Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geliat Kehidupan Warga Lampung Selatan Pasca-tsunami Selat Sunda...

Kompas.com - 18/03/2019, 11:05 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Puluhan siswa berseragam pramuka duduk beralaskan kramik di sebuah teras rumah.

Sebagian mereka asyik menyalin tulisan guru kelas, sebagian lagi bermain-main dengan temannya.

Sempat mengira, mereka sedang mengikuti pelajaran tambahan yang digagas oleh warga. Tetapi tidak demikian.

Mereka sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar formal tingkat sekolah dasar. Mempersiapkan diri mengikuti ujian Mid Semester.

Baca juga: Lokasi untuk Relokasi Korban Tsunami Selat Sunda Belum Diputuskan

Kegiatan belajar itu terpaksa ditunaikan di sebuah rumah karena tiga bulan lalu, tepatnya akhir Desember 2018, sekolah mereka yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darussalam, Desa Sukaraja, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, dihantam gelombang tsunami Selat Sunda.

"Awalnya anak-anak belajar di tenda selama dua pekan. Siswa ada yang terkena dehidrasi karena ruangan yang pengap meskipun sudah ada bantuan kipas angin untuk kami," kata Leni Martanti (38), guru kelas I MI Darussalam.

Belum lagi, saat ini sedang musim penghujan, belajar di tenda darurat dapat membatalkan aktivitas belajar mengajar siswa.

"Baru kemudian ada solusi tawaran menggunakan rumah milik warga di sini," kata Leni.

Ada dua rumah yang digunakan siswa dan guru untuk menjalankan aktivitas sekolah. Setiap ruang, mulai teras, ruang tamu, ruang tengah dan ruang makan, penuh anak-anak.

Sedangkan teras rumah digunakan belajar siswa kelas I. Aktivitas belajar di mulai dari pukul 7.30 WIB sampai pukul 14.00 WIB yang mana setiap Senin, di halaman rumah tersebut, siswa melaksanakan upacara kenaikan Bendera Merah Putih.

Becek dan berlumpur tidak menghalangi kegiatan belajar di sana sekalipun lumpur tanah menempel di sandal-sandal mereka.

Kaki beralaskan sandal memudahkan mereka untuk keluar dan masuk ruangan belajar sementara.

"Tadinya anak-anak pakai sepatu, tetapi sering pakai dan lepas saat masuk ke dalam rumah akhirnya siswa dibebaskan menggunakan sandal," kata dia.

Leni menyebutkan, siswa MI Darussalam Desa Rajabasa terdiri dari 136 murid. Sebanyak 30 siswa rumah tinggalnya terkena imbas gelombang tsunami dan satu mereka, orangtuanya meninggal terkena bencana tersebut.

Juliansyah (9), salah satu murid MI Darussalam adalah salah satu korban yang selamat dari reruntuhan rumahnya ketika itu.

"Saat kejadian, saya lagi nonton. Tiba-tiba ada air besar yang masuk ke dalam rumah," kata Juliansyah.

Dirinya tertimbun reruntuhan bangunan. Gelap seketika dan ketakutan menghantuinya.

Dia menangis sejadi-jadinya memanggil orangtuanya. Bocah ini bertahan di antara reruntuhan semalaman penuh.

Baca juga: Pramuka hingga Emak-emak Kumpulkan Rp 174,7 Juta untuk Korban Tsunami Selat Sunda

Dia tidak tahu persis lamanya. Namun, dia mendengar suara ibunya yang memanggilnya, lalu ditemukan dan mereka lari mengungsi di atas pegunungan.

Saat ditanya, apakah suka terbayang-bayang kejadian itu, dia sempat terdiam. "Iya, ngeri banget," kata dia.

Juliansyah dan 29 teman lainnya yang terkena imbas gelombang tsunami, kini masih tinggal di hunian sementara (huntara) yang disediakan oleh pemerintah.

Warga bengisi kesibukan dengan bergotong royong memperbaiki fasilitas umum di huntara Desa Way Muli Timur Lampung SelatanKontributor Lampung, Eni Muslihah Warga bengisi kesibukan dengan bergotong royong memperbaiki fasilitas umum di huntara Desa Way Muli Timur Lampung Selatan

Keseharian penghuni huntara

Korban tsunami Selat Sunda di Lampung Selatan, sebagian besar telah kembali ke rumah masing-masing.

Sepanjang jalan menuju lokasi terdampak tsunami, terlihat beberapa rumah ada yang diperbaiki bagian yang rusak dan ada pula sekumpulan orang tengah bergotong royong membuat perahu baru untuk aktivitas bernelayan.

Perlahan, warga membangkitkan ekonomi yang sebelumnya sempat lumpuh total.

Sementara warga yang rumahnya hancur total, mereka masih ada yang mengungsi di tenda-tenda sambil menunggu rumah hunian sementara yang sedang dibuatkan oleh pemerintah.

Huntara di Desa Way Muli Timur misalnya. Di sana dihuni sebanyak 83 keluarga.

Baca juga: 1.425 Hunian Sementara Korban Tsunami Selat Sunda Dibangun di Pandeglang

 

Sebanyak 21 keluarga sudah menempati huntara. Satu huntara dihuni satu keluarga dan satu huntara hanya memiliki satu sekat kamar tidur yang tidak berpintu.

Menurut Abdul Rahman, Ketua RT 003 Way Muli sekaligus koordinator huntara, tempat tinggal ini, kemungkinan akan menjadi hunian tetap mereka.

"Sekarang diberlakukan aturan tidak lagi boleh membangun bangunan di atas rumah yang sudah hancur kecuali membangun aktivitas ekonomi," kata Abdul Rahman.

Sebagian besar warga di sana bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun, pasca-tsunami mereka tak dapat lagi bernelayan.

"Perahu kami hancur bagaimana kami bisa mencari ikan sedangkan ingin membuat perahu baru, kami perlu punya biaya Rp 10 juta. Dari mana kami punya uang sebanyak itu," kata dia.

Sedangkan hidup dalam pengungsian juga, menurutnya tak bisa mengandalkan terus bantuan dari orang lain.

"Di awal-awal pasca-kejadian, kebutuhan kami semuanya terpenuhi, tetapi sebulan terakhir mulai terasa sulitnya," kata dia lagi.

Beberapa rumah tangga yang tinggal di huntara terlihat aktivitas berdagang makanan seperti sayuran, makanan matang dan warung kecil-kecil yang dilakukan oleh kelompok perempuan.

"Usaha seadanya itu sebagai hiburan saja, agar kami tidak terlalu menganggur di sini dan juga untuk menopang kebutuhan harian keluarga," ujar dia.

Sedangkan kelompok laki-lakinya, mengisi kesibukan dengan gotong royong memperbaiki fasilitas umum yang tersedia.

Salah satunya memperbaiki fasilitas MCK warga hunian. "Di sini sering sekali kejadian anak-anak dan perempuan terperosok karena licin terutama saat musim hujan," tambah dia.

Kelompok laki-laki terlihat memperbaiki pijakan tapak jalan agar tidak licin. Secara bergantian, mereka juga menyusun jadwal bergilir membersihkan tampungan air dan toilet yang tersedia.

Baca juga: Pasca-Tsunami Selat Sunda, Muncul Kasus Gigitan Ular di Pandeglang

Warga setempat berencana membuat tempat mencuci yang diperuntukan ibu-ibu di sana karena fasilitas kamar mandi tersedia 7 unit untuk melayani 21 keluarga.

"Kasihan kalau ada warga yang terburu-buru ingin mandi atau ingin buang air besar, tetapi di dalam ada warga yang sedang mencuci pakaian," ujar dia.

Kondisi apapun yang mereka hadapi saat ini, dapat diterima dengan baik. Hanya saja, mereka membutuhan pasokan sembako yang berkelanjutan sambil mendapatkan pendampingan pemulihan ekonomi.

"Kami bersyukur pemerintah memperhatikan kami, hanya kami masih bingung akan sampai kapan kami seperti ini," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com