Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Peluang Calon Independen di Pilkada 2020

Kompas.com - 29/12/2019, 15:15 WIB
Farid Assifa

Editor

TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Selain figur dari partai politik, Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2020 kemungkinan akan diramaikan oleh calon pemilih perseorangan atau independen.

Pasangan Cep Zamzam Dzulfikar Nur dan Padil Karsoma (mantan sekda Purwakarta) menyatakan siap untuk mendaftar ke KPUD Kabupaten Tasikmalaya.

Namun Kabupaten Tasikmalaya sudah lama menjadi basis konsituten ideologis partai. Hingga saat ini, belum pernah calon independen menang di Pilkada Kabupaten Tasikmalaya.

Lalu sekarang muncul calon pasangan independen yang didukung mantan Bupati Tasikmalaya dua periode, Tatang Farhanul Hakim. Tatang juga pernah lama menjadi ketua DPC PPP.

Apakah calon independen berpeluang besar menang di Kabupaten Tasikmalaya?

Krisis figur parpol

Penasihat pasangan calon independen Zamzam-Padil, Tatang Farhanul Hakim, mengatakan, saat ini Kabupaten Tasikmalaya mengalami perubahan arah politik yang cukup signifikan. Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang dulu dikenal konstituen ideologis partai saat ini sudah berubah.

Baca juga: Pilkada 2020 Diprediksi Sepi Calon Independen karena Penguatan Oligarki

Tatang menyatakan fakta politik saat ini menunjukkan bahwa partai sudah tidak layak berbicara tentang ideologi, kecuali yang ideologi populer zaman Order Baru seperti nasionalis dan pancasilais.

"Beda ketika zaman Orde Baru, ada Golkar, PDI-P, PPP. Ideologi begitu kuat," kata Tatang kepada Kompas.com di Pesantren Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).

Selain itu, kata Tatang, membaca kondisi partai politik saat ini, nyaris tidak lagi figur partai politik yang layak untuk memimpin Kabupaten Tasikmalaya.

Hal itu terbukti dari pilkada sebelumnya, yakni pasangan petahana Uu Ruzhanul Ulum-Ade Sugianto yang melawan kotak kosong. Tak ada satu pun figur parpol yang dianggap mumpuni untuk maju di pilkada saat itu, sehingga pilkada hanya memilih satu calon.

Fenomena itu, menurut dia, menunjukkan bahwa partai sudah mengalami krisis figur. Ditambah sekarang, menjelang Pilkada 2020 yang tinggal hitungan bulan, belum ada satu partai pun yang sudah menyatakan akan mengusung kadernya untuk maju ke Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2020. Kendati pun ada, itu baru wacana.

"Apa yang dirasakan masyarakat saat ini ternyata dirasakan juga oleh saya. Ngapain pilih calon dari parpol karena tidak ada. Paling nantinya rental figur dari luar partai," kata politisi senior Kabupaten Tasikmalaya itu.

Selain itu, lanjut Tatang, berdasarkan hasil blusukannya ke masyarakat selama lima bulan ini, mereka sudah antipati terhadap figur dari partai. Sebab, kepemimpinan dari partai saat ini hanya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang cenderung berpihak pada kepentingan partai. Sementara kepentingan masyarakat hanya diberi porsi kecil.

Calon bupat dari independen, Cep Zamzam Djulfikar (kiri), Tatang Farhanul Hakim (dua dari kiri) dan sejumlah tim pemenangan pasangan independen di Pondok Pesantren Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (27/12/2019).KOMPAS.com/ FARID ASSIFA Calon bupat dari independen, Cep Zamzam Djulfikar (kiri), Tatang Farhanul Hakim (dua dari kiri) dan sejumlah tim pemenangan pasangan independen di Pondok Pesantren Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (27/12/2019).

Bahkan, kata dia, akibat kepemimpinan yang berbasis partai, muncul kasus-kasus hukum yang mendera pemerintahan di Kabupaten Tasikmalaya akibat kebijakan yang terlalu mengakomodasi kepentingan partai.

Misalnya, kasus korupsi hibah yang menjerat mantan Sekda H Abdul Kodir, kasus korupsi proyek infrastruktur dan lainnya.

"Maka saya katakan saat ini terjadi tsunanami politik. Banyak pejabat dihukum. Kades juga. Itu beban politik. Kalau dibiarkan rakyat kasihan, harus menanggung dosa dari kesalahan yang mereka tidak tahu menahu," ujar mantan ketua DPC PPP Kabupaten Tasikmalaya itu.

Baca juga: Jelang Pilkada 2020, Calon Panwascam Diseleksi Secara Online

Oleh karena itu, lanjut dia, seorang figur baru dan alternatif muncul, yakni figur dari indepeden yang saat ini diusungnya, pasangan Cep Zamzam-Padil Karsoma. Tatang yakin pasangan ini bisa memimpin Kabupaten Tasikmalaya menuju arah lebih baik.

Sebab, kata dia, pemimpin dari independen tidak memiliki beban politik terhadap partai. Pertanggungjawabannya bukan pada partai, tetapi langsung ke masyarakat, sehingga kebijakan pemerintah pun akan lebih fokus pada masyarakat.

"Apalagi Pak Cep Zamzam itu adalah tokoh pesantren dan memiliki pengalaman birorkasi, bersih. Dia juga punya harapan besar untuk memajukan Kabupaten Tasikmalaya karena punya komitmen pada visi dan misi," kata Tatang.

Tatang yakin calon independen bisa menang pada pilkada 2020 nanti. Sebab, presedennya sudah ada.

Di Jawa Barat, misalnya, Ridwan Kamil bukanlah figur politik dan bukan pula fungsionaris atau pengurus parpol, tapi dia terpilih menjadi gubernur meski dia memakai perahu partai politik.

"Intinya RK (Ridwan Kamil) itu independen juga. Jokowi juga sama, bukan pengurus partai. Tapi mereka menang," katanya.

"Jadi Tasikmalaya akan mengakselerasi kondisi regional dan nasional. Mudah-mudahan tampilnya independen ini menjadi solusi," lanjut pria yang pernah menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat berpasangan dengan Irianto MS Syafiuddin (Yance) pada Pilkada Jabar tahun 2012 ini.

Diakui berat

Kendati peluang kemenangan calon independen cukup besar, namun untuk mencapai tujuan itu, Tatang mengaku berat. Hal itu menjadi tantangan buat timnya.

Partai politik sudah memiliki struktur dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Para kadernya sudah bisa langsung bergerak untuk memenangkan calon yang diusung parpol. Namun calon independen sendiri sedari awal belum memiliki struktur.

Oleh karena itu, kata Tatang, maka sebagai salah satu alternatif pengganti struktur kekuatan parpol, pihaknya membentuk tim, mulai dari desa, kecamatan bahkan hingga sampai ke TPS.

Untuk mengumpulkan KTP dan tanda tangan dukungan, Tatang mengatakan bukan perkara mudah. Pihaknya melakukan sosialisasi, komunikasi, pendekatan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat serta tokoh agama. Alhasil, kata dia, calon independen yang diusungnya sudah mendapat dukungan lebih dari 50 persen sehingga bisa memenuhi syarat untuk mendaftar.

"Dengan sosialisasi dan membangun pemahaman bersama, maka masyarakat dengan sadar dan penuh tanggung jawab membubuhkan tanda tangan dalam setiap dukungan. Jadi memang untuk mendapat dukungan itu jauh lebih berat. Saya punya pengalaman panjang dengan partai, tapi belum sesulit ini," katanya.

Tatang yakin suatu saat tidak menutup kemungkinan bahwa ketika calon independen sudah ditetapkan dan memiliki nomor, maka pengurus parpol akan berbondong-bondong memberikan dukungan dan memberikan perlindungan kepada calon independen.

"Mereka akan yakin dan sadar bahwa yang betul-betul akan mengurus parpol itu independen," katanya.

Tak percaya parpol

Sementara itu, salah satu anggota Dewan Kiai Pesantren HZ Mustofa, Sukamanah, Aceng Salman mengatakan, ia akan memperjuangkan calon independen berdasarkan beberapa alasan. Pertama, ia mengaku paham betul sepak terjang parpol, terutama pada pemilihan legislatif.

Aceng yang mengaku pernah menjadi penyelenggara pemilu menyaksikan bagaimana transaksi terjadi di dalam proses pileg.

"Apa yang dilakukan parpol itu luar biasa bobrok. Ada jual beli suara. Nomor urut diperjualbelikan. Sesuatu yang diawali ketidakbaikan dengan kecurangan nanti akan berbuat dan muncul kebijakan curang," katanya.

Alasan kedua adalah bahwa pemerintah yang lahir dari figur partai politik, kata Aceng, akan memunculkan kebijakan yang tebang pilih. Aceng yang juga tokoh pesantren di Sukamanah mengaku merasakan imbas dari kebijakan diskriminatif itu.

Misalnya, dalam hal bantuan, pemerintah parpol cenderung memprioritaskan pesantren-pesantren yang memiliki kedekatan atau berafiliasi dengan partai politik, sementara mengabaikan pesantren non-partai.

"Artinya ada politik balas jasa. Ada bantuan untuk pendidikan dan fisik, yang diutamakan pesantren yang berafiliasi dengan parpol. Rata-rata kebijakan pemerintah dari parpol tebang pilih. Mengabaikan lembaga pendidikan yang tak beri dukungan. Ketimpangannya seperti itu," kata Aceng.

Oleh karena itu, Aceng yakin pemerintah dari independen akan betul-betul mengeluarkan kebijakan untuk masyarakat dan tanpa tebang pilih. Sebab, pemerintahnya lahir dari masyarakat dan pertanggungjawaban moralnya kepada masyarakat.

"Independen itu bebas dan mandiri, tidak ada kaitan dengan parpol. Maka, independen itu jadi solusi yang tepat saat ini," katanya.

Menurutnya, sejak munculnya undang-undang yang memperbolehkan calon independen maju di pilkada, sudah ada 18 pasangan yang menang. Sebanyak 6 di antaranya menang telak. Salah satunya di Garut yang memenangkan Aceng Fikri dari calon independen.

Namun demikian, ia mengaku jika calon independen ditakdirkan menang, maka harus ada konsolidasi juga dengan parpol selain dengan tokoh masyarakat dan ulama. Sebab, jaringan di tingkat elite juga penting.

"Meski ada konsolidasi, tetapi kebijakan pemerintah tidak akan dikangkangi parpol. Ada mekanisme tertentu," katanya.

Tak puas pemerintah

Sementara itu, calon bupati dari independen, Cep Zamzam Djulfikar Nur, di tempat yang sama, mengatakan, ia maju dari jalur perseorangan karena dorongan dari masyarakat, tokoh masyarakat dan ulama.

Menurutnya, masyarakat dan tokoh ulama merasa tidak puas dengan pemerintah yang lahir dari partai politik. Arah kebijakannya kurang maksimal. Arah pembangunan tidak merata dan tebang pilih.

"Kemudian muncul gagasan independen. Kami tawarkan berbagai macam ide dan gagasan. Kami tawarkan komitmen ke masyarakat luas," kata pimpinan Ponpes Sukarame ini.

Pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan pengumpulan KTP dukungan sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, saat ini jumlah KTP dukungan asli dan murni dari masyarakat sudah lebh dari cukup untuk mendaftar.

Ia mengatakan akan mencalonkan diri dari jalur independen karena ingin fokus membangun masyarakat, tanpa harus tersandera oleh kepentingan tertentu.

Menurutnya, untuk mencalonkan diri dari parpol, harus melewati tiga jenjang, mulai dari pengurus parpol kabupaten, provinsi hingga pusat. Semuanya memiliki kepentingan. Jadi ketika nanti menang, maka seorang pemimpin terlebih dahulu harus mengutamakan kepentingan di tiga jenjang itu.

"Sementara independen fokus pada masyarakat. Kebijakan yang dilahirkan tak terlepas dari komunikasi dengan tokoh masyarakat," katanya.

Kehilangan momentum

Koordinator Pemenangan Pemilu PPP Wilayah Priangan Timur, Basuki Rahmat mengatakan, sah-sah saja muncul pendapat bahwa calon independen lahir karena ketidakpuasan terhadap calon dari parpol. Hal itu jika parameternya dari hasil pemilihan legislatif.

Namun demikian, kata Basuki, pemilihan legislatif (pileg) berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Pileg itu, kata Basuki, memiliki variabel yang banyak.

"Kalau saya melihat beberapa kali pilkada itu tidak bisa disamakan dengan pileg, karena pilkada itu kan calonnya relatif lebih sedikit. Pilkada biasanya lebih merepresentasikan politk yang sebenarnya," kata Basuki kepada Kompas.com via sambungan telepon, Minggu (29/12/2019).

Namun demikian, Basuki mengatakan, calon indepeden bisa saja berpeluang di Kabupaten Tasikmalaya. Namun tetap figur dari partai politik akan mendominasi di Pilkada 2020.

"Saya tetap (meyakini) bahwa pilkada ini akan ramai oleh calon dari parpol. Peluang calon independen itu ada sejauh bisa mengangkat isu yang pas. Tapi hari ini kayaknya momentumnya sudah lewat, karena pilkadanya tingal bebrapa bulan lagi," katanya.

Selain itu, kata Basuki, hari ini ia belum melihat keseriusan dari calon independen ini. Kalau hanya dia didorong oleh salah satu tokoh belum bisa dijadikan takaran. Belum kelihatan massif.

"Tapi kelihatannya tetap parpol yang akan meramaikan pilkada," katanya.

Ia mengatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk calon independen agar bisa maju. Pertama harus mampu membangun isu apa yang diawarkan, bukan sekadar independen.

Berkaca pada Garut, Basuki mengatakan, calon independen Aceng Fikri menang karena ada isu besar yang dibangun sehingga mampu meruntuhkan birokrasi dan partai politik.

Sementara di Kabupaten Tasikmalaya sendiri tidak ada isu yang besar sehingga mampu menghancurkan tatanan pemerintah dan partai politik.

"Tapi sekarang sulit, (calon independen) kehilangan momentum karena waktunya sudah lewat. Dalam waktu beberapa bulan ini apakah (calon indepden) mampu mendesain isu nggak? Kayaknya sulit," katanya.

Ketika ditanya bahwa calon independen akan mengangkat isu soal beberapa pejabat yang dipenjara karena kasus hukum dan hal itu sebagai akibat dari pemerintah yang lahir dari partai politik, Basuki mengatakan efeknya tidak besar. Apalagi, kata dia, kasus itu lebih bersifat pribadi.

"Kalau itu memiliki dampak besar, mestinya Pak Uu (Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum), akan terdampak saat Pilkada Jabar. Tapi ternyata tidak terdampak. Itu isu individu, bukan isu-isu umum," kata wakil sekretaris DWP PPP Jawa Barat ini.

Basuki memprediksi, calon yang akan meramaikan Pilkada Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 4 pasangan, yakni 3 dari parpol dan 1 dari independen.

Prasyarat calon independen

Di bagian lain, pengamat politik sekaligus Direktur Indo Strategi, Arif Nurul Iman mengatakan, calon independen hadir sebagai kritik terhadap partai politik, khususnya dalam pengusungan calon jabatan publik seperti kepala daerah yang kerap bersifat transaksional atau mesti membayar mahar politik.

Menurutnya, peluang calon independen ada karena ketidakpercayaan publik dan keterikatan pemilih dengan parpol di Indonesia rendah.

Meski demikian, kata dia, peluang calon independen juga tidak mudah karena parpol telah memiliki mesin politik, pengalaman, dan jaringan hingga akar rumput sehingga lebih mudah menggalang dukungan.

Arif mengatakan, di Pilkada Tasikmalaya yang disinyalir kental kuat politik ideologis dan aliran, tentu peluang calon independen besar jika memenuhi beberapa prasyarat.

Misalnya, apakah figur yang diusung itu merepresentasikan ideologi yang besar di Tasikmalaya. Lalu variabel berikutnya, apakah parpol mengajukan sosok kuat apa tidak.

"Ini salah satu faktor penting yang mesti diperhitungkan calon independen," kata Arif kepada Kompas.com, Minggu.

Baca juga: Calon Independen Bakal Ikut Ramaikan Pilkada 2020 di Gunungkidul

Menurutnya, tokoh pesantren yang maju independen jika mau menang tentu mesti memiliki jaringan politik hingga tingkat TPS. Para kader ini yang akan menyampaikan pesan kepada para pemilih sebagai mesin elektoral.

Faktor lain adalah soal soliditas tokoh pesantren yang maju apakah banyak calon atau hanya satu orang. Kalau misalnya banyak calon tentu memperumit konsolidasi, karena selain bukan representasi tunggal, suara juga akan terpecah.

"Calon independen jika ingin menang juga mesti menerobos kelompok pemilih cair yang tidak terafiliasi dengan parpol, serta mampu menawarkan visi misi yang menjadi kebutuhan masyarakat," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com