Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Sumpah Tanah, Sumpah Bahagia

Kompas.com - 08/07/2019, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAHAGIA bukan sekadar letupan perasaan sesaat. Di Komunitas Lima Gunung, bahkan, rasa bahagia atau gembira menjadi daya hidup bagi orang-orang di dalamnya untuk terus menjaga semangat dan gairah berkesenian, seraya tetap setia menjaga alam lingkungan dan lumbung budaya mereka: tanah dan gunung, secara mandiri dan tanpa komersialisasi.

Selasa, 2 Juli 2019, sore di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Magelang. Irul Mutaqin dan Untung, dua seniman muda Komunitas Lima Gunung, dibantu para warga dusun baru saja selesai memasang beragam instalasi berupa umbul-umbul, gapura, dan ragam hiasan di sepanjang jalan dusun tersebut.

Hari itu adalah dua hari jelang penyelenggaraan Festival Lima Gunung yang akan diselenggarakan di dusun tersebut.

Tak ada spanduk, umbul-umbul, banner, maupun pamflet-pamflet sponsor di sepanjang jalan dusun sebagaimana layaknya sebuah festival seni akbar.

Hanya galah-galah bambu yang dihias dengan jerami dan dedaunan kering sebagai instalasi penanda festival.

Di panggung utama, sebuah instalasi berbentuk burung garuda setinggi delapan meter yang terbuat dari bambu, jerami, dan daun kelapa, baru selesai dipasang oleh seniman sekaligus pematung kenamaan Magelang, Ismanto, yang dibantu oleh para warga setempat.

"Garuda simbol gunung, tanah, ibu pertiwi, kesetiaan kepada kehidupan makhluk dan alam raya. Sayapnya menjadi lambang penjaga keseimbangan," kata Ismanto tentang instalasi yang dibuatnya.

Di rumah-rumah, warga sekitar lokasi festival sibuk menyiapkan tempat dan aneka jenis makanan desa untuk menyambut pengunjung festival dari desa lain, kota, maupun mancanegara yang menginap.

Ada 77 kelompok seni dan tak kurang dari 5.000  pementas yang tampil di festival bertema "Gunung Lumbung Budaya" itu.

Aneka macam sesajen diletakkan di sejumlah sudut sekitar arena festival sebagai penanda sakral sekaligus harapan akan kelancaran serta keselamatan jalannya kegiatan.

Ini merupakan festival ke-18 yang diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung (KLG). Dan, seperti festival-festival tahun sebelumnya, kali ini pun tanpa sponsor.

Anggota komunitas bersama warga menyiapkan, menyelenggarakan, dan membiayai secara mandiri acara pagelaran seni yang tiap tahun mampu mendatangkan ribuan pengunjung dari dalam dan luar negeri itu.

Dana festival dihimpun dari patungan anggota komunitas. Sementara itu, warga berswadaya menyediakan apa pun yang dibutuhkan festival dari makanan, transportasi hingga akomodasi seperti penginapan dan lain-lain.

KLG sendiri merupakan komunitas seni budaya dengan anggota terdiri atas para petani di lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, yakni Merapi, Andong, Merbabu, Menoreh dan Sumbing. Selama dua dekade terakhir, mereka memainkan dan mengembangkan beragam jenis kesenian tradisional, terutama tari.

Saat ini ada sekitar 48 kelompok seni yang tergabung dalam KLG. Jumlah tersebut belum termasuk kelompok-kelompok seni yang datang dan pergi. Hal ini terjadi karena keanggotaan KLG bersifat cair.

Mereka tumbuh tanpa masterplan, tanpa manajemen, profesionalitas organisasi, dan tanpa dukungan dana sponsor.

Namun, dengan segala keterbatasannya itu, komunitas ini mampu membangun jaringan seni budaya hingga level nasional maupun internasional, tanpa harus kehilangan jatidiri mereka sebagai komunitas seni tradisional.

Kontradiksi ini kerap membangkitkan kecurigaan sekaligus tanya. Bagaimana bisa sebuah komunitas seni budaya yang sebagian besar berisi para petani mampu bertahan dari generasi ke generasi dengan dana mandiri di saat komunitas-komunitas serupa--yang bahkan dengan sokongan dana pemerintah dan manajemen lebih professional—di daerah lain justru timbul tenggelam?

Seneng lan kemringet

Dalam penelitian doktoralnya tentang KLG, yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul "Sumpah Tanah" dan diluncurkan Selasa (2/7/2019), dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, memaparkan tentang pentingnya faktor kegembiraan berkegiatan (seneng lan kemringet), modal sosial, dan kesetiaan kepada tanah atau gunung bagi eksistensi KLG.

"Seneng lan kemringet hadir di tengah keterbatasan masyarakat dusun lereng-lereng gunung mengakses media-media hiburan populer," jelas Joko.

Keadaan tersebut, ditambah lingkungan alam yang bertemperatur dingin, membuat masyarakat di kawasan tersebut cenderung menciptakan hiburan sendiri dengan bahan dan kemampuan yang mereka miliki, yaitu tubuh dan gerak, terutama dalam wujud tari. Maka, berkesenian pun menjadi jalan bagi mereka untuk bersenang-senang sekaligus mengusir hawa dingin.

Dalam hal ini, KLG menjadi wadah merawat harapan akan seneng lan kemringet (bersenang-senang dan berkeringat) dengan memfasilitasi ataupun menyelenggarakan kegiatan Festival Lima Gunung.

Di luar itu, ada kegiatan-kegiatan pentas seni yang digelar di dusun-dusun Magelang, yang mereka sebut dengan giyaran, kegiatan seni yang sekadar untuk bergembira tanpa ada tujuan khusus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com