Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Yustina Ojing, Bertahan Membuat Periuk Tanah Liat di Tengah Arus Modernisasi

Kompas.com - 30/01/2019, 11:29 WIB
Markus Makur,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BORONG, KOMPAS.com — Tidak banyak generasi muda di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang piawai menggunakan Pondo Tana (periuk tanah liat), Sewe Tana (kuali tanah liat) ataupun Cerek Tana (cerek berbahan dasar tanah liat).

Aneka peralatan dapur dari bahan tanah liat ini juga sudah langka didapati lantaran masyarakat lebih menyukai peralatan dapur dari alumunium yang lebih praktis dan modern. 

Namun tidak demikian dengan Yustina Ojing. Nenek 79 tahun dengan 12 anak ini memilih bertahan membuat pondo tana, sewe tana, dan cerek tana sebagai sumber penghidupannya walaupun harus bertempur dengan aneka peralatan dapur alumunium buatan pabrik. 

Kini, 12 anaknya telah merantau ke berbagai wilayah sementara suaminya, Aloysius Jalo sudah meninggal pada 2010 lalu. Tinggallah Yustina ditemani dua cucu dan dua cicitnya Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. 

Baca juga: Gunakan Foto dan Video Porno, Napi Ini Peras Nenek yang Dikenal Lewat FB

 

Kompas.com berkesempatan bertandang ke kediaman Nenek Ojing untuk melihat proses pembuatan pondo tana dan mendengarkan kisah perjuangan sang nenek pada Selasa (29/1/2019). 

Sembari tersenyum malu, Nenek Ojing ditemani dua cucunya, Aristoteles Jani (22) dan melania Jaghung (24) menceritakan kisah hidupnya. Dia juga memperlihatkan dapur tempatnya mencetak Pondo Tana. 

Menurut cerita sang nenek, selain bertahan hidup dengan membuat pondo tana, dia juga membuat anyaman Mbeka (keranjang), tee (tikar) dan Wati (wadah bakul) berbahan daun lontar kering. Dia juga mengolah tepung kopi tumbuk.

Nantinya semua produksinya akan dijual di pasar Waelengga pada Rabu dan Kamis, serta ke pasar Waerena di hari Sabtu. 

Baca juga: Kisah Nenek Nur Selamatkan Cucunya saat Banjir di Gowa, 3 Jam Peluk Batang Pohon

Keterampilan Nenek Ojing membuat pondo tana dimulai sejak ia berusia 16 tahun. Saat itu, pondo tana masih umum digunakan. neneknya sendiri yang mengajarinya keterampilan membuat pondo tana. Semenjak menikah, Nenek Ojing setia merawat tradisi warisan leluhurnya tersebut. 

"Saat saya masih memiliki tenaga kuat dan sehat, saya bisa menghasilkan 10-20 buah pondo tana, sewe tana dan cerek tana dengan ukuran kecil, sedang dan besar. Kini, saya tidak memiliki tenaga lagi dan hanya bisa menghasilkan 5-6 buah pondo, sewe dan cerek itu apabila ada orang yang pesan," kata Nenek Ojing. 

"Saya sudah tua dan tak memiliki tenaga lagi untuk mencetak banyak. Apalagi saat ini banyak orang memakai periuk aluminum yang diolah pabrik untuk keperluan masak. Anak-anak saya serta cucu saya tidak berminat untuk membuat dan mencetak pondo, sewe dan cerek yang berbahan dasar tanah liat,” jelasnya.

Pemesan olahan pondo tana Nenek Ojing misalnya dari Labuan Bajo, Ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Kemudian dari Aimere, Ibukota Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada.

Bersambung ke halaman selanjutnya

Proses pembuatan

 

Pondo tana (periuk tanah liat) dan sewe tana (kuali tanah liat) merupakan peralatan dapur yang sudah langka digunakan masyarakat pada umumnya di NTT, lantaran tergantikan fungsinya dengan produk berbahan alumunium buatan pabrik. KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Pondo tana (periuk tanah liat) dan sewe tana (kuali tanah liat) merupakan peralatan dapur yang sudah langka digunakan masyarakat pada umumnya di NTT, lantaran tergantikan fungsinya dengan produk berbahan alumunium buatan pabrik.

Dulu para pemesannya menggunakan pondo ini untuk masak tuak, keperluan masak nasi, dan lain sebagainya. Namun kini, mereka tidak memesan lagi, kemungkinan karena sudah memakai alat masak berbahan aluminum yang berasal dari olahan pabrik.

“Saya tidak terpengaruh dengan kondisi itu, melainkan saya membuat atau mencetaknya untuk keperluan masak di rumah. Hanya saya satu-satunya perempuan yang masih bisa mengolah tanah liat itu menjadi periuk tanah liat,” jelasnya.

Dulu, pondo tana berukuran besar dibeli dengan harga Rp 1.000.000; ukuran sedang Rp 250.000-Rp 500.000, sedang kuali tana (sewe tana) dijual dengan harga Rp 100.000; untuk ukuran besar dan ukuran kecil dijual dengan harga Rp 50.000; sementara cerek tana dijual dengan harga Rp 250.000.

Nenek Ojing bercerita, saat suaminya masih hidup, suaminya membantu menggali tanah liat di salah satu tempat umum bernama Kali Tana Waesoke. Luas lahannya berukuran 20x30 meter.

Baca juga: Kisah Mbah Rustam, Stek Kayu Putih Anti-rayapnya Gemparkan Perhutani (1)

"Zaman dulu semua orang mengambil tanah liat di lahan umum itu untuk mencetak pondo tana, sewe tana dan cerek tana. Kini, hanya saya yang menggali dan mengambilnya karena saya sendiri yang bisa membuat dan mencetak pondo tana, sewe dan cerek tana tersebut,” jelasnya.

Kegunaan dari pondo tana dan cerek tana yakni untuk memasak nasi, masak air minum dan masak minuman kopi, terutama untuk acara adat orang Rongga. Sedangkan khusus sewe tana digunakan untuk menggoreng biji kopi dan jagung.

“Untuk mencetak satu Pondo berukuran besar membutuhkan waktu agak lama sedangkan sewe dan cerek tana tidak terlalu dalam proses pencetakkannya,” jelasnya.

Ojing menjelaskan proses untuk pencetakan pondo, sewe dan cerek tana. Pertama-tama, tanah liat digali dengan sebatang kayu bulat. Lalu, tanah liat diperam dengan beralaskan daun pisang selama dua hari dan dua malam.

Baca juga: Kisah Sumi, Puluhan Tahun Berkeliling Jadi Pedagang Sayur Gendong

 

Selanjutnya tanah yang sudah diperam diramas hingga halus. Kemudian, dimasukkan dalam sebuah cetakkan bulat berbahan tali rotan. Untuk menghasilkan 10-12 buah pondo tana, sewe tana dan cerek tana diperlukan 50 kilogram tanah liat yang diambil dari lahan umum tersebut.

ke halaman selanjutnya

Mitos seputar pembuatan pondo tana: harus perempuan hingga dilarang kentut

Yustina Ojing, nenek 79 tahun dari Kampung Baga, Manggarai Timur, Flores, NTT, memperlihatkan wati, mbeka dan kaba hasil anyaman tangannya, Selasa (29/1/2019). KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Yustina Ojing, nenek 79 tahun dari Kampung Baga, Manggarai Timur, Flores, NTT, memperlihatkan wati, mbeka dan kaba hasil anyaman tangannya, Selasa (29/1/2019).

Nenek Ojing menjelaskan jika pembuatan pondo tana, sewe tana dan cerek tana merupakan warisan leluhur orang Rongga. Oleh sebab itu, hanya perempuan tertentu yang bisa membuat dan mencetak alat-alat perabot rumah tangga tersebut.

Menggali tanah liat boleh dikerjakan oleh laki-laki, namun untuk membuat dan mencetaknya harus dilakukan kaum perempuan. Mencetak alat-alat perabot rumah tangga berbahan tanah liat dibutuhkan keterampilan khusus, memakai perasaan halus, serta tangan halus.

"Jika saya memperlakukan dengan kasar dan tidak tenang maka tanah liat itu akan pecah dan tak bisa digunakan lagi," tuturnya.

Syarat lain yang diwariskan neneknya saat menggali tanah liat di lokasi umum tersebut yakni  dilarang kentut. Apabila seseorang menggali tanah liat itu mengeluarkan bunyi kentut maka tanah itu pecah dan tak bisa digunakan lagi.

Baca juga: Perempuan Flores Merawat Tenun sebagai Warisan Budaya

 

Ketika kentut, saat itu juga si penggali harus pulang ke rumah tanpa membawa tanah liat tersebut.

Selain itu bahan untuk menggalinya tidak boleh menggunakan alat-alat besi seperti tofa, sekop berbahan alumunium atau baja. Untuk menggalinya harus memakai batang kayu lurus.

"Saya sendiri pernah mengalami seperti itu dan tanah yang saya paksa bawa ke rumah tidak bisa diolah dan pecah-pecah tanahnya saat mau dicetak. Ada di luar rumah dua karung tanah tidak bisa diolah karena cucu saya menggalinya dengan sekop dan tofa berbahan besi," tuturnya.

Sayangnya, keterampilan warisan leluhur Rongga ini bisa punah jika pemerintah daerah Kabupaten Manggarai Timur tidak turun tangan melestarikannya. Menurut Nenek Ojing, 
selama ini pihak pemerintah tidak pernah datang untuk melihat kerajinan tangannya. 

Baca juga: Resep Sehat Jemaah Haji Pamekasan di Tanah Suci, Pakai Jamu Warisan Leluhur

"Saya lakukan ini untuk merawat warisan leluhur yang sangat ramah dengan alam serta menjaganya dengan tetap mencetak untuk keperluan dalam rumah," pungkas nenek yang enggan dikasihani dan memilih untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com