Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Pembunuhan Mantan Wartawan di Sumatera Utara, Ditemukan Mengenaskan di Parit Belakang Gudang

Kompas.com - 05/11/2019, 11:16 WIB
Rachmawati

Editor

"(Tahun) 2016 paling tinggi, itu 81 kasus kekerasan terhadap jurnalis," ungkap Erick kepada BBC News Indonesia.

Sementara pada tahun 2017 angka itu menurun jadi 60 kasus, dan kembali meningkat menjadi 64 kasus di tahun 2018. Kasus-kasus tersebut melingkupi aksi kekerasan fisik, persekusi online (doxing), hingga persekusi di lapangan oleh massa.

Baca juga: KPK Tangkap Buronan Korupsi Suap Mantan Bupati Labuhanbatu

Isu politik dinilai sebagai topik pemberitaan yang paling banyak menyebabkan terjadinya kasus kekerasan terhadap awak media.

"2016 kenapa banyak? Karena ini berdekatan dengan situasi politik jelang Pilkada DKI Jakarta. Nah, itu banyak terjadi kasus kekerasan (terhadap jurnalis) oleh kelompok-kelompok warga, kelompok yang intoleran," tuturnya.

Meski demikian, menurut Erick, selama tiga tahun terakhir, aparat kepolisian dinilai sebagai pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap wartawan.

Baca juga: KPK Tangkap Buronan Korupsi Suap Mantan Bupati Labuhanbatu

Aksi itu, menurutnya, dilakukan ketika wartawan tengah meliput penanganan dari aparat kepolisian "ketika menangani massa aksi dengan tindakan represif, pemukulan, kekerasan, dan tembakan gas air mata".

"Banyak yang diambil paksa handphonenya, dihapusin foto, video, dan juga banyak yang dipukul, ada yang dianiaya, dikeroyok, paling banyak terjadi waktu demonstrasi tanggal 21-22 Mei (2019) di Bawaslu," ujar Erick.

Kepolisian sendiri mengakui benturan yang lebih sering terjadi antara awak media dengan aparat dalam penanganan unjuk rasa belakangan. Hal itu diungkapkan Kepala Bagian Penerangan Satuan (Kabag Pensat) Div Humas Polri, Kombes Yusri Yunus, seperti dikutip dari laman AJI (4/11/2019).

Baca juga: Syamsudin Ilyas Dedikasikan Diri dengan Dirikan Kelas Jurnalis Cilik untuk Anak Pesisir

Ia meminta Komite Keselamatan Jurnalis - komite bentukan sejumlah lembaga pers dan organisasi nonpemerintah - agar lebih proaktif melaporkan kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis kepada polisi.

"Kita ini mitra dan teman. Jadi tidak usah takut. Datang kepada saya. Kalau perlu saya temani untuk melaporkan kasusnya," kata Yusri.

Ia juga berharap dapat dibuatnya standar operasional prosedur (SOP) khusus jurnalis dan anggota Polri yang mengatur soal unjuk rasa.

Baca juga: AJI: Kekerasan terhadap Jurnalis Jadi Ancaman Nyata pada Era Jokowi-Maruf Amin


Kerja jurnalistik dianggap semakin berisiko

Kemenkumham akui tak pertimbangkan rasa keadilan masyarakat saat memberi remisi pada pembunuh wartawan Bali, Prabangsa ANTON MUHAJIR Kemenkumham akui tak pertimbangkan rasa keadilan masyarakat saat memberi remisi pada pembunuh wartawan Bali, Prabangsa
Menurut Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, kerja-kerja jurnalistik semakin berisiko dari tahun ke tahun, walaupun profesi jurnalis sendiri dikenal sebagai pekerjaan yang memang rentan bahaya.

"Makin berisiko, terutama dengan situasi era Jokowi belakangan - kalau kita ngelihat situasi politiknya - yang berkuasa hari ini oligarki ya, sekelompok kekuatan pengusaha yang tergabung dalam pemerintahan dan menguasai beberapa sumber daya alam, investasi," ujarnya.

Akibatnya, tutur Erick, semakin banyak aksi teror yang diterima wartawan, terlebih yang fokus utama pemberitaannya berkutat dalam isu sumber daya alam dan lingkungan.

Baca juga: Jurnalis Kompas.com dan KataData Laporkan Kasus Penganiayaan Saat Peliputan Demo

Di luar itu, Erick juga menilai impunitas alias kekebalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia. Imbasnya, kasus serupa bisa terus berulang karena tidak adanya efek jera yang timbul dari pengusutan kasus-kasus tersebut.

"Jadi dari semua kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis yang kita laporkan (lima tahun terakhir), kita dampingi ke kepolisian, itu belum ada satupun yang diproses secara hukum sampai di pengadilan," kata Erick.

Menurutnya, hanya ada satu kunci untuk mengakhiri impunitas tersebut: "political will".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com