SERANG, KOMPAS.com - Kasus pungutan liar pengurusan jenazah korban tsunami Selat Sunda disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Provinsi Banten.
Saksi pertama yang dihadirkan adalah Kepala Ruang Forensik, Amran. Di arena persidangan yang diketuai oleh hakim ketua M Ramdes, Amran mengakui jika ada pungutan uang terhadap keluarga korban.
"Sepengetahuan saya (ada pungutan). Yang jelas pertama saudara Fathullah (terdakwa) karena instruksi agar dibantu atas persetujuan keluarga. Saya enggak macem-macem, saya yakin aja," kata Amran, di PN Serang, Senin.
Menurut versi Amran, uang tersebut kemudian dibagikan ke sejumlah orang, di antaranya adalah terdakwa TB Fathullah dan anggota yang bertugas di ruangan forensik lainnya.
Amran mengaku tidak tahu jika ada aturan yang melarang memungut bayaran korban bencana.
Padahal aturan tersebut sudah dibuat enam tahun lalu, di mana tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 46 tahun 2013 yang menyatakan bahwa penanaganan medis korban bencana alam ditanggung pemda setempat.
Baca juga: Kasus Korban Tsunami Bayar Rp 17 Juta di RSKM Dilimpahkan ke Polda Banten
Amran yang menjabat sebagai Kepala Ruangan Forensik sejak 2010 itu mengatakan, pungutan tidak dilakukan terhadap seluruh jenazah yang ditangani di RSDP, hanya kepada pihak keluarga yang meminta pelayanan maksimal saja.
Pelayanan maksimal yang dimaksud Amran adalah dilakukannya pemulasaraan, pemberian formalin dan memandikan jenazah. Penanganan maksimal tersebut, kata Amran, adalah permintaan dari pihak keluarga.
Amran mengatakan tidak tahu ada aturan larangan pungutan terhadap korban bencana lantaran tidak ada pemberitahuan baik dari pihak rumah sakit maupun pemerintah setempat.
Sementara saksi kedua yang dihadirkan adalah dr. Budi selaku Kepala Instalasi Forensik RSDP.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.