Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Mati dan Teka-teki yang Tersisa di Kasus Polisi Mutilasi Anggota DPRD...

Kompas.com - 19/12/2018, 14:06 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

Saat Medi divonis hukuman mati, keluarga korban bertepuk tangan dan menangis meluapkan emosi kegembiraan karena menganggap terdakwa divonis setimpal dengan perbuatannya.

Baca juga: Polisi Terdakwa Kasus Mutilasi Anggota DPRD Divonis Hukuman Mati

Tanpa disangka, Medi yang berada di kursi pesakitan ketika itu pun turut bertepuk tangan.

Seperti tak terjadi apapun, Medi terbangun dari tempat duduknya memberi salam hormat pada majelis hakim lalu mendekat ke arah kuasa hukum.

"Kami akan mengajukan pembelaan," kata Sopian, kepada majelis hakim, usai berbincang dengan kliennya.

Setelah itu, Medi kembali menyerahkan tangannya pada pengawal untuk diborgol kembali dan keluar dari ruang persidangan.

Hakim tetap menjatuhi hukuman mati

Kegundahan Medi sudah tersampaikan melalui pembelaannya. Bahkan, dia sempat mengatakan sudah merasa lebih tenang daripada sebelumnya.

"Dia bilang sudah merasa lebih lapang, sebelumnya kami melihat dia seperti tertekan, namun dia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyampaikan sejelas-jelasnya dalam proses persidangan," kata Sopian.

Tetapi, apa yang menjadi pembelaannya tetap perlu diuji lagi kebenarannya. "Kita juga tidak tahu, apakah Medi menceritakan itu dengan sebenarnya atau dia juga merekayasa cerita," kata dia lagi.

Terkait dugaan keterlibatan istri korban dalam rangkaian pembunuhan keji itu, penyidik sudah melakukan pemanggilan.

"Penyidik bilang sudah memanggil istri korban, tetapi berdasarkan keterangan, Umi Kalsum tidak mengakui pernah memberi uang sejumlah yang disampaikan terdakwa," ujar dia.

Dan persidangan pun tidak berhasil membuktikan keterangan terdakwa. Majelis hakim malah menganggap pengakuan terdakwa justru menimbulkan kekeruhan hubungan dalam keluarga korban.

Humas Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Mansur mengatakan, majelis hakim sampai pada kesimpulan hukuman mati karena yang bersangkutan dianggap orang berdarah dingin, tanpa ekspresi, tak sedikit pun ia mengakui perbuatannya.

Majelis hakim menganggap, pekerjaannya sangat rapi dan perencanaan sangat matang. Dia menyeting aksinya itu berbulan-bulan.

“Pertimbangan lainnya perbuatannya sangat sadis dan itu dapat dibuktikan dari kelengkapan alat bukti,” tambah dia.

Saat ditanya apakah majelis hakim yakin pembunuhan terjadi di rumah terdakwa, seperti yang tersampaikan dalam salinan putusan, dia menjawab, “Kita berangkatnya saja dari rumah, apakah dieksekusinya di rumah atau di lapangan tembak atau di mana, kita tidak bisa membuktikan, itu tadi dia sangat rapi. Bahkan, sopir yang menemani (Tarmidi) membuang mayat saja baru mengetahui setelahnya, saat dalam perjalanan pulang,” beber dia.

Baca juga: Terdakwa Medi Beberkan Keterlibatan Istri Korban dalam Mutilasi Anggota DPRD

Terkait pengakuan terdakwa ada keterlibatan istri korban dalam rangkaian pembunuhan itu, Mansur menepisnya. “Itu tidak pernah disampaikan oleh terdakwa sebelumnya dan berkasnya tidak ada di persidangan,” tutur dia.

Keluarga pun pasrah. Mereka enggan dimintai keterangan.

"Maaf Mbak, keluarga tidak berkenan mengangkat kasus ini, pihak keluarga sudah mengerti bahwa ini adalah takdir Allah," kata Sumarsih, menghubung keluarga Medi.

Pernyataan LBH

Menyikapi kasus pembunuhan dan mutilasi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung angkat bicara.

"Kami mendorong agar terpidana dalam hal ini Medi Andika untuk angkat bicara, sampaikan fakta yang sebenarnya. Apalagi ini hukumannya mati, untuk apa disembunyikan lagi," kata Direktur LBH Lampung Chandra Muliawan.

Dia juga menambahkan, majelis hakim diberikan hak seluas-luasnya untuk membuktikan materi.

Dalam pembelaannya, terdakwa menyebutkan ada keterlibatan istri korban dengan memberikan uang tunai senilai Rp 10 juta dan dia juga menyebut nama lain sebagai orang suruhan untuk memberi pelajaran pada korban.

"Pengadilan tidak boleh mengabaikan pembelaan terdakwa, ini kan sebagai petunjuk yang harusnya digali untuk membuktikan motif kasus ini yang sebenarnya," tutur Chandra.

Dia pun menekankan agar Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang memberikan fasilitas pendampingan hukum terhadap terdakwa.

Baca juga: Kuasa Hukum Pelaku Mutilasi Anggota DPRD Kumpulkan Bukti Pendukung

"Setiap terdakwa yang mendapat hukuman lebih dari lima tahun harus ada pendamping hukumnya. Apalagi, Medi, kan, hukumannya vonis mati. Harusnya ada yang mengadvokasi, minimal mengurusi berkas-berkas yang tidak terjangkau terpidana," ujar dia.

LBH sendiri menyikapi terkait masih banyaknya hakim yang menjatuhkan hukuman mati di beberapa kasus, terutama pada kasus narkoba yang paling mendominasi di Provinsi Lampung.

“Ini masalah keberpihakan dan kebijakan hakim. Seharusnya hakim menerapkan UU lebih menitik tekankan kepada aspek kemanusiaan,” kata dia.

LBH menekankan, peraturan tentang diakuinya hukuman mati dalam ketentuan pidana materiel, harus dihapuskan.

Selama masih diberlakukan, maka selama itu juga majelis hakim akan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang duduk di kursi pesakitan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com