Sehingga, pada Jumat (16/8/2019) malam, massa yang tergabung dalam gabungan ormas itu datang ke kantor polisi dan membuat laporan.
"Kita BAP saksi-saksinya, dan kemudian kita lengkapi alat buktinya," jelasnya.
Baca juga: Gubernur Lukas Enembe: Jangan Sederhanakan Masalah Papua
Pada hari Sabtu (17/8/2019) sekitar pukul 10.00 WIB, polisi mencoba berkomunikasi dengan mahasiswa Papua terkait adanya laporan tentang penistaan dan pembuangan bendera Merah Putih tersebut.
Namun, upaya negosiasi untuk mengomunikasikan masalah pembuangan bendera dengan mahasiswa Papua tersebut belum mendapat tanggapan.
Kemudian, pihaknya meminta bantuan kepada pihak RT, RW, lurah, camat, hingga perkumpulan warga Papua di Surabaya, untuk mengimbau mahasiswa asal Papua keluar dari asrama dan mengadakan dialog dengan kepolisian.
"Ternyata tetap tidak mendapat tanggapan (untuk mengadakan dialog)," kata Sandi.
Baca juga: Polisi Identifikasi 5 Akun Penyebar Konten Provokatif yang Picu Demo di Papua
Sandi menjelaskan, Polrestabes Surabaya mendapatkan informasi bahwa sejumlah ormas akan akan kembali menggelar aksi jika tak mendapat respon dari para mahasiswa.
Untuk itu, polisi segera mengeluarkan surat perintah penggeledahan agar duduk perkara kasus tersebut segera terungkap.
"Kira-kira apa polisi akan membiarkan massa itu datang ke sana? Kami mencegah, jangan sampai terjadi bentrokan antara saudara-saudara kita yang ada di sana (mahasiswa Papua) dengan massa lain yang ada (ormas)," jelas Sandi.
Sebelumnya, upaya negosiasi mengalami kebuntuan dan polisi juga sudah mengeluarkan peringatan sebanyak tiga kali.
Baca juga: Utusan UEA dan Staf Presiden Cari Lokasi Pembangunan Masjid Hadiah untuk Jokowi
Sandi mengakui, surat perintah yang dimaksudkan adalah surat perintah tugas dan surat penggeledahan terhadap mahasiswa di asrama tersebut.
Penindakan dengan mengangkut paksa mahasiswa Papua itu dinilai merupakan upaya terakhir yang dilakukan polisi, lantaran upaya dialog yang dilakukan sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB tidak membuahkan hasil.