Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta "Profesor" dari Hutan Gunung Leuser, Hanya Tamatan SD hingga Hafal Ribuan Jenis Tanaman

Kompas.com - 21/01/2019, 18:49 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Khairina

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Nama Ibrahim (55) tak asing bagi para peneliti botani di Sumatera, bahkan di Indonesia. Pria paruh baya asal kelahiran Aceh Tenggara tersebut adalah seorang "profesor" bagi para peneliti di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) di Ketambe, Aceh Tenggara.

Pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang jenis tumbuhan dan habitat satwa, menjadi rujukan para mahasiswa dan ahli yang melakukan penelitian di TNGL dan KEL.

Meski hanya tamatan sekolah dasar, dirinya tak berhenti belajar untuk mengenal seluk beluk tumbuhan dan satwa di TNGL di Ketambe, Aceh Tenggara dan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL).

Berikut ini fakta di balik sosok Ibrahim, sang "profesor" dari Aceh:

1. Meski tamatan SD, Ibrahim hafal ribuan jenis tanaman

lokasi air terjun yang masih sangat alami di hutan Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Soraya, Kota Subulussalam, Aceh, Kamis (10/01/2018).KOMPAS.COM/RAJA UMAR lokasi air terjun yang masih sangat alami di hutan Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Soraya, Kota Subulussalam, Aceh, Kamis (10/01/2018).

Ibrahim dikenal seabagai sosok sederhana dan ramah oleh para peneliti yang datang ke TBGL. Meskipuan hanya tamatan sekolah dasar, Ibrahim tidak minder untuk belajar mengenal satwa dan tanaman di TNGL dan KEL.

Menurut Ketua Forum Konservasi Lauser (FKL) Rudi Putra, selama mengabdi di hutan untuk melestarikan keragaman hayati, Ibrahim telah menguasai 1000 lebih jenis tumbuhan hutan di TNGL dan KEL).

Tak hanya nama, Ibrahim juga mampu menyebutkan secara lengkap nama ilmiah, siklus perkembangan tumbuhan, serta mengetahui satwa apa saja yang memakan buah, daun dan kulit tumbuhan.

“Karena ilmu dan keahliannya jarang dimiliki banyak orang bahkan yang bergelar berpendidikan formal, maka saya selalu bilang kepada beliau jangan mati sebelum ada pengganti,” sebut Rudi.

Sejak 2013, Ibrahim bergabung di Forum Konservasi Lauser (FKL) sebagai staf ahli tumbuhan dan satwa di Stasiun Riset Soraya, Subulussalam dan Ketambe, Aceh Tenggara.

Baca Juga: "Profesor"Ahli Tumbuhan dan Satwa dari Aceh Ini Hanya Tamatan SD

2. Sebutan "profesor" dari para peneliti 

Ranjer sedang melakukan patroli di dalam hutan Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Soraya, Kota Subulussalam, AcehKOMPAS.COM/RAJA UMAR Ranjer sedang melakukan patroli di dalam hutan Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Soraya, Kota Subulussalam, Aceh

Rudi mengakui, kemampuan dan pengetahuan Ibrahim jarang dimiliki setiap orang. Selain itu, hingga saat ini belum ada yang menandinginya. Oleh karena itu, para peneliti memberi kehormatan kepada Ibrahim dengan memanggilnya profesor.

“Ibrahim, kami panggilnya profesor sebagai gelar kehormatan, karena ilmu dan keahliannya terhadap tumbuhan dan satwa liar jarang dimiliki orang lain yang hanya berpendidikan SD, beliau sosok yang sederhana dan ramah dengan semua orang,” katanya.

Sosok Ibrahim, diakui atau tidak, membantu para peneliti dan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di kawasan TNGL dan KEL. Rudi berharap akan ada sosok pengganti dari Ibrahim.

“Karena ilmu dan keahliannya jarang dimiliki banyak orang bahkan yang bergelar berpendidikan formal, maka saya selalu bilang kepada beliau jangan mati sebelum ada pengganti,” tambah Rudi.

Baca Juga: Wetlands Indonesia Kampanyekan Konservasi Burung Air dan Habitatnya

3. Berawal dari seorang petani yang jadi asisten penelitian

Ranjer dan staf FLK saat menuju ke Stasion Riset Soraya di Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) Kota Subulussalam, Aceh,KOMPAS.COM/RAJA UMAR Ranjer dan staf FLK saat menuju ke Stasion Riset Soraya di Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) Kota Subulussalam, Aceh,

Ibrahim mengaku mulai aktif bekerja di bidang konservasi sejak usia 20 tahun. Awalnya, ia yang berprofesi sebagai petani dan tak memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.

Saat tahun 1986, dirinya diajak untuk menjadi asisten peneliti orangutan bagi salah satu peneliti asal California, Amerika Serikat, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Ketambe.

“Pertama saya terlibat dalam kerja konservasi, tahun 1986 menjadi asisten peneliti asal California, Amerika. Setelah itu, saya baru mulai tertarik untuk mengetahui tumbuhan, satwa, dan lainnya yang berada di TNGL,” kata Ibrahim.

Setelah selesai menjadi asisten peneliti owa dan orangutan sumatera, Ibrahim sempat kembali bertani seperti sebelumnya, karena ia tinggal tak jauh dari Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).

Sesekali, ia menjadi pemandu wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam dan keanekaragaman hayati di Ketambe.

Baca Juga: Kelompok Konservasi Penyu Kulon Progo Lepasliarkan 108 Tukik

4. Pengalaman Ibrahim di sejumlah proyek penelitian 

satu ekor orangutan jantan dewasa sedang mencari makanan di kawasan hutan Rawa Kluet (rawa gambut) Ekosistem Lauser, Aceh Selatan. Sabtu (12/01/2018).  Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Suaq Balimbing ini terkenal memiliki penyebaran populasi orangutan terpadat di dunia, setidaknya dalam areal seluas 550 hektare terdapat 110 orangutan yang telah teridentifikasi bahkan telah diberikan nama.RAJAUMAR/KOMPAS.COM satu ekor orangutan jantan dewasa sedang mencari makanan di kawasan hutan Rawa Kluet (rawa gambut) Ekosistem Lauser, Aceh Selatan. Sabtu (12/01/2018). Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Suaq Balimbing ini terkenal memiliki penyebaran populasi orangutan terpadat di dunia, setidaknya dalam areal seluas 550 hektare terdapat 110 orangutan yang telah teridentifikasi bahkan telah diberikan nama.

Pada Tahun 1991 – 1992, Ibrahim kembali terlibat dalam penelitian botani bersama peneliti dari Utrech, Belanda yang fokus pada keragaman tumbuhan yang tersebar di hutan TNGL Ketambe.

Tak lama setelah itu, ia kembali menemani peneliti asal Belanda, Carel Van Schaijck yang melakukan penelitian terhadap budaya orangutan sumatera.

Setelah setahun mengikuti orangutan mulai dari Ketambe, Tamiang, Trumon dan Suaq Balimbing Aceh Selatan ia berhasil menemukan orangutan pertama di dunia yang makan menggunakan peralatan.

“Setelah hampir setahun melakukan penelitian dan mengikuti orangutan di sejumlah titik di Aceh, terakhir saya berhasil menemukan orangutan makan madu dan buah menggunakan peralatan yakni ranting kayu," sebutnya.

Tak lama setelah itu, Ibrahim mulai sering terlibat sebagai sebagai konsultan untuk penelitian ke sejumlah hutan di Indonesia, seperti di Lampung ikut melakukan riset mikro hidro pada tahun 2000.

Selanjutnya, pada tahun 2013, bersama WWF, Ibrahim kembali melakukan penelitian pakan badak di hutan Kalimantan Timur. Bahkan, setelah enam bulan melakukan penelitian bersama tim dari WWF ia kembali berhasil menemukan badak, satwa yang terancam punah di Indonesia.

Baca Juga: Konservasi Kopi, Cara Petani Boyolali Cegah Erosi dan Longsor

5. Menurunkan ilmu kepada generasi muda

20190114K79-13 FKL Selamatkan Hutan Lindung dan Satwa Kunci di Kawasan Ekosistem LauserKOMPAS.COM/RAJA UMAR 20190114K79-13 FKL Selamatkan Hutan Lindung dan Satwa Kunci di Kawasan Ekosistem Lauser

Ibrahim menjelaskan, saat melakukan identifikasi dan pendataan tumbuhan di KEL Soraya, Subulussalam, dirinya mulai pelan-pelan menurunkan pengetahuannya kepada tiga orang pemuda staf FKL.

“Setiap bulan saya rutin melakukan pendataan terhadap tumbuhan, untuk mengetahui kapan akan berbunga, berbuah, kondisi daun serta mengetahui satwa apa yang makan buah dari tumbuhan itu, kemudian kami seleksi lagi bagian apa yang di makan satwa, karena ada yang makan kulit batang, ada daun, buah, dan bunga, setiap satwa berbeda jenis makannya," tutur Ibrahim.

Seperti diketahui, KEL Soraya memiliki luas area 600 hektar yang telah dibagi menjadi 20 plot. Proses pembelajaran tersebut sudah menghasilkan sejumlah metodologi penelitian. 

“Alhamdulillah, sekarang sudah menguasai sejumlah metodologi penelitian, baik untuk tumbuhan dan satwa dan sudah banyak mendampingi peneliti yang melakukan riset di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Gunung Lauser, baik untuk yang menyelesaikan pendidikan S1, S2, S3 bahkan meraih gelar profesor baik lokal maupun luar negeri, termasuk Rudi Putra, yang sudah menjadi Ketua FKL, sekarang dia bosnya saya,” kata Ibrahim.

Baca Juga: Konservasi Penyu di Kulon Progo, Hidup Segan Mati Tak Mau

Sumber: KOMPAS.com (Raja Umar)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com