Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Keraton Agung Sejagat dan Pentingnya Critical Thinking

Kompas.com - 25/01/2020, 18:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Peristiwa lain terkait raja dan sultan adalah Seminar Nasional Pemajuan Kebudayaan di Universitas Pakuan pada 17 Desember 2019 lalu. Hadir dalam acara itu 25 raja dan sultan senusantara, di antaranya Pangeran Raja Barik Barlian (Kerajaan Djipang) yang sempat viral dipersoalkan.

Dalam kasus Keraton Agung Sejagat, boleh jadi munculnya kerajaan baru tersebut terinspirasi dari peristiwa sering terjadinya pertemuan raja dan sultan senusantara atau bahkan se Asia, sehingga ada harapan eksistensi mereka pun kelak akan diakui.

Kehadiran kerajaan baru ini sebagai upaya meromantisasi kehidupan kerajaan yang agung dan ekslusif di masa lalu.

Dalam sejarahnya keberadaan raja dan sultan yang kini masih ada di negara NKRI ini diakui keberadaannya karena ada jejak-jejak sejarah yang menjadi bukti empiris.

Bukti empiris tentu saja aspek penting dalam ilmu pengetahuan yang tidak bisa dikesampingkan, demikian pula sejarah kerajaan, memerlukan bukti empiris, adanya jejak-jejak, baik itu berupa tulisan, prasasti, tradisi lisan atau situs-situs peninggalan sejarah baik benda maupun tak benda lainnya yang bisa ditelusuri oleh para sejarawan, budayawan, arkeolog, dan ilmuwan terkait lainnya, dengan metodologi tertentu sehingga bisa membuktikan kebenaran sejarahnya.

Bagaimana kita menyikapi munculnya fenomena sosial munculnya kerajaan baru tersebut?

Critical thinking

Edukasi dan pemikiran kritis diperlukan untuk menyikapi fenomena sosial yang muncul di sekeliling kita.

Dalam kasus ini penting digaungkan literasi sejarah dan budaya lokal terhadap penduduk di setiap wilayah di Indonesia.

Pengetahuan tentang sejarah Nusantara, sejarah kerajaan di Indonesia maupun sejarah lokal diperlukan agar pemikiran logis tetap bisa menjadi pegangan sebagai landasan hidup bermasyarakat.

Critical thinking akan membuat kita berpikir lebih rasional serta beralasan dan berdasarkan fakta, tidak mudah percaya dengan perkataan orang lain, sehingga tidak mudah tertipu atau ditipu oleh orang lain.

Melalui cara berpikir kritis kita memproses suatu informasi apakah relevan atau sesuatu yang mustahil sehingga dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang tidak benar atau mengandung unsur kebohongan.

Berpikir kritis menuntun kita lebih selektif dalam mengolah informasi, dan membiasakan diri untuk menganalisis data-data yang ada maupun informasi-informasi yang kita peroleh.

Untuk membiasakan diri berpikir kritis, kita perlu mengkaitkan segala informasi yang di terima dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com