Salin Artikel

Sumpah Tanah, Sumpah Bahagia

Selasa, 2 Juli 2019, sore di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Magelang. Irul Mutaqin dan Untung, dua seniman muda Komunitas Lima Gunung, dibantu para warga dusun baru saja selesai memasang beragam instalasi berupa umbul-umbul, gapura, dan ragam hiasan di sepanjang jalan dusun tersebut.

Hari itu adalah dua hari jelang penyelenggaraan Festival Lima Gunung yang akan diselenggarakan di dusun tersebut.

Tak ada spanduk, umbul-umbul, banner, maupun pamflet-pamflet sponsor di sepanjang jalan dusun sebagaimana layaknya sebuah festival seni akbar.

Hanya galah-galah bambu yang dihias dengan jerami dan dedaunan kering sebagai instalasi penanda festival.

Di panggung utama, sebuah instalasi berbentuk burung garuda setinggi delapan meter yang terbuat dari bambu, jerami, dan daun kelapa, baru selesai dipasang oleh seniman sekaligus pematung kenamaan Magelang, Ismanto, yang dibantu oleh para warga setempat.

"Garuda simbol gunung, tanah, ibu pertiwi, kesetiaan kepada kehidupan makhluk dan alam raya. Sayapnya menjadi lambang penjaga keseimbangan," kata Ismanto tentang instalasi yang dibuatnya.

Di rumah-rumah, warga sekitar lokasi festival sibuk menyiapkan tempat dan aneka jenis makanan desa untuk menyambut pengunjung festival dari desa lain, kota, maupun mancanegara yang menginap.

Ada 77 kelompok seni dan tak kurang dari 5.000  pementas yang tampil di festival bertema "Gunung Lumbung Budaya" itu.

Aneka macam sesajen diletakkan di sejumlah sudut sekitar arena festival sebagai penanda sakral sekaligus harapan akan kelancaran serta keselamatan jalannya kegiatan.

Ini merupakan festival ke-18 yang diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung (KLG). Dan, seperti festival-festival tahun sebelumnya, kali ini pun tanpa sponsor.

Anggota komunitas bersama warga menyiapkan, menyelenggarakan, dan membiayai secara mandiri acara pagelaran seni yang tiap tahun mampu mendatangkan ribuan pengunjung dari dalam dan luar negeri itu.

Dana festival dihimpun dari patungan anggota komunitas. Sementara itu, warga berswadaya menyediakan apa pun yang dibutuhkan festival dari makanan, transportasi hingga akomodasi seperti penginapan dan lain-lain.

KLG sendiri merupakan komunitas seni budaya dengan anggota terdiri atas para petani di lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, yakni Merapi, Andong, Merbabu, Menoreh dan Sumbing. Selama dua dekade terakhir, mereka memainkan dan mengembangkan beragam jenis kesenian tradisional, terutama tari.

Saat ini ada sekitar 48 kelompok seni yang tergabung dalam KLG. Jumlah tersebut belum termasuk kelompok-kelompok seni yang datang dan pergi. Hal ini terjadi karena keanggotaan KLG bersifat cair.

Mereka tumbuh tanpa masterplan, tanpa manajemen, profesionalitas organisasi, dan tanpa dukungan dana sponsor.

Namun, dengan segala keterbatasannya itu, komunitas ini mampu membangun jaringan seni budaya hingga level nasional maupun internasional, tanpa harus kehilangan jatidiri mereka sebagai komunitas seni tradisional.

Kontradiksi ini kerap membangkitkan kecurigaan sekaligus tanya. Bagaimana bisa sebuah komunitas seni budaya yang sebagian besar berisi para petani mampu bertahan dari generasi ke generasi dengan dana mandiri di saat komunitas-komunitas serupa--yang bahkan dengan sokongan dana pemerintah dan manajemen lebih professional—di daerah lain justru timbul tenggelam?

Seneng lan kemringet

Dalam penelitian doktoralnya tentang KLG, yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul "Sumpah Tanah" dan diluncurkan Selasa (2/7/2019), dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, memaparkan tentang pentingnya faktor kegembiraan berkegiatan (seneng lan kemringet), modal sosial, dan kesetiaan kepada tanah atau gunung bagi eksistensi KLG.

"Seneng lan kemringet hadir di tengah keterbatasan masyarakat dusun lereng-lereng gunung mengakses media-media hiburan populer," jelas Joko.

Keadaan tersebut, ditambah lingkungan alam yang bertemperatur dingin, membuat masyarakat di kawasan tersebut cenderung menciptakan hiburan sendiri dengan bahan dan kemampuan yang mereka miliki, yaitu tubuh dan gerak, terutama dalam wujud tari. Maka, berkesenian pun menjadi jalan bagi mereka untuk bersenang-senang sekaligus mengusir hawa dingin.

Dalam hal ini, KLG menjadi wadah merawat harapan akan seneng lan kemringet (bersenang-senang dan berkeringat) dengan memfasilitasi ataupun menyelenggarakan kegiatan Festival Lima Gunung.

Di luar itu, ada kegiatan-kegiatan pentas seni yang digelar di dusun-dusun Magelang, yang mereka sebut dengan giyaran, kegiatan seni yang sekadar untuk bergembira tanpa ada tujuan khusus.

"Giyaran dibiayai dengan cara iuran lemi (pupuk kandang), iuran bambu atau kadang dengan bersama-sama 'menjual' tenaga, mburuh macul," kata Joko.

Keinginan mendapatkan kegembiraan melalui kegiatan seni ini sejalan dengan situasi dan latar belakang anggota komunitas yang umumnya petani.

Mereka tidak terikat pada jam kerja, mereka bisa ke sawah setiap hari, seminggu sekali atau sebulan sekali tergantung dari tanaman apa yang mereka tanam.

Masyarakat tani ini dapat menikmati waktu senggang atau yang mereka sebut sebagai ngelangut untuk bisa menjelma menjadi apa saja: bersenang-senang, berorganisasi, berkumpul, kerja bakti, keagamaan, atau berkesenian.

"Kalau kami bilang ngelangut karena kami banyak mimpi, ingin berlari bersama waktu, ingin bergembira menjadi bagian dari perubahan. Yang kami tidak ingin, kalau sebatas membuat definisi ngelangut," ujar Sutanto Mendut, budayawan Magelang, sekaligus pendiri dan panutan KLG.

Seniman-petani dalam KLG sangat akrab dengan kalimat "sing penting bahagia", yang penting bahagia. Kalimat tersebut adalah ekspresi metaforik terhadap keinginan untuk mendapatkan kegembiraan bersama-sama melalui komunitas dan seni beriring dengan waktu nglangut mereka.

Spirit kalimat tersebut diwujudkan dengan relasi yang cair di dalam komunitas dengan perekat berupa pergaulan yang kaya dengan guyon.

Joko Aswoyo menyebut guyon dalam KLG adalah bahasa cinta komunitas tersebut. Guyon tersebut berupa sekadar ece-ecenan (saling olok), ledekan (yang jauh dari niat merendahkan), hingga refleksi-refleksi hidup dan kebersamaan.

Situasi itu memungkinkan terjadi karena selain tak ada hal yang benar-benar dijadikan keuntungan materiil dari relasi mereka, juga karena Presiden KLG Sutanto Mendut merupakan figur yang gemar berseloroh dan menggunakan media lelucon untuk menyampaikan pesan, komunikasi, bahkan tentang hal-hal yang serius.

Di samping kegembiraan yang terjalin melalui guyonan dan kemringet, menjadi anggota KLG bagi para petani-seniman lereng-lereng gunung di Magelang adalah kebanggaan. Mereka menjadi tidak melulu mencangkul di ladang atau sawah.

Dari menari dan menabuh gamelan mereka mendapatkan jaringan dan kesempatan melalui KLG  untuk diundang pentas ke luar kota, bahkan ke luar negeri naik motor mabur (pesawat terbang), berenang di kolam hotel, naik-turun lift, merasakan ice skating, dan kebahagiaan-kebahagian lain yang semula tak terbayangkan di benak mereka sebagai orang gunung.

Modal sosial dan sumpah tanah

Modal sosial adalah pilar utama kelangsungan KLG. Semua kegiatan KLG dibiayai oleh seniman-petani anggota komunitas dan warga di desa yang menjadi tuan rumah kegiatan.

Menyelenggarakan kegiatan seni tradisional bukan sekadar hiburan warga di dusun-dusun di lereng gunung yang jauh dari akses hiburan modern, melainkan juga sebuah kebanggaan.

Sebab, menyelenggarakan festival atau pentas seni membuat ikatan sosial antarwarga menjadi semakin erat. Lebih-lebih hubungan antargenerasi. Sebuah nilai sosial yang masih sangat penting bagi warga di daerah ini.

Kesuksesan festival juga dipandang sebagai hal yang penting bagi keinginan menjaga nama baik keluarga besar pihak tuan rumah, bahkan, dusun penyelenggara.

Maka tidak heran, setiap hajatan festival, beberapa keluarga mempersilakan rumah mereka dijadikan ruang transit dan inap bagi peserta FLG.

Pemilik rumah dengan sukarela, sesuai kemampuan, juga menyediakan makanan dan minuman untuk para partisipan yang transit di rumah mereka.

Sebagai warga lereng gunung, menurut Joko, seniman-petani KLG dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari gunung, Ibu Pertiwi mereka.

Tak terkecuali dalam kegiatan kesenian. Gunung menjadi sumber penghidupan: menyediakan air, beragam makanan, dan material. Gunung juga menjadi sumber pengetahuan. Tanpa meminta balasan.

Itulah sebabnya para anggota gunung KLG merasa perlu memuliakan dan menghormati gunung.

Ekspresi penghormatan atas kebaikan dan kesucian gunung mewujud dalam berbagai ritual yang diselenggarakan oleh komunitas ini di dusun-dusun mereka, seperti Suran, Saparan Tumpeng Jangko, Nyadran Kali, Sungkem Tlompak, maupun Merti Dusun.

Karena diwujudkan sebagai bentuk penghormatan kepada gunung dan tanah di mana mereka hidup dan berpijak, ekspresi seni mereka pun sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tersebut.

"Kontur tanah yang berundak tidak beraturan, misalnya memunculkan gerakan kaki pada tarian grasak (gerakan kaki melonjak dengan tempo dinamis, dibarengi suara gemrincing gongseng yang terpasang di tungkai kaki penari). Gerakan yang selaras dengan keseharian para petani berjalan di jalanan terjal mendaki," jelas Joko.

Berdiri di atas ketinggian, di atas gunung, membuat cakrawala pandang petani-seniman menjadi luas.

Cakrawala pandang ini memengaruhi cara berpikir mereka. Membuat mereka lebih rileks, terbuka, dalam menemukan dan berbagi materi (bahan kesenian) untuk saling meniru dan mengambil dan mempermasalahkan asal-usulnya.

Tari Topeng Ireng, misalnya, yang secara kostum lebih tampak bernuansa Indian daripada kostum seni tradisional lokal umumnya.

Pluralisme otentik

Namun begitu, meski lekat dengan alam bergunungnya, KLG tak melulu menjaga kebudayaan tetap ada di tempat produksinya atau membuatnya eksklusif, tetapi dengan menciptakan ruang-ruang lain, melepaskan kesenian dari tanahnya.

Mengadopsi seni-seni dari luar, mempelajarinya, lalu dibuatlah sebuah adonan seni yang membuat mereka bahagia saat merayakan dan membawakannya.

Dan, meski akar mereka tradisional, mereka bukanlah sekumpulan fanatikus-fanatikus budaya yang terobsesi oleh kemurnian seni tradisi.

Pandangan mereka yang terbuka untuk sebuah komodifikasi seni, juga memungkinkan bagi mereka untuk tak melihat sebuah relasi sosial hanya dari label.

Maka, jangan heran, jika setiap festival digelar, Anda akan melihat pemuda Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam, ataupun preman kampung bareng-bareng ikut berjaga menjaga berjalannya festival, atau sekadar menjadi tukang parkir.

"Lha, bagaimana enggak berjaga bersama, adik, kakak, atau saudara-saudara mereka ikut pentas. Alasan mereka sederhana, mereka ingin mengamankan saudara-saudara mereka itu, meski bereda-beda aliran," ungkap Sutanto.

Tidak ada jargon pluralisme di sana. Pun, tak ada yang berteriak toleransi ataupun intoleransi. Segalanya berjalan dengan mekanisme yang sudah demikian adanya sejak dahulu kala.

Relasi sosial orang-orang desa itu dibentuk oleh kenyataan-kenyataan manusiawi yang cair dan apa adanya.

Dan, seni menjadi tumpuan mereka untuk bergembira bersama dari kenyataan-kenyataan hidup yang sulit dan terkotak-kotak, seperti halnya benak sebagian masyarakat di negeri ini yang kini kian sensitif dan labelis.

KLG menciptakan ruang hidup yang memungkinkan santri dari pesantren dapat bercengkerama ringan dengan pegiat Jesuit ataupun paroki.

Satu komunitas di mana pendeta Kristen bisa bersaling silang bercanda dengan ustad sembari mengudap jajanan desa di tengah tarian geculan bocah. Mengalir dalam relasi biasa, tanpa beban sebagai pluralis yang rumit, atau pendakwah yang membawa beban amarah.

Strategi budaya

Seiring waktu, Lima Gunung berkembang atas dasar hubungan-hubungan yang diciptakan oleh orang-orang di dalamnya, dengan jejaring mereka, dan kapasitas orang gunung serta orang-orang kota yang juga ingin terlibat dengan kebudayaan perdesaan.

Maka, mereka kemudian berinteraksi dengan kaum intelektual kota, aktivis, dosen, peneliti, hingga politisi, tanpa harus terjebak dalam kepentingan politik, ataupun bergaya sebagai pelaku seni menara gading.

Menjaga jejaring tersebut merupakan bagian dari strategi budaya untuk mencari kawan agar tidak kesepian sekaligus obat ngelangut.

Orang-orang kota datang, berharap terhibur dari ketidaktahuan, dan keterasingan mereka. Pada saat yang sama mereka, orang-orang kota itu, berharap mengambil perasaan-perasaan eksotik, kekaguman terhadap yang liyan dari tuan rumah tempat mereka terakomodasi.

Dan, itulah festival yang sesungguhnya, yaitu ketika kita bertemu muka dan menikmati hidangan serta senyuman orang-orang gunung.

Selama masih ada kesenian yang tidak dijual, maka ruang ekspresi, eksperimen, ritual, dan spiritual itu bisa tetap ada dan berkembang.

KLG selama dua dekade mampu menunjukkannya. Bahwa, tujuan berkesenian bukan bangku penuh atau ramainya penonton, melainkan membuat banyak orang merasa terlibat, bergembira bersama, seraya terus menjaga sumpah setiap mereka kepada gunung, tanah pertiwi mereka.

https://regional.kompas.com/read/2019/07/08/20472851/sumpah-tanah-sumpah-bahagia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke