Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Penyandang Autoimun Saat Pandemi, Obat Langka, Sesak Napas, hingga Kritis

Kompas.com - 30/06/2020, 08:13 WIB
Rachmawati

Editor

Nihil edukasi

Kelangkaan obat bagi penyandang autoimun saat pandemi, menurut Monik, dipicu minimnya pemahaman masyarakat. Monik menyebutkan, pemerintahlah yang semestinya mengedukasi masyarakat.

Namun sejauh ini, Monik tidak melihat ada upaya tersebut.

"Saya menyesalkan saja, kenapa tidak seimbang (informasinya). Saya tahu pemerintah banyak yang harus dipikirin, tapi pemerintah punya tim kan, harusnya dari tim kesehatannya ada tim dokter yang kompeten. Ketika keluar mengenai pemerintah mengimpor obat-obatan yang dianggap obat Covid, tidak diikuti dengan edukasi."

"Saya sesalkan tidak berimbangnya kebijakan itu. Masyarakat hanya berpikir ada obatnya, tapi mereka enggak pernah tahu ada efek samping yang sangat berat, yang berbahaya, harus dalam pemantauan dokter dengan ketat. Tidak ada edukasi itu," ujar Monik.

Baca juga: Bersama Perancis, Italia dan Belgia Sepakat Tolak Hidroksiklorokuin untuk Covid-19

Menurut Monik, hidroksiklorokuin dan klorokuin memiliki efek samping yang bisa mengakibatkan kerusakan organ tubuh, seperti mata dan hati, juga mengancam jiwa, jika diminum sembarangan.

"Saat saya mengkonsumsi hidrosiklorokuin dosis tinggi itu minimal sebulan sekali saya harus periksa mata. Hidrosiklorokuin ini bisa merusak retina mata dan bisa menyebabkan kebutaan. Gejala awalnya adalah kayak buram aja melihat."

"Khawatirnya masyarakat yang tidak paham bahwa matanya buram itu bisa jadi efek samping dan tidak mau ke dokter kemudian dibiarkan, masih terus minum (hidrosklorokuin), dikhawatirkan retinanya rusak permanen sehingga menyebabkan kebutaan. Ini tanpa menyebutkan efek lainnya seperti kerusakan pada ginjal dan hati," tutur Monik.

Baca juga: Uni Eropa Larang Penggunaan Hidroksiklorokuin untuk Covid-19

Sementara itu, Dinis mengaku telah menyampaikan aspirasi ke MPR terkait kondisi yang dialami penyandang autoimun saat pandemi Covid 19. Hanya saja, aspirasi tersebut tidak disampaikan langsung, tetapi melalui daring seiring diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

"Ada upaya untuk menyampaikan hal tersebut, terutama supaya obat kami harganya tidak melambung dan lebih dimudahkan akses untuk berobat supaya tetap aman," kata Dinis.

BBC Indonesia kemudian menghubungi Farichah Hanum, Direktur Kualitas Layanan Kesehatan Kemenkes melalui pesan singkat meminta tanggapan mengenai layanan kesehatan bagi para penyandang autoimun ini.

Namun hingga berita ini diturunkan Farichah belum menjawab.

Baca juga: WHO Tangguhkan Semua Percobaan Hidroksiklorokuin untuk Obat Covid-19

Hingga kini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang autoimun di Indonesia.

Komunitas Autoimun Indonesia yang didirikan Dinis, tergabung 2.000 orang anggota yang mengidap berbagai macam penyakit autoimun.

Namun, menurut Dinis, angka itu belum menggambarkan jumlah penyandang autoimun yang sebenarnya.

"Di Indonesia, penyandang autoimun sebetulnya lebih banyak dari yang ada di member kita," ujar Dinis.

Sementara dalam data Syamsi Dhuha, komunitas penyandang lupus-salah satu jenis penyakit autoimun, diperkirakan penyandang lupus di Indonesia mencapai 135.000-270.000 orang berdasarkan prevalensi 0,05 persen - 0,1 persen dari jumlah 270 juta penduduk Indonesia.

"Belum ada data penyandang autoimun keseluruhan karena variasinya yang luas," kata Dian Syarief Ketua Syamsi Dhuha.

Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, terdapat 80 jenis penyakit autoimun. Penyakit ini kebanyakan menyerang perempuan di usia produktif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com