Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Mahasiswa ITB soal Polemik Quick Count Vs Real Count

Kompas.com - 03/05/2019, 07:01 WIB
Agie Permadi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Penghitungan suara yang dilakukan KPU masih berlangsung. Namun. klaim kemenangan dari dua kubu capres dan cawapres sudah dilakukan berdasarkan hitung cepat lembaga survei hingga real count internal.

Hal ini memunculkan polemik di masyarakat terkait lembaga-lembaga survei tersebut. Ada yang tidak percaya, tapi ada juga yang percaya dengan hasil hitung cepat lembaga survei itu.

Kompas.com meminta tanggapan para mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait ramai polemik hasil quick count dan real count yang dilakukan lembaga-lembaga survei.

Baca juga: Kata Mahasiswa UGM soal Pemilu 2019: Pertama Memilih Langsung Dapat Serentak

Mahasiswa ITB jurusan Teknik Mesin, Ade Hilmy Maulana mengatakan, dalam sebuah demokrasi, polemik quick count dan real count ini hal yang normatif.

Ade melihat ada usaha-usaha untuk memecah belah bangsa ini melalui Pemilu 2019, melalui quick count dan real count.

Meski begitu, lanjutnya, perpecahan dalam sejarah demokrasi itu hal biasa hanya saja yang menjadi perhatian adalah bukanlah klaim masing-masing paslon siapa yang benar dan salah melainkan siapa yang menang dan kalah.

Dalam demokrasi kali ini, kata Ade, kemenangan menjadi hal prioritas, segala cara dilakukan untuk mencapai kemenangan itu.

“Saya melihat secara makro, sepertinya ada grand skenario untuk memecah belah bangsa ini melalui pemilu 2019 dengan memicu konflik-konflik kecil seperti yang terdapat di dalam hasil quick count dan real count. Masing-masing punya data sendiri-sendiri yang memenangkan dirinya masing-masing. Ini yang lucu,” tuturnya.

Baca juga: Kata Mahasiswa ITB soal Pemilu 2019: Arti Satu Suara hingga PR untuk Presiden Terpilih

Berbeda dengan Dania, Mahasiswi ITB aktuaria Matematika S2 ini percaya dengan hasil quick count. Menurutnya quick count yang dilakukan lembaga survei tidak sembarangan dilakukan.

Perlu metode khusus yang mempertimbangkan baik buruknya. Namun, meski begitu, KPU tetap menjadi rujukan yang menentukan hasil siapa presiden terpilih 2019 nanti.

“Pro kontranya sih saya lebih percaya sama orang yang melakukan quick count itu, kan dasarnya benar matematik, bukan langsung hitung saja ada dari sample lah. Metode mereka ini sudah mempertimbangkan baik buruknya, enggak semata hanya ada yang bilang mendukung salah satu calon atau apalah itu. Saya kira itu mereka harus punya kejujuran di dalam diri mereka itu tapi tetap harus tunggu resmi dari KPUnya sih,” ujarnya.

“Kalau quick count ada sample mewakili jenis data yang ada. Sample itu dipilih dari karakteristik sample itu sendiri misal daerah ini sebarannya berbeda. dan menurut aku lembaga survei itu bukan lembaga kemarin bahkan sudah ada dari dulu jadi gak mungkin mereka pilih salah satu, makanya seperti media beredar lah,” tambahnya.

Iqbal, mahasiswa ITB Jurusan Mesin ini mengaku tidak berpatokan pada hasil quick count ataupun real count hasil penghitungan dua kubu paslon.

Iqbal hanya akan merujuk pada hasil KPU saja.

“Dari awal menduga banyak kontroversi itu, dan dilihat dari lima tahun sebelumnya memang niatnya enggak ikutin quick count, sabar aja ngikut KPU karena enggak terlalu pengen tahu cepet juga sih siapa yang kepilih,” katanya.

Natalia Karin, mahasiswa ITB jurusan Teknik Pangan ini cukup percaya dengan hasil quick count yang ada sebagai perbandingan. Dia menilai metode yang digunakan lembaga survei ini tentu tidak sembarang.

“Quick count berdasarkan yang sudah pernah sebelumnya, quick count cukup terpercaya sih sebagai perbandingan. Patokan buat real count, karena metodenya gak sembarangan karena sudah diolah sejak dahulu oleh ahli statistik. jadi bisa dipercaya,” tuturnya.

Liyan Nurchalifah, mahasiswa ITB jurusan Matematika 2016 mengkritisi lembaga survei yang ada. Menurutnya lembaga survei ini harus dipastikan menjunjung kebenaran ilmiah yang juga tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi pihak manapun.

Beragamnya metode yang dipakai juga dapat memberikan hasil yang berbeda antara satu lembaga dan yang lainnya.

“Karenanya, pembaca yang seharusnya lebih bijak untuk mengambil kesimpulan atau menginterpretasikan hasil yang disajikan dengan mempertimbangkan metode, convidence level, dan margin of error yang dipilih oleh setiap lembaga. Dan jelas bahwa quick count berbeda dengan real count, yang artinya lembaga yang melakukan quick count hanya memprediksi ketidakpastian (karena belum keluarnya) hasil dari real count tersebut,” katanya.

“Karena pemilu yang sekarang dilakukan serentak maka banyak hal yang terjadi, mulai dari pengorbanan orang-orang yang bertugas dan berbagai kejadian negatif pada surat suara.
Semoga hukum dapat ditegakkan dengan baik untuk menghindari adanya kecurangan pada perhitungan suara. dan mari kita lihat bersama saja hasilnya nanti,” imbuhnya.

Dinda, mahasisiwi ITB jurusan Fisika, mengaku tidak terlalu percaya dengan quick count yang telah di rilis oleh beberapa lembaga survei yang ada.

Meski begitu, Dinda pun mengkritisi adanya ketidaksingkronan data antara C1 dan data KPU.

“Banyak banget kecurangan, terus intinya kaya demokrasi kita ini dipermainkan,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com