KOMPAS.com- Berbagai cara dilakukan seorang suami di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan bernama Andi Baso Ryadi Mappasule.
Mulai dari mencium sepatu tim gugus tugas hingga tidur di bawah mobil jenazah yang mengangkut istrinya.
Hal itu ia lakukan agar sang istri yang meninggal tak dikuburkan di makam khusus Covid-19 di Macanda, Gowa.
Terlanjur dimakamkan di Macanda, sang istri kemudian diketahui negatif Covid-19.
Baca juga: Istri Stroke Dimakamkan di Makam Khusus Pasien Covid-19, Suami Akan Gugat Gugus Tugas
Sempat dirawat, Nurhayani akhirnya meninggal dunia.
"Istri saya tidak memiliki riwayat penyakit, tiba-tiba kena stroke. Lama penanganannya sampai pecah pembuluh darah dan dia mengeluh sakit kepala terus," tutur Ryadi.
Ryadi mengungkapkan, istrinya tiba-tiba ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP).
Padahal ia yakin, bukan Covid-19 yang merenggut nyawa sang istri namun penyakit stroke.
"Jam 3 sore kena (penyakit), kurang 5 menit jam 12 malam meninggal dan divonis PDP," papar dia, Selasa (2/6/2020).
Oleh pihak Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, Nurhayani akan dimakamkan di pemakaman Macanda.
Tempat tersebut merupakan makam yang khusus diperuntukkan bagi pasien Covid-19.
Lantaran yakin istrinya tak terinfeksi, Ryadi dan anak-anaknya menolak keputusan tim gugus dan rumah sakit perihal pemakaman istrinya.
Ryadi memohon dengan mencium sepatu tim gugus agar tim tak memakamkan istrinya di Macanda.
Ia juga tidur di bawah mobil jenazah yang akan mengangkut istrinya sebagai bentuk protes.
Bahkan anaknya sempat menaiki mobil ambulans yang akan membawa ibundanya ke pemakaman khusus Covid-19.
Usaha mereka tak berhasil. Bahkan aparat sempat hendak memborgol tangan Ryadi.
Tim juga tak mengizinkan keluarga menyaksikan prosesi pemakaman sang istri.
Amarah Ryadi memuncak ketika menerima hasil tes swab yang menyatakan istrinya negatif Covid-19.
Hasil itu diterimanya tanggal 22 Mei 2020 setelah sang istri dimakamkan di pemakaman khusus Covid-19.
Ia pun memutuskan untuk menggugat gugus tugas penanganan Covid-19.
Ryadi sekaligus akan memindahkan makam istrinya.
"Sekarang saya perjuangkan dan meminta jenazah istri saya untuk dikebumikan di pemakaman keluarga apapun resikonya. Kalau saya harus menuntut lewat hukum saya akan lakukan itu," kata dia.
Ia pun kecewa dengan status PDP yang begitu cepat disematkan oleh pihak rumah sakit pada istrinya.
Status itu membuat dirinya dikucilkan hingga bisnisnya tak berjalan lancar.
Menanggapi persoalan itu, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Makassar Kombes Pol dr Farid Amansyah mengungkapkan ada alasan mendasar Nurhayani ditetapkan sebagai PDP.
Berdasarkan hasil laboratorium CT Scan dan foto thoraks, almarhumah mengalami radang paru-paru.
"Karena kriteria PDP adalah ketika ada radang paru-paru yang didapatkan dari foto ataupun CT scan thoraks kemudian didukung dengan hasil lab," ujar Farid
Sedangkan Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sulsel Ichsan Mustari mengungkapkan, keinginan Ryadi memindahkan makam istrinya bisa saja dilakukan jika pandemi sudah berakhir.
Meski hasil tes saat itu belum keluar, namun ia memastikan pemakaman orang berstatus PDP sudah sesuai prosedur.
"Pemulasaran jenazah itu sesuai protokol sesuai ketentuan. Ini bukan kepentingan petugas tapi kepentingan keluarga. Penyelenggaraan pemulasaran itu tidak lebih 4 jam. Kita kan punya tugas untuk memutus mata rantai," ucap Ichsan.
Sumber: Kompas.com (Penulis : Kontributor Makassar, Himawan | Editor : Khairina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.