Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Sumpah Tanah, Sumpah Bahagia

Kompas.com - 08/07/2019, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Giyaran dibiayai dengan cara iuran lemi (pupuk kandang), iuran bambu atau kadang dengan bersama-sama 'menjual' tenaga, mburuh macul," kata Joko.

Keinginan mendapatkan kegembiraan melalui kegiatan seni ini sejalan dengan situasi dan latar belakang anggota komunitas yang umumnya petani.

Mereka tidak terikat pada jam kerja, mereka bisa ke sawah setiap hari, seminggu sekali atau sebulan sekali tergantung dari tanaman apa yang mereka tanam.

Masyarakat tani ini dapat menikmati waktu senggang atau yang mereka sebut sebagai ngelangut untuk bisa menjelma menjadi apa saja: bersenang-senang, berorganisasi, berkumpul, kerja bakti, keagamaan, atau berkesenian.

"Kalau kami bilang ngelangut karena kami banyak mimpi, ingin berlari bersama waktu, ingin bergembira menjadi bagian dari perubahan. Yang kami tidak ingin, kalau sebatas membuat definisi ngelangut," ujar Sutanto Mendut, budayawan Magelang, sekaligus pendiri dan panutan KLG.

Seniman-petani dalam KLG sangat akrab dengan kalimat "sing penting bahagia", yang penting bahagia. Kalimat tersebut adalah ekspresi metaforik terhadap keinginan untuk mendapatkan kegembiraan bersama-sama melalui komunitas dan seni beriring dengan waktu nglangut mereka.

Spirit kalimat tersebut diwujudkan dengan relasi yang cair di dalam komunitas dengan perekat berupa pergaulan yang kaya dengan guyon.

Joko Aswoyo menyebut guyon dalam KLG adalah bahasa cinta komunitas tersebut. Guyon tersebut berupa sekadar ece-ecenan (saling olok), ledekan (yang jauh dari niat merendahkan), hingga refleksi-refleksi hidup dan kebersamaan.

Situasi itu memungkinkan terjadi karena selain tak ada hal yang benar-benar dijadikan keuntungan materiil dari relasi mereka, juga karena Presiden KLG Sutanto Mendut merupakan figur yang gemar berseloroh dan menggunakan media lelucon untuk menyampaikan pesan, komunikasi, bahkan tentang hal-hal yang serius.

Di samping kegembiraan yang terjalin melalui guyonan dan kemringet, menjadi anggota KLG bagi para petani-seniman lereng-lereng gunung di Magelang adalah kebanggaan. Mereka menjadi tidak melulu mencangkul di ladang atau sawah.

Dari menari dan menabuh gamelan mereka mendapatkan jaringan dan kesempatan melalui KLG  untuk diundang pentas ke luar kota, bahkan ke luar negeri naik motor mabur (pesawat terbang), berenang di kolam hotel, naik-turun lift, merasakan ice skating, dan kebahagiaan-kebahagian lain yang semula tak terbayangkan di benak mereka sebagai orang gunung.

Modal sosial dan sumpah tanah

Modal sosial adalah pilar utama kelangsungan KLG. Semua kegiatan KLG dibiayai oleh seniman-petani anggota komunitas dan warga di desa yang menjadi tuan rumah kegiatan.

Menyelenggarakan kegiatan seni tradisional bukan sekadar hiburan warga di dusun-dusun di lereng gunung yang jauh dari akses hiburan modern, melainkan juga sebuah kebanggaan.

Sebab, menyelenggarakan festival atau pentas seni membuat ikatan sosial antarwarga menjadi semakin erat. Lebih-lebih hubungan antargenerasi. Sebuah nilai sosial yang masih sangat penting bagi warga di daerah ini.

Kesuksesan festival juga dipandang sebagai hal yang penting bagi keinginan menjaga nama baik keluarga besar pihak tuan rumah, bahkan, dusun penyelenggara.

Maka tidak heran, setiap hajatan festival, beberapa keluarga mempersilakan rumah mereka dijadikan ruang transit dan inap bagi peserta FLG.

Pemilik rumah dengan sukarela, sesuai kemampuan, juga menyediakan makanan dan minuman untuk para partisipan yang transit di rumah mereka.

Sebagai warga lereng gunung, menurut Joko, seniman-petani KLG dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari gunung, Ibu Pertiwi mereka.

Tak terkecuali dalam kegiatan kesenian. Gunung menjadi sumber penghidupan: menyediakan air, beragam makanan, dan material. Gunung juga menjadi sumber pengetahuan. Tanpa meminta balasan.

Itulah sebabnya para anggota gunung KLG merasa perlu memuliakan dan menghormati gunung.

Ekspresi penghormatan atas kebaikan dan kesucian gunung mewujud dalam berbagai ritual yang diselenggarakan oleh komunitas ini di dusun-dusun mereka, seperti Suran, Saparan Tumpeng Jangko, Nyadran Kali, Sungkem Tlompak, maupun Merti Dusun.

Karena diwujudkan sebagai bentuk penghormatan kepada gunung dan tanah di mana mereka hidup dan berpijak, ekspresi seni mereka pun sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tersebut.

"Kontur tanah yang berundak tidak beraturan, misalnya memunculkan gerakan kaki pada tarian grasak (gerakan kaki melonjak dengan tempo dinamis, dibarengi suara gemrincing gongseng yang terpasang di tungkai kaki penari). Gerakan yang selaras dengan keseharian para petani berjalan di jalanan terjal mendaki," jelas Joko.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com