Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Sumpah Tanah, Sumpah Bahagia

Kompas.com - 08/07/2019, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berdiri di atas ketinggian, di atas gunung, membuat cakrawala pandang petani-seniman menjadi luas.

Cakrawala pandang ini memengaruhi cara berpikir mereka. Membuat mereka lebih rileks, terbuka, dalam menemukan dan berbagi materi (bahan kesenian) untuk saling meniru dan mengambil dan mempermasalahkan asal-usulnya.

Tari Topeng Ireng, misalnya, yang secara kostum lebih tampak bernuansa Indian daripada kostum seni tradisional lokal umumnya.

Pluralisme otentik

Namun begitu, meski lekat dengan alam bergunungnya, KLG tak melulu menjaga kebudayaan tetap ada di tempat produksinya atau membuatnya eksklusif, tetapi dengan menciptakan ruang-ruang lain, melepaskan kesenian dari tanahnya.

Mengadopsi seni-seni dari luar, mempelajarinya, lalu dibuatlah sebuah adonan seni yang membuat mereka bahagia saat merayakan dan membawakannya.

Dan, meski akar mereka tradisional, mereka bukanlah sekumpulan fanatikus-fanatikus budaya yang terobsesi oleh kemurnian seni tradisi.

Sebuah cara berkesenian yang membuat mereka justru tumbuh bertahan selama lebih dari dua dekade sebagai sebuah komunitas seni tradisi tanpa terjebak jargon klise birokrat budaya: "melestarikan budaya". Namun, tradisi mereka justru lestari dengan sendirinya.

Pandangan mereka yang terbuka untuk sebuah komodifikasi seni, juga memungkinkan bagi mereka untuk tak melihat sebuah relasi sosial hanya dari label.

Maka, jangan heran, jika setiap festival digelar, Anda akan melihat pemuda Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam, ataupun preman kampung bareng-bareng ikut berjaga menjaga berjalannya festival, atau sekadar menjadi tukang parkir.

"Lha, bagaimana enggak berjaga bersama, adik, kakak, atau saudara-saudara mereka ikut pentas. Alasan mereka sederhana, mereka ingin mengamankan saudara-saudara mereka itu, meski bereda-beda aliran," ungkap Sutanto.

Tidak ada jargon pluralisme di sana. Pun, tak ada yang berteriak toleransi ataupun intoleransi. Segalanya berjalan dengan mekanisme yang sudah demikian adanya sejak dahulu kala.

Relasi sosial orang-orang desa itu dibentuk oleh kenyataan-kenyataan manusiawi yang cair dan apa adanya.

Dan, seni menjadi tumpuan mereka untuk bergembira bersama dari kenyataan-kenyataan hidup yang sulit dan terkotak-kotak, seperti halnya benak sebagian masyarakat di negeri ini yang kini kian sensitif dan labelis.

KLG menciptakan ruang hidup yang memungkinkan santri dari pesantren dapat bercengkerama ringan dengan pegiat Jesuit ataupun paroki.

Satu komunitas di mana pendeta Kristen bisa bersaling silang bercanda dengan ustad sembari mengudap jajanan desa di tengah tarian geculan bocah. Mengalir dalam relasi biasa, tanpa beban sebagai pluralis yang rumit, atau pendakwah yang membawa beban amarah.

Strategi budaya

Seiring waktu, Lima Gunung berkembang atas dasar hubungan-hubungan yang diciptakan oleh orang-orang di dalamnya, dengan jejaring mereka, dan kapasitas orang gunung serta orang-orang kota yang juga ingin terlibat dengan kebudayaan perdesaan.

Maka, mereka kemudian berinteraksi dengan kaum intelektual kota, aktivis, dosen, peneliti, hingga politisi, tanpa harus terjebak dalam kepentingan politik, ataupun bergaya sebagai pelaku seni menara gading.

Menjaga jejaring tersebut merupakan bagian dari strategi budaya untuk mencari kawan agar tidak kesepian sekaligus obat ngelangut.

Orang-orang kota datang, berharap terhibur dari ketidaktahuan, dan keterasingan mereka. Pada saat yang sama mereka, orang-orang kota itu, berharap mengambil perasaan-perasaan eksotik, kekaguman terhadap yang liyan dari tuan rumah tempat mereka terakomodasi.

Dan, itulah festival yang sesungguhnya, yaitu ketika kita bertemu muka dan menikmati hidangan serta senyuman orang-orang gunung.

Selama masih ada kesenian yang tidak dijual, maka ruang ekspresi, eksperimen, ritual, dan spiritual itu bisa tetap ada dan berkembang.

KLG selama dua dekade mampu menunjukkannya. Bahwa, tujuan berkesenian bukan bangku penuh atau ramainya penonton, melainkan membuat banyak orang merasa terlibat, bergembira bersama, seraya terus menjaga sumpah setiap mereka kepada gunung, tanah pertiwi mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com