Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Kereta Gantung di Rinjani, Ini Komentar Menteri LHK

Kompas.com - 09/03/2020, 11:12 WIB
Idham Khalid,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

MATARAM, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya angkat bicara terkait pro dan kontra pembangunan kereta gantung di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

Siti mengatakan, taman nasional memiliki zona yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain.

"Konservasi itu ada prinsipnya, dan di tempat zonasi itu selalu ada zona tradisional dan selalu ada zona pemanfaatannya," kata Siti di Tempat Pembuangan Sampah Kebon Kongok, Lombok Barat, Minggu (8/3/2020).

Baca juga: Menyoal Kereta Gantung yang Akan Dibangun di Gunung Bromo dan Rinjani...

Menurutnya, masih ada ruang untuk berdiskusi agar investasi itu tidak merugikan masyarakat dan merusak kawasan hutan.

"Jadi saya kira bisa dibahas dan bisa kerja sama dengan baik, prinsip-prinsip konservasinya tetap ada," kata Siti.

Penolakan

Sebelumnya, wacana pembangunan kereta gantung di TNGR ditentang sejumlah aktivis lingkungan.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) Murdani menolak rencana itu karena dinilai berpotensi merusak lingkungan.

Walhi khawatir ekosistem flora dan fauna di kawasan Gunung Rinjani akan terganggu, khususnya di sepanjang jalur kabel dan tiang pancang kereta gantung.

Kawasan Gunung Rinjani, kata dia, merupakan sumber kehidupan masyarakat Lombok yang harus terjaga kelestariannya.

Menurut Walhi, kawasan Gunung Rinjani sedang rusak parah karena perambahan hutan, penebangan liar, hingga alih fungsi lahan.

Hal itu menimbulkan berbagai macam bencana seperti banjir bandang dan kekeringan.

Tidak Berada di Kawasan TNGR

Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Madani Maukrom mengatakan, lokasi kereta gantung tidak berada di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

Kereta gantung itu akan berada di kawasan pemanfaatan jasa wisata di kawasan taman hutan raya (tahura) dan hutan lindung areal KPH.

"Mulai dari Karang Sidemen, Kecamatan Batukliang Utara, Kabuapten Lombok Tengah, menuju kawasan hutan lindung di bagian atasnya, dengan panjang kurang lebih 10 kilometer, dan menjadi kereta gantung terpanjang di dunia," kata Madani Rabu (22/1/2020).

Madani menyebut, PT Indonesia Lombok Resort akan membangun fasilitas itu.

"Bulan November 2019 mereka menghadap Dinas LHK dan kami sampaikan bisa dilakukan dengan beberapa syarat, salah satunya tidak dibangun sampai kawasan TNGR," kata dia.

Kawasan Pelawangan, Danau Segara Anak, dan Puncak Rinjani, termasuk zona inti TNGR.

Berdasarkan UU, dilarang membangun sarana dan prasaran di zona inti taman nasional.

Madani menegaskan, wacana pembangunan taman gantung pernah diusulkan Pemerintah Lombok Tengah pada 2013.

Tapi, karena HGU dan pengelolaan hutan beralih ke provinsi, izin kereta gantung tak bisa diterbitkan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah.

Baca juga: Pernah Disengat, Warga Serpong Minta Sarang Tawon di Dekat Rumahnya Segera Diangkat

Madani mengibaratkan kereta gantung ini dengan jalan raya penghubung dari Pesugulan ke Sembalun, atau Sajang menuju Sembalun. Jalan raya itu dibangun di kawasan hutan lindung.

Saat pembangunan jalan tersebut, pemerintah setempat juga menerima kritikan dari berbagai pihak. Tapi, sarana itu bisa dinikmati masyarakat.

Pembangunan kereta gantung ini diharapkan menggenjot pariwisata di Gunung Rinjani.

Masyarakat yang tak mampu melakukan pendakian tetap bisa menikmati keindahan alam Gunung Rinjani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com