Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Peluang Calon Independen di Pilkada 2020

Kompas.com - 29/12/2019, 15:15 WIB
Farid Assifa

Editor

Partai politik sudah memiliki struktur dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Para kadernya sudah bisa langsung bergerak untuk memenangkan calon yang diusung parpol. Namun calon independen sendiri sedari awal belum memiliki struktur.

Oleh karena itu, kata Tatang, maka sebagai salah satu alternatif pengganti struktur kekuatan parpol, pihaknya membentuk tim, mulai dari desa, kecamatan bahkan hingga sampai ke TPS.

Untuk mengumpulkan KTP dan tanda tangan dukungan, Tatang mengatakan bukan perkara mudah. Pihaknya melakukan sosialisasi, komunikasi, pendekatan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat serta tokoh agama. Alhasil, kata dia, calon independen yang diusungnya sudah mendapat dukungan lebih dari 50 persen sehingga bisa memenuhi syarat untuk mendaftar.

"Dengan sosialisasi dan membangun pemahaman bersama, maka masyarakat dengan sadar dan penuh tanggung jawab membubuhkan tanda tangan dalam setiap dukungan. Jadi memang untuk mendapat dukungan itu jauh lebih berat. Saya punya pengalaman panjang dengan partai, tapi belum sesulit ini," katanya.

Tatang yakin suatu saat tidak menutup kemungkinan bahwa ketika calon independen sudah ditetapkan dan memiliki nomor, maka pengurus parpol akan berbondong-bondong memberikan dukungan dan memberikan perlindungan kepada calon independen.

"Mereka akan yakin dan sadar bahwa yang betul-betul akan mengurus parpol itu independen," katanya.

Tak percaya parpol

Sementara itu, salah satu anggota Dewan Kiai Pesantren HZ Mustofa, Sukamanah, Aceng Salman mengatakan, ia akan memperjuangkan calon independen berdasarkan beberapa alasan. Pertama, ia mengaku paham betul sepak terjang parpol, terutama pada pemilihan legislatif.

Aceng yang mengaku pernah menjadi penyelenggara pemilu menyaksikan bagaimana transaksi terjadi di dalam proses pileg.

"Apa yang dilakukan parpol itu luar biasa bobrok. Ada jual beli suara. Nomor urut diperjualbelikan. Sesuatu yang diawali ketidakbaikan dengan kecurangan nanti akan berbuat dan muncul kebijakan curang," katanya.

Alasan kedua adalah bahwa pemerintah yang lahir dari figur partai politik, kata Aceng, akan memunculkan kebijakan yang tebang pilih. Aceng yang juga tokoh pesantren di Sukamanah mengaku merasakan imbas dari kebijakan diskriminatif itu.

Misalnya, dalam hal bantuan, pemerintah parpol cenderung memprioritaskan pesantren-pesantren yang memiliki kedekatan atau berafiliasi dengan partai politik, sementara mengabaikan pesantren non-partai.

"Artinya ada politik balas jasa. Ada bantuan untuk pendidikan dan fisik, yang diutamakan pesantren yang berafiliasi dengan parpol. Rata-rata kebijakan pemerintah dari parpol tebang pilih. Mengabaikan lembaga pendidikan yang tak beri dukungan. Ketimpangannya seperti itu," kata Aceng.

Oleh karena itu, Aceng yakin pemerintah dari independen akan betul-betul mengeluarkan kebijakan untuk masyarakat dan tanpa tebang pilih. Sebab, pemerintahnya lahir dari masyarakat dan pertanggungjawaban moralnya kepada masyarakat.

"Independen itu bebas dan mandiri, tidak ada kaitan dengan parpol. Maka, independen itu jadi solusi yang tepat saat ini," katanya.

Menurutnya, sejak munculnya undang-undang yang memperbolehkan calon independen maju di pilkada, sudah ada 18 pasangan yang menang. Sebanyak 6 di antaranya menang telak. Salah satunya di Garut yang memenangkan Aceng Fikri dari calon independen.

Namun demikian, ia mengaku jika calon independen ditakdirkan menang, maka harus ada konsolidasi juga dengan parpol selain dengan tokoh masyarakat dan ulama. Sebab, jaringan di tingkat elite juga penting.

"Meski ada konsolidasi, tetapi kebijakan pemerintah tidak akan dikangkangi parpol. Ada mekanisme tertentu," katanya.

Tak puas pemerintah

Sementara itu, calon bupati dari independen, Cep Zamzam Djulfikar Nur, di tempat yang sama, mengatakan, ia maju dari jalur perseorangan karena dorongan dari masyarakat, tokoh masyarakat dan ulama.

Menurutnya, masyarakat dan tokoh ulama merasa tidak puas dengan pemerintah yang lahir dari partai politik. Arah kebijakannya kurang maksimal. Arah pembangunan tidak merata dan tebang pilih.

"Kemudian muncul gagasan independen. Kami tawarkan berbagai macam ide dan gagasan. Kami tawarkan komitmen ke masyarakat luas," kata pimpinan Ponpes Sukarame ini.

Pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan pengumpulan KTP dukungan sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, saat ini jumlah KTP dukungan asli dan murni dari masyarakat sudah lebh dari cukup untuk mendaftar.

Ia mengatakan akan mencalonkan diri dari jalur independen karena ingin fokus membangun masyarakat, tanpa harus tersandera oleh kepentingan tertentu.

Menurutnya, untuk mencalonkan diri dari parpol, harus melewati tiga jenjang, mulai dari pengurus parpol kabupaten, provinsi hingga pusat. Semuanya memiliki kepentingan. Jadi ketika nanti menang, maka seorang pemimpin terlebih dahulu harus mengutamakan kepentingan di tiga jenjang itu.

"Sementara independen fokus pada masyarakat. Kebijakan yang dilahirkan tak terlepas dari komunikasi dengan tokoh masyarakat," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com