Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Lagi Andalkan Pariwisata, Warga Sebuah Desa di Bali Beralih Jadi Petani Saat Pandemi

Kompas.com - 26/08/2020, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

"Pendapatan sedikit pun sekarang sudah cukup. Kalau dulu memang banyak dapat, tapi banyak juga kebutuhan," lanjutnya.

Bagi warga lain, kembali ke pertanian juga mengubah kebiasaan buruk mereka ketika uang mudah didapatkan saat bekerja di pariwisata.

"Lumayanlah. Sekarang ada tambahan untuk makan. Tidak sampai terjerumus untuk minum-minuman," kata Ketut Arta.

Tak hanya menggantungkan sektor wisata

Yudi punya cita-cita membangun desa kelahirannya. Itu sebabnya dia memilih untuk kembali ke desa meskipun sudah bekerja di bidang pariwisata.

Dia punya ide untuk mengembalikan pertanian sebagai sumber pendapatan utama desa sebagaimana pernah terjadi pada dekade 1980-an hingga 1990-an.

Kala itu, jeruk kepruk dan mangga menjadi sumber pendapatan utama warga Desa Tembok.

Pertanian makin meredup di desa ini setelah terjadi serangan hama kerusakan citrus vein phloem degeneration (CVPD) atau kerusakan pembuluh tapis pada jeruk.

Baca juga: Bekasi Deflasi 0,01 Persen, Walkot Gencarkan Program Hidroponik dan Ternak Lele

Eksploitasi berlebihan pada pohon-pohon mangga membuat hasilnya makin menurun. Pada saat yang sama, pariwisata juga makin masif di Bali sehingga menggoda banyak warga pulau itu untuk beralih profesi, termasuk di Desa Tembok.

Secara umum, pilar ekonomi Bali juga berubah. Dari semula bergantung pada pertanian, kini pelan-pelan tergantikan oleh pariwisata. Hal yang juga terjadi di Desa Tembok.

Yudi ingin menjadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum. Dia punya alasan. Pertama, katanya, tiada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Kalau toh pandemi berakhir, pariwisata tidak serta merta kembali normal.

"Turis asing dari luar negeri mungkin dibatasi dan orang-orang juga bisa bisa bekerja kembali," lanjutnya.

Baca juga: Libatkan Pemuda, Badung Kembangkan Pertanian Hidroponik

Ilustrasi Pariwisata IndonesiaDokumentasi Biro Komunikasi Kemenparekraf Ilustrasi Pariwisata Indonesia
Ketika pariwisata belum kembali normal, pendapatan dan daya beli warga juga menurun.

"Di balik daya beli turun, kita tetap perlu makan. Pertanian jawabannya," ujar Yudi.

Karena itu Yudi berharap apa yang dia lakukan juga bisa dilakukan di skala lebih luas. Tidak hanya di desa, tetapi juga oleh pemerintah Bali.

Dia berharap pemerintah Bali tidak hanya fokus untuk membuka kembali pariwisata di tengah kasus Covid-19 yang terus naik, tetapi juga memberikan perhatian pada pertanian.

"Membuka pariwisata itu untuk mendorong ekonomi juga, tetapi jangan lupa pariwisata kita juga tidak sedang baik-baik saja," katanya.

Baca juga: Iseng Berkebun Hidroponik di Tengah Pandemi Covid-19, Pemuda Ini Raup Jutaan Rupiah

Tak kalah pentingnya, lanjut Yudi, adalah menggeser model pariwisata dari pariwisata massal ke pariwisata berkualitas.

Inilah yang sudah coba diterapkan Yudi di tingkat desa. Membuat pariwisata alternatif berbasis potensi desa, seperti pertanian.

Sejak Februari 2020 lalu, Desa Tembok membuka pariwisata desa bertema Rural Experience yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Baca juga: Warga Cempaka Putih Timur Panen Bersama Sayuran Hidroponik di Tengah PSBB

Mereka mengajak turis treking menelusuri desa dan melihat keseharian warga, termasuk saat bertani di kebun.

"Pariwisata juga bukan hal buruk. Bahkan baik sekali. Dia juga sudah mempercepat kualitas hidup masyarakat, tetapi bukan berarti membiarkan satu pilar ini yang mendominasi ekonomi kita. Perlu dibangun sektor-sektor lain, seperti pertanian, UMKM, teknologi, dan SDM," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com