Ibrahim mengaku mulai aktif bekerja di bidang konservasi sejak usia 20 tahun. Awalnya, ia yang berprofesi sebagai petani dan tak memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.
Saat tahun 1986, dirinya diajak untuk menjadi asisten peneliti orangutan bagi salah satu peneliti asal California, Amerika Serikat, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Ketambe.
“Pertama saya terlibat dalam kerja konservasi, tahun 1986 menjadi asisten peneliti asal California, Amerika. Setelah itu, saya baru mulai tertarik untuk mengetahui tumbuhan, satwa, dan lainnya yang berada di TNGL,” kata Ibrahim.
Setelah selesai menjadi asisten peneliti owa dan orangutan sumatera, Ibrahim sempat kembali bertani seperti sebelumnya, karena ia tinggal tak jauh dari Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).
Sesekali, ia menjadi pemandu wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam dan keanekaragaman hayati di Ketambe.
Baca Juga: Kelompok Konservasi Penyu Kulon Progo Lepasliarkan 108 Tukik
Pada Tahun 1991 – 1992, Ibrahim kembali terlibat dalam penelitian botani bersama peneliti dari Utrech, Belanda yang fokus pada keragaman tumbuhan yang tersebar di hutan TNGL Ketambe.
Tak lama setelah itu, ia kembali menemani peneliti asal Belanda, Carel Van Schaijck yang melakukan penelitian terhadap budaya orangutan sumatera.
Setelah setahun mengikuti orangutan mulai dari Ketambe, Tamiang, Trumon dan Suaq Balimbing Aceh Selatan ia berhasil menemukan orangutan pertama di dunia yang makan menggunakan peralatan.
“Setelah hampir setahun melakukan penelitian dan mengikuti orangutan di sejumlah titik di Aceh, terakhir saya berhasil menemukan orangutan makan madu dan buah menggunakan peralatan yakni ranting kayu," sebutnya.
Tak lama setelah itu, Ibrahim mulai sering terlibat sebagai sebagai konsultan untuk penelitian ke sejumlah hutan di Indonesia, seperti di Lampung ikut melakukan riset mikro hidro pada tahun 2000.
Selanjutnya, pada tahun 2013, bersama WWF, Ibrahim kembali melakukan penelitian pakan badak di hutan Kalimantan Timur. Bahkan, setelah enam bulan melakukan penelitian bersama tim dari WWF ia kembali berhasil menemukan badak, satwa yang terancam punah di Indonesia.
Baca Juga: Konservasi Kopi, Cara Petani Boyolali Cegah Erosi dan Longsor
Ibrahim menjelaskan, saat melakukan identifikasi dan pendataan tumbuhan di KEL Soraya, Subulussalam, dirinya mulai pelan-pelan menurunkan pengetahuannya kepada tiga orang pemuda staf FKL.
“Setiap bulan saya rutin melakukan pendataan terhadap tumbuhan, untuk mengetahui kapan akan berbunga, berbuah, kondisi daun serta mengetahui satwa apa yang makan buah dari tumbuhan itu, kemudian kami seleksi lagi bagian apa yang di makan satwa, karena ada yang makan kulit batang, ada daun, buah, dan bunga, setiap satwa berbeda jenis makannya," tutur Ibrahim.
Seperti diketahui, KEL Soraya memiliki luas area 600 hektar yang telah dibagi menjadi 20 plot. Proses pembelajaran tersebut sudah menghasilkan sejumlah metodologi penelitian.
“Alhamdulillah, sekarang sudah menguasai sejumlah metodologi penelitian, baik untuk tumbuhan dan satwa dan sudah banyak mendampingi peneliti yang melakukan riset di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Gunung Lauser, baik untuk yang menyelesaikan pendidikan S1, S2, S3 bahkan meraih gelar profesor baik lokal maupun luar negeri, termasuk Rudi Putra, yang sudah menjadi Ketua FKL, sekarang dia bosnya saya,” kata Ibrahim.
Baca Juga: Konservasi Penyu di Kulon Progo, Hidup Segan Mati Tak Mau
Sumber: KOMPAS.com (Raja Umar)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.