Salin Artikel

Fakta "Profesor" dari Hutan Gunung Leuser, Hanya Tamatan SD hingga Hafal Ribuan Jenis Tanaman

KOMPAS.com - Nama Ibrahim (55) tak asing bagi para peneliti botani di Sumatera, bahkan di Indonesia. Pria paruh baya asal kelahiran Aceh Tenggara tersebut adalah seorang "profesor" bagi para peneliti di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) di Ketambe, Aceh Tenggara.

Pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang jenis tumbuhan dan habitat satwa, menjadi rujukan para mahasiswa dan ahli yang melakukan penelitian di TNGL dan KEL.

Meski hanya tamatan sekolah dasar, dirinya tak berhenti belajar untuk mengenal seluk beluk tumbuhan dan satwa di TNGL di Ketambe, Aceh Tenggara dan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL).

Berikut ini fakta di balik sosok Ibrahim, sang "profesor" dari Aceh:

Ibrahim dikenal seabagai sosok sederhana dan ramah oleh para peneliti yang datang ke TBGL. Meskipuan hanya tamatan sekolah dasar, Ibrahim tidak minder untuk belajar mengenal satwa dan tanaman di TNGL dan KEL.

Menurut Ketua Forum Konservasi Lauser (FKL) Rudi Putra, selama mengabdi di hutan untuk melestarikan keragaman hayati, Ibrahim telah menguasai 1000 lebih jenis tumbuhan hutan di TNGL dan KEL).

Tak hanya nama, Ibrahim juga mampu menyebutkan secara lengkap nama ilmiah, siklus perkembangan tumbuhan, serta mengetahui satwa apa saja yang memakan buah, daun dan kulit tumbuhan.

“Karena ilmu dan keahliannya jarang dimiliki banyak orang bahkan yang bergelar berpendidikan formal, maka saya selalu bilang kepada beliau jangan mati sebelum ada pengganti,” sebut Rudi.

Sejak 2013, Ibrahim bergabung di Forum Konservasi Lauser (FKL) sebagai staf ahli tumbuhan dan satwa di Stasiun Riset Soraya, Subulussalam dan Ketambe, Aceh Tenggara.

Rudi mengakui, kemampuan dan pengetahuan Ibrahim jarang dimiliki setiap orang. Selain itu, hingga saat ini belum ada yang menandinginya. Oleh karena itu, para peneliti memberi kehormatan kepada Ibrahim dengan memanggilnya profesor.

“Ibrahim, kami panggilnya profesor sebagai gelar kehormatan, karena ilmu dan keahliannya terhadap tumbuhan dan satwa liar jarang dimiliki orang lain yang hanya berpendidikan SD, beliau sosok yang sederhana dan ramah dengan semua orang,” katanya.

Sosok Ibrahim, diakui atau tidak, membantu para peneliti dan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di kawasan TNGL dan KEL. Rudi berharap akan ada sosok pengganti dari Ibrahim.

“Karena ilmu dan keahliannya jarang dimiliki banyak orang bahkan yang bergelar berpendidikan formal, maka saya selalu bilang kepada beliau jangan mati sebelum ada pengganti,” tambah Rudi.

Ibrahim mengaku mulai aktif bekerja di bidang konservasi sejak usia 20 tahun. Awalnya, ia yang berprofesi sebagai petani dan tak memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.

Saat tahun 1986, dirinya diajak untuk menjadi asisten peneliti orangutan bagi salah satu peneliti asal California, Amerika Serikat, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Ketambe.

“Pertama saya terlibat dalam kerja konservasi, tahun 1986 menjadi asisten peneliti asal California, Amerika. Setelah itu, saya baru mulai tertarik untuk mengetahui tumbuhan, satwa, dan lainnya yang berada di TNGL,” kata Ibrahim.

Setelah selesai menjadi asisten peneliti owa dan orangutan sumatera, Ibrahim sempat kembali bertani seperti sebelumnya, karena ia tinggal tak jauh dari Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).

Sesekali, ia menjadi pemandu wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam dan keanekaragaman hayati di Ketambe.

Pada Tahun 1991 – 1992, Ibrahim kembali terlibat dalam penelitian botani bersama peneliti dari Utrech, Belanda yang fokus pada keragaman tumbuhan yang tersebar di hutan TNGL Ketambe.

Tak lama setelah itu, ia kembali menemani peneliti asal Belanda, Carel Van Schaijck yang melakukan penelitian terhadap budaya orangutan sumatera.

Setelah setahun mengikuti orangutan mulai dari Ketambe, Tamiang, Trumon dan Suaq Balimbing Aceh Selatan ia berhasil menemukan orangutan pertama di dunia yang makan menggunakan peralatan.

“Setelah hampir setahun melakukan penelitian dan mengikuti orangutan di sejumlah titik di Aceh, terakhir saya berhasil menemukan orangutan makan madu dan buah menggunakan peralatan yakni ranting kayu," sebutnya.

Tak lama setelah itu, Ibrahim mulai sering terlibat sebagai sebagai konsultan untuk penelitian ke sejumlah hutan di Indonesia, seperti di Lampung ikut melakukan riset mikro hidro pada tahun 2000.

Selanjutnya, pada tahun 2013, bersama WWF, Ibrahim kembali melakukan penelitian pakan badak di hutan Kalimantan Timur. Bahkan, setelah enam bulan melakukan penelitian bersama tim dari WWF ia kembali berhasil menemukan badak, satwa yang terancam punah di Indonesia.

Ibrahim menjelaskan, saat melakukan identifikasi dan pendataan tumbuhan di KEL Soraya, Subulussalam, dirinya mulai pelan-pelan menurunkan pengetahuannya kepada tiga orang pemuda staf FKL.

“Setiap bulan saya rutin melakukan pendataan terhadap tumbuhan, untuk mengetahui kapan akan berbunga, berbuah, kondisi daun serta mengetahui satwa apa yang makan buah dari tumbuhan itu, kemudian kami seleksi lagi bagian apa yang di makan satwa, karena ada yang makan kulit batang, ada daun, buah, dan bunga, setiap satwa berbeda jenis makannya," tutur Ibrahim.

Seperti diketahui, KEL Soraya memiliki luas area 600 hektar yang telah dibagi menjadi 20 plot. Proses pembelajaran tersebut sudah menghasilkan sejumlah metodologi penelitian. 

“Alhamdulillah, sekarang sudah menguasai sejumlah metodologi penelitian, baik untuk tumbuhan dan satwa dan sudah banyak mendampingi peneliti yang melakukan riset di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Gunung Lauser, baik untuk yang menyelesaikan pendidikan S1, S2, S3 bahkan meraih gelar profesor baik lokal maupun luar negeri, termasuk Rudi Putra, yang sudah menjadi Ketua FKL, sekarang dia bosnya saya,” kata Ibrahim.

Sumber: KOMPAS.com (Raja Umar)

https://regional.kompas.com/read/2019/01/21/18490841/fakta-profesor-dari-hutan-gunung-leuser-hanya-tamatan-sd-hingga-hafal-ribuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke