta turis pada periode yang sama tahun lalu.

Baca juga: Libatkan Pemuda, Badung Kembangkan Pertanian Hidroponik

Sumber pangan

Persoalannya kemudian mereka yang kembali ke kampung tersebut ternyata tidak bisa diakomodasi begitu saja oleh pemerintah melalui skema bantuan-bantuan yang ada.

Sebagian besar terhambat masalah teknis. Contohnya, mereka tidak punya pekerjaan tetap sebelumnya sehingga tak memiliki bukti surat PHK sebagai syarat mendapatkan bantuan.

Contoh lain, mereka tidak masuk kategori miskin sesuai kriteria pemerintah, tetapi saat ini sudah tak punya pekerjaan.

"Mereka terpaksa hidup dari tabungan dan pinjaman," kata Dewa Komang Yudi Astara, 34 tahun, Kepala Desa Tembok.

Baca juga: Lahan Pertanian di Siak Diserang Hama, Mentan Ajak Petani Setempat Ikut Asuransi

Yudi kemudian berpikir lebih panjang, bagaimana jika pandemi ini tidak selesai dalam waktu dekat?

Karena itulah, dia pun membuat skema baru dengan mengajak para warganya kembali bertani guna menyediakan sumber pangan.

"Karena orang akan kembali ke kebutuhan dasar. Pangan akan jadi masalah serius. Bukan soal pasokan, tetapi kemampuan membeli. Karena itu paling realistis adalah menyediakan sumber pangan," kata alumni Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua ini.

Mereka yang semula sudah lama tak bertani dia ajak untuk mengolah tanah, membuat bedengan, menyemai bibit, merawat tanaman, sampai memanen hasilnya.

Baca juga: Mentan Dukung Kabupaten Sukabumi Genjot Produksi Pertanian dengan Alsintan

Sejak sekitar April 2020 lalu, dia mengajak warganya untuk membuka lahan seluas 1,5 hektare milik salah satu warga yang tidak diolah.

Di sana mereka menanam sayur-sayuran, seperti terong, tomat, cabai, pare, dan lain-lain. Setelah berhasil di satu lokasi, mereka kemudian mengembangkan ke lokasi lain seluas 42 are. Saat ini total ada sekitar 2,5 hektare lahan yang mereka tanami. Sudah enam kali panen.

Modal pembuatan kebun itu dari Anggaran Dana Desa (ADD). Sejauh ini, menurut Yudi, mereka baru menghabiskan modal Rp 100 juta. "Ini baru permulaan," katanya.

Baca juga: Lahan Tidur 11 Hektar di Kota Tangerang Disulap Jadi Ladang Pertanian

Andalkan pertanian

Nyoman Jenek Arta memeriksa tanaman terong di lahan yang dikelolanya.Anton Muhajir Nyoman Jenek Arta memeriksa tanaman terong di lahan yang dikelolanya.
Meskipun baru permulaan, kebun-kebun pertanian itu sudah membantu warga Desa Tembok yang terdampak pandemi, seperti Arta dan Jenek.

Jenek yang mengaku sempat stres pada bulan-bulan awal kembali ke desanya, sekarang merasa lebih percaya diri.

"Percaya ndak percaya, harus percaya diri. Karena untuk di kampung, sekarang mengandalkan hidup dari bertani," katanya.

Baca juga: Berkat Asuransi Pertanian, Petani di Aceh yang Kena Banjir Rob Bisa Ajukan Klaim

Pada Rabu (12/8/2020) siang itu Jenek dan satu temannya menyiram tanaman terong yang sudah berbuah. Dia juga mencabuti rumput di lahan lain yang berisi tanaman tomat.

Dia mengaku harus belajar lagi sebelum memutuskan ikut bertani kembali. Apalagi, dia mengatakan juga tidak mungkin kembali ke Bali selatan untuk bekerja di sektor pariwisata.

"Kita tidak bisa mengharapkan pariwisata kapan kembali. Kalau ditunggu-tunggu, harapan itu tidak pasti. Lebih baik bertani," katanya.

Setelah lebih dari tiga bulan bertani, Jenek juga merasa sudah terbiasa dengan kondisi sekarang meskipun pendapatannya tidak sebanyak dulu ketika bekerja di pariwisata.

Baca juga: Gubernur Banten Minta Dinas Pertanian Tanam Cabe hingga Ketela untuk Pulihkan Ekonomi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com