KOMPAS.com- Kasus pembunuhan dua pria - salah satunya mantan wartawan - di Labuhanbatu, Sumatera Utara, dikhawatirkan menambah panjang daftar kasus kekerasan terhadap pekerja media di Indonesia.
Hingga Senin (4/11/2019), polisi sudah mengerucutkan sejumlah nama pelaku pembunuhan terhadap Maraden Sianipar dan Martua Parasian Siregar yang masih dalam proses pengejaran.
"Identitasnya sudah diketahui tapi masih belum bisa tertangkap," ujar Kapolres Labuhanbatu AKBP Agus Darojat melalui pesan singkat.
Setidaknya sudah ada 11 saksi yang diperiksa, beberapa di antaranya berasal dari perusahaan minyak kelapa sawit PT Sei Alih Berombang (SAB) yang menguasai lahan tempat ditemukannya kedua jasad korban.
Baca juga: Suami Istri Ditemukan Tewas Tergantung di Jembatan Labuhanbatu
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes (Pol) Tatan Dirsan Atmaja, mengatakan bahwa Polda Sumut dan Polres Labuhanbatu telah membentuk tim untuk menangani kasus tersebut.
"Sifatnya Polda Sumatera Utara memback up penanganan kasus," kata Tatan melalui sambungan telepon, "Kita tunggu, mudah-mudahan segera terungkap, ini tim lagi bekerja di lapangan."
Jasad Maraden (55 tahun) dan Martua (42 tahun) masing-masing ditemukan dalam kondisi mengenaskan pada hari Rabu (30/10/2019) dan Kamis (31/10/2019) di parit belakang gudang PT Sei Alih Berombang (SAB), hanya terpisah 200 meter dari satu sama lain.
Baca juga: Misteri Tengkorak di Sumur Tua Labuhanbatu, Polisi Temukan Fakta Baru
Polisi menyebut Maraden sebagai mantan wartawan mingguan lokal, Pilar Indonesia Merdeka (Pindo Merdeka), sekaligus mantan calon anggota legislatif pada pileg 2019, sedangkan Martua merupakan aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Keduanya disebut kerap menjembatani sengketa lahan antara warga lokal dengan pemilik lahan perkebunan kelapa sawit, PT Sei Alih Berombang (SAB).
Baca juga: 7 Pegawai Puskesmas Labuhanbatu Terjaring OTT, Uang Rp 188 Juta Disita
Menurut data yang dihimpun lembaga nonprofit Committee to Protect Journalists, setidaknya ada 10 wartawan Indonesia yang tewas karena pemberitaan yang mereka publikasikan sejak era '90-an - delapan di antaranya tewas dibunuh.
Salah satunya Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, wartawan Bernas yang kasusnya tak tuntas diusut polisi hingga saat ini.
Udin yang kala itu - tahun 1996 - kerap menulis laporan yang mengkritisi kebobrokan Orde Baru, dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya di Yogyakarta.
Baca juga: KPK Tahan Perantara Suap Mantan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap
Ia menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari kemudian, 16 Agustus 1997, setelah mengalami luka parah di kepala.
Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, menyebut kasus kekerasan terhadap jurnalis selama tiga tahun terakhir didominasi oleh aksi represif polisi dan kelompok masyarakat terhadap wartawan saat melakukan peliputan unjuk rasa.
"(Tahun) 2016 paling tinggi, itu 81 kasus kekerasan terhadap jurnalis," ungkap Erick kepada BBC News Indonesia.
Sementara pada tahun 2017 angka itu menurun jadi 60 kasus, dan kembali meningkat menjadi 64 kasus di tahun 2018. Kasus-kasus tersebut melingkupi aksi kekerasan fisik, persekusi online (doxing), hingga persekusi di lapangan oleh massa.
Baca juga: KPK Tangkap Buronan Korupsi Suap Mantan Bupati Labuhanbatu
Isu politik dinilai sebagai topik pemberitaan yang paling banyak menyebabkan terjadinya kasus kekerasan terhadap awak media.
"2016 kenapa banyak? Karena ini berdekatan dengan situasi politik jelang Pilkada DKI Jakarta. Nah, itu banyak terjadi kasus kekerasan (terhadap jurnalis) oleh kelompok-kelompok warga, kelompok yang intoleran," tuturnya.
Meski demikian, menurut Erick, selama tiga tahun terakhir, aparat kepolisian dinilai sebagai pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Baca juga: KPK Tangkap Buronan Korupsi Suap Mantan Bupati Labuhanbatu
Aksi itu, menurutnya, dilakukan ketika wartawan tengah meliput penanganan dari aparat kepolisian "ketika menangani massa aksi dengan tindakan represif, pemukulan, kekerasan, dan tembakan gas air mata".
"Banyak yang diambil paksa handphonenya, dihapusin foto, video, dan juga banyak yang dipukul, ada yang dianiaya, dikeroyok, paling banyak terjadi waktu demonstrasi tanggal 21-22 Mei (2019) di Bawaslu," ujar Erick.
Kepolisian sendiri mengakui benturan yang lebih sering terjadi antara awak media dengan aparat dalam penanganan unjuk rasa belakangan. Hal itu diungkapkan Kepala Bagian Penerangan Satuan (Kabag Pensat) Div Humas Polri, Kombes Yusri Yunus, seperti dikutip dari laman AJI (4/11/2019).
Baca juga: Syamsudin Ilyas Dedikasikan Diri dengan Dirikan Kelas Jurnalis Cilik untuk Anak Pesisir
Ia meminta Komite Keselamatan Jurnalis - komite bentukan sejumlah lembaga pers dan organisasi nonpemerintah - agar lebih proaktif melaporkan kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis kepada polisi.
"Kita ini mitra dan teman. Jadi tidak usah takut. Datang kepada saya. Kalau perlu saya temani untuk melaporkan kasusnya," kata Yusri.
Ia juga berharap dapat dibuatnya standar operasional prosedur (SOP) khusus jurnalis dan anggota Polri yang mengatur soal unjuk rasa.
Baca juga: AJI: Kekerasan terhadap Jurnalis Jadi Ancaman Nyata pada Era Jokowi-Maruf Amin
"Makin berisiko, terutama dengan situasi era Jokowi belakangan - kalau kita ngelihat situasi politiknya - yang berkuasa hari ini oligarki ya, sekelompok kekuatan pengusaha yang tergabung dalam pemerintahan dan menguasai beberapa sumber daya alam, investasi," ujarnya.
Akibatnya, tutur Erick, semakin banyak aksi teror yang diterima wartawan, terlebih yang fokus utama pemberitaannya berkutat dalam isu sumber daya alam dan lingkungan.
Baca juga: Jurnalis Kompas.com dan KataData Laporkan Kasus Penganiayaan Saat Peliputan Demo
Di luar itu, Erick juga menilai impunitas alias kekebalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia. Imbasnya, kasus serupa bisa terus berulang karena tidak adanya efek jera yang timbul dari pengusutan kasus-kasus tersebut.
"Jadi dari semua kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis yang kita laporkan (lima tahun terakhir), kita dampingi ke kepolisian, itu belum ada satupun yang diproses secara hukum sampai di pengadilan," kata Erick.
Menurutnya, hanya ada satu kunci untuk mengakhiri impunitas tersebut: "political will".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.