Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Mati dan Teka-teki yang Tersisa di Kasus Polisi Mutilasi Anggota DPRD...

Kompas.com - 19/12/2018, 14:06 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Bandar Lampung, di Perumahan Permata Biru, Blok C15 Nomor 4 Kelurahan Sukarame, Kecamatan Sukarame, seorang bekas Brigadir Polisi, Medi Andika, tinggal.

Di rumah itu, Medi Andika menembak dan memotong-motong jasad korban bernama M Pansor, pada Jumat (15/4/2016) siang.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang telah menjatuhkan hukuman mati kepada Medi Andika, karena terbukti membunuh secara terencana.

Korbannya adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandar Lampung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pembunuhan ini sempat menggegerkan publik karena korban adalah tokoh politik dan pelakunya polisi.

Masih membekas di ingatan tetangga Medi Andika pada saat terjadi pembunuhan di rumah itu.

Baca juga: Brigadir Medi Andika Tersangka Mutilasi M Pansor

Suharto (57), Ketua RT 007 yang tinggal persis di sebelah kiri rumah Medi Andika menceritakan, tidak pernah melihat kecurigaan apapun pada pribadi terdakwa selama bertetangga.

Suharto juga salah satu tetangga yang diminta kesaksiannya di pengadilan. Dalam kesempatan bertemu, dia menyarankan terdakwa untuk membongkar orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut.

"Sudahlah Med, lo ungkap saja kasus ini, tapi dia malah bilang 'Sudahlah Pak, pasti nanti akan terbongkar dengan sendirinya'," kata Suharto, menirukan perkataan Medi.

Kasus ini telah diputus Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang. Hakim pertama sampai kasasi memvonis mati pelaku.

Namun, pengacara dan pegiat hak asasi menilai vonis mati ini penuh kejanggalan. Pada Hari Anti Hukuman Mati Internasional 10 Oktober lalu, mereka kembali menyoti kasus ini.

Pengungkapan ini berawal dari laporan Umi Kalsum, istri korban ke Polda Lampung atas hilangnya M Pansor pada tanggal 25 April 2016 lalu.

Berdasarkan keterangan saksi Umi Kalsum, korban tidak pernah kembali sejak berpamitan hendak pergi ke kantor pada Jumat (15/4/2016) pukul 13.00 WIB.

Korban pergi mengendarai mobil Kijang Innova warna abu-abu bernomor polisi BE 2389 BX.

Rekan kerja dan staf di Gedung DPRD Kota Bandar Lampung membenarkan tidak bisa menghubungi korban sejak Jumat sore itu.

Tak satupun dari mereka mengeluarkan pendapat apapun selain menunggu hasil penyidikan dari kepolisian.

Mendengar rekan kerja yang tak kunjung pulang, baik pejabat eksekutif, legislatif, dan seluruh staf, melakukan doa bersama. Mereka mendoakan keselamatan M Pansor.

Sedangkan polisi terus bergerak, petunjuk demi petunjuk dicocokkan dalam upaya membongkar kasus hilangnya korban.

Laporan istri Pansor rupanya beririsan dengan temuan potongan mayat di sebuah sungai di Martapura, Sumatera Selatan, ketika itu.

Polda Lampung dan Polda Sumatera Selatan, saling bersinergi guna mencocokkan hasil laporan istri korban dengan potongan mayat yang ditemukan di Martapura.

Mayat yang sudah menghitam, menyulitkan tim penyidik membuktikan identitas korban. Tes DNA pun tak terelakkan, kerabat terdekat dilakukan uji genetika untuk mencari kesesuaian.

Melalui rangkaian uji genetika yang panjang, akhirnya terbukti bahwa potongan mayat yang ditemukan benar adalah jasad M Pansor.

Tim buru sergap bertindak, mencari dengan cepat pelaku pembunuhan sadis tersebut.

Tertangkap Tarmidi alias Ade Kemala, bekerja di kedai Mie Aceh, di Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung.

Dari Tarmidi, akhirnya polisi berhasil mengungkap sosok pelaku lainnya, yakni Medi Andika.

Seorang Brigadir Polisi yang pernah bertugas di Polresta Bandar Lampung.

Polisi menemukan 39 barang bukti

Dalam pengungkapan kejahatan itu, polisi menemukan 39 barang bukti yang mengarah pada pelaku Medi Andika.

Baca juga: M Pansor Hilang Hampir Sebulan

Di antaranya adalah mobil Kijang Innova BE 2389 BX dan aksesoris dan perhiasan milik korban. Barang milik Pansor itu telah dikembalikan pada istri korban.

Sementara, barang milik pelaku, termasuk golok yang disebut-sebut digunakan untuk memotong-motong jasad korban, senjata api aktif untuk menembak kaki korban ketika di dalam mobil dan peluru, sebagian dirampas untuk dimusnahkan dan dikembalikan pada negara.

Serta, alat komunikasi beserta pakaian yang melekat pada tubuhnya saat terjadinya pembunuhan, sejumlah buku tabungan rekening, dan kendaraan sepeda motor.

Terdakwa yang terus bungkam

Dalam setiap sidang, Medi cenderung tidak banyak memberi keterangan dan itu juga tertuang dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Kelas I Tanjungkarang.

Medi hanya membenarkan jika kesaksian tersebut benar dan menolak jika kesaksian itu menurutnya tidak tepat.

Beberapa kesaksian yang dibenarkan, saat dia membuang potongan jasad korban, kesaksian istri korban yang menceritakan bahwa keluarga Medi memiliki hubungan seperti saudara pada keluarga korban, bahkan hingga hutang budi karena pernah dibantu saat proses persalinan anak Medi.

Kesaksian yang ditolak terdakwa, manakala pengakuan anak korban yang pernah menyaksikan ayahnya (M Pansor) menerima telepon dengan kalimat "Med, Med, kalau mau ketemu nanti ya jam 14.00 WIB," lalu setelah itu korban menutup telepon.

Kesaksian lain yang ditolak Medi adalah kesaksian seorang anggota TNI yang menerima gadaian mobil korban seharga Rp 35 juta dari tangan pelaku.

Dan penolakan lainnya, bukti yang dihadirkan dalam persidangan, bahwa dia telah membunuh korban di rumahnya sendiri.

Pengacara terdakwa, Sopian Sitepu, yang mendampingi Medi merasa kewalahan dengan aksi diam Medi.

"Kami sudah berupaya dengan berbagai cara agar dia bicara terus terang. Bahkan, kami siap tidak menerima bayaran asal dia mengungkapkan yang sejujurnya," kata Sopian, kepada Kompas.com, saat diwawancarai beberapa waktu lalu.

Menurut dia, kliennya secara psikologis ketika itu terlihat tertekan. "Apa yang membuatnya tidak berani mengungkap cerita yang sebenarnya, kami tidak mengetahui," ujar dia.

Semua masih gelap. Sekalipun vonis mati sudah dijatuhkan oleh majelis hakim.

Kejanggalan bukti

Sopian mengatakan, dalam salinan putusan No: 1186/Pid.B/2016/PN.Tjk terlihat kejanggalan konstruksi.

Di antaranya, pihak penyidik tidak membuka jejak komunikasi baik pada nomor seluler korban maupun pelaku sebelum terjadi pembunuhan.

Padahal, ada percakapan di telepon yang menurut anak korban, dia mendengar komunikasi ayahnya dengan Medi seusai menunaikan shalat Jumat.

“Kami selalu meminta majelis hakim untuk membuka track record percakapan pelaku dan korban, tetapi tidak pernah dihadirkan dalam persidangan,” kata dia.

Majelis hakim lewat saksi ahli hanya menghadirkan posisi terdakwa dan posisi sinyal korban pada Jumat (15/4/2016) dan Sabtu (16/4/2016), yang dinyatakan keduanya sama-sama mati.

Baca juga: Divonis Mati, Polisi Pelaku Mutilasi Anggota DPRD Ikut Tepuk Tangan

Kejanggalan lainnya, saksi Tarmidi yang memberi keterangan, pada malam hari menjelang keberangkatannya sempat masuk ke dalam rumah pelaku menonton TV di lantai 2, bahkan sempat berpose memegang senjata milik pelaku serta mengunggah ke akun sosialnya.

Dalam keterangan salinan putusan, jelas dikatakan bahwa sekitar sore hari, pelaku Medi menghabisi nyawa korban di rumahnya dengan cara dipotong-potong lalu memasukkan jasad korban dalam dua bagian kardus.

Dalam keterangan saksi, tidak sama sekali menyebutkan saat masuk ke dalam rumah pelaku mencium bau aroma amis darah.

Padahal, saat masuk ke dalam mobil korban yang dibawa ke lokasi pembuangan, saksi Tarmidi menjelaskan melihat ada bercak darah di handel mobil dan dasbor yang mengering, serta mencium bau aroma amis dalam mobil tersebut sekalipun Medi telah menyemprotnya dengan pengharum ruangan.

Bahkan, setelah pulang membuang potongan mayat, mobil sempat dicuci di pencucian mobil dan petugas bersaksi melihat ada banyak darah di bawah karpet tempat duduk depan mobil sebelah kiri.

Pengadilan pun tak membeberkan mengambil keterangan saksi dari tetangga pelaku saat kejadian pembunuhan, padahal masih dalam keterangan yang tertuang dalam salinan putusan, korban saat ke rumah pelaku menggunakan mobil Innova Silver yang dijadikan alat bukti kuat.

Bukti lainnya dijelaskan oleh salah satu kuasa hukum Medi Andika, Kabul Budiono, bahwa senjata api dan peluru milik Medi, setelah dilakukan uji balistik, tidak ada kesesuaian dengan peluru yang bersarang di dalam tubuh korban.

Baca juga: Anggota DPRD Pansor Hilang 25 Hari Lalu

Kejanggalan lainnya, tidak pernah dikeluarkan tes uji kejujuran istri korban. Meskipun istri korban juga telah menjalankan tes yang sama seperti terdakwa Medi dan juga saksi Tarmidi.

"Kami mengucapkan terima kasih kepada JPU yang telah menghadirkan bukti dan saksi di persidangan untuk mengungkap kebenaran fakta dalam persidangan ini," ujar dia.

Kuasa hukum menilai, Surat Tuntutan JPU tidaklah murni, penegakan hukum semata dengan tujuan mencari kebenaran materiel atau kebenaran yang hakiki, tetapi lebih menitikberatkan pada tuntutan yang “emosional” dan hanya untuk memuaskan keinginan keluarga korban.

Tuntutan yang diajukan JPU terhadap terdakwa dengan tuntutan hukuman mati dianggap telah melanggar hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan penerapan hukuman mati masih pro dan kontra dalam penegakan hukum di Indonesia.

Pembelaan Medi Andika

Tepat pada Rabu (12/4/2017) dalam sidang pembelaannya, terdakwa membacaan pembelaan yang ditulis sendiri.

Medi memberikan penjelasan tentang keterlibatan Umi Kulsum, istri korban, dalam kasus mutilasi tersebut.

Di dalam keterangannya, Medi mengatakan, Umi meminta untuk mencari orang yang dapat memberi pelajaran pada Pansor, karena suaminya itu punya kekasih dan sering memberi fasilitas hidup.

Lalu, Medi akhirnya mengiyakan dan melibatkan Anton dengan memberi uang sebesar Rp 10 juta.

Namun, di luar dugaan, ternyata Pansor melawan dan mereka menyebutnya terjadi kecelakaan, karena Medi menerima mobil korban di dalamnya terdapat dua kardus yang berisi potongan mayat korban.

Aksi bungkam selama persidangan sebelum-sebelumnya, dan keterangan saksi yang memberatkan Medi Andika, serta pembelaan yang dianggap mengada-ada, majelis hakim tetap pada pendiriannya yakni menjatuhkan vonis hukuman mati pada terdakwa.

Saat sidang putusan yang digelar Juni 2017, terdakwa, keluarga korban, dan juga keluarga terdakwa, hadir lengkap di persidangan.

Saat Medi divonis hukuman mati, keluarga korban bertepuk tangan dan menangis meluapkan emosi kegembiraan karena menganggap terdakwa divonis setimpal dengan perbuatannya.

Baca juga: Polisi Terdakwa Kasus Mutilasi Anggota DPRD Divonis Hukuman Mati

Tanpa disangka, Medi yang berada di kursi pesakitan ketika itu pun turut bertepuk tangan.

Seperti tak terjadi apapun, Medi terbangun dari tempat duduknya memberi salam hormat pada majelis hakim lalu mendekat ke arah kuasa hukum.

"Kami akan mengajukan pembelaan," kata Sopian, kepada majelis hakim, usai berbincang dengan kliennya.

Setelah itu, Medi kembali menyerahkan tangannya pada pengawal untuk diborgol kembali dan keluar dari ruang persidangan.

Hakim tetap menjatuhi hukuman mati

Kegundahan Medi sudah tersampaikan melalui pembelaannya. Bahkan, dia sempat mengatakan sudah merasa lebih tenang daripada sebelumnya.

"Dia bilang sudah merasa lebih lapang, sebelumnya kami melihat dia seperti tertekan, namun dia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyampaikan sejelas-jelasnya dalam proses persidangan," kata Sopian.

Tetapi, apa yang menjadi pembelaannya tetap perlu diuji lagi kebenarannya. "Kita juga tidak tahu, apakah Medi menceritakan itu dengan sebenarnya atau dia juga merekayasa cerita," kata dia lagi.

Terkait dugaan keterlibatan istri korban dalam rangkaian pembunuhan keji itu, penyidik sudah melakukan pemanggilan.

"Penyidik bilang sudah memanggil istri korban, tetapi berdasarkan keterangan, Umi Kalsum tidak mengakui pernah memberi uang sejumlah yang disampaikan terdakwa," ujar dia.

Dan persidangan pun tidak berhasil membuktikan keterangan terdakwa. Majelis hakim malah menganggap pengakuan terdakwa justru menimbulkan kekeruhan hubungan dalam keluarga korban.

Humas Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Mansur mengatakan, majelis hakim sampai pada kesimpulan hukuman mati karena yang bersangkutan dianggap orang berdarah dingin, tanpa ekspresi, tak sedikit pun ia mengakui perbuatannya.

Majelis hakim menganggap, pekerjaannya sangat rapi dan perencanaan sangat matang. Dia menyeting aksinya itu berbulan-bulan.

“Pertimbangan lainnya perbuatannya sangat sadis dan itu dapat dibuktikan dari kelengkapan alat bukti,” tambah dia.

Saat ditanya apakah majelis hakim yakin pembunuhan terjadi di rumah terdakwa, seperti yang tersampaikan dalam salinan putusan, dia menjawab, “Kita berangkatnya saja dari rumah, apakah dieksekusinya di rumah atau di lapangan tembak atau di mana, kita tidak bisa membuktikan, itu tadi dia sangat rapi. Bahkan, sopir yang menemani (Tarmidi) membuang mayat saja baru mengetahui setelahnya, saat dalam perjalanan pulang,” beber dia.

Baca juga: Terdakwa Medi Beberkan Keterlibatan Istri Korban dalam Mutilasi Anggota DPRD

Terkait pengakuan terdakwa ada keterlibatan istri korban dalam rangkaian pembunuhan itu, Mansur menepisnya. “Itu tidak pernah disampaikan oleh terdakwa sebelumnya dan berkasnya tidak ada di persidangan,” tutur dia.

Keluarga pun pasrah. Mereka enggan dimintai keterangan.

"Maaf Mbak, keluarga tidak berkenan mengangkat kasus ini, pihak keluarga sudah mengerti bahwa ini adalah takdir Allah," kata Sumarsih, menghubung keluarga Medi.

Pernyataan LBH

Menyikapi kasus pembunuhan dan mutilasi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung angkat bicara.

"Kami mendorong agar terpidana dalam hal ini Medi Andika untuk angkat bicara, sampaikan fakta yang sebenarnya. Apalagi ini hukumannya mati, untuk apa disembunyikan lagi," kata Direktur LBH Lampung Chandra Muliawan.

Dia juga menambahkan, majelis hakim diberikan hak seluas-luasnya untuk membuktikan materi.

Dalam pembelaannya, terdakwa menyebutkan ada keterlibatan istri korban dengan memberikan uang tunai senilai Rp 10 juta dan dia juga menyebut nama lain sebagai orang suruhan untuk memberi pelajaran pada korban.

"Pengadilan tidak boleh mengabaikan pembelaan terdakwa, ini kan sebagai petunjuk yang harusnya digali untuk membuktikan motif kasus ini yang sebenarnya," tutur Chandra.

Dia pun menekankan agar Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang memberikan fasilitas pendampingan hukum terhadap terdakwa.

Baca juga: Kuasa Hukum Pelaku Mutilasi Anggota DPRD Kumpulkan Bukti Pendukung

"Setiap terdakwa yang mendapat hukuman lebih dari lima tahun harus ada pendamping hukumnya. Apalagi, Medi, kan, hukumannya vonis mati. Harusnya ada yang mengadvokasi, minimal mengurusi berkas-berkas yang tidak terjangkau terpidana," ujar dia.

LBH sendiri menyikapi terkait masih banyaknya hakim yang menjatuhkan hukuman mati di beberapa kasus, terutama pada kasus narkoba yang paling mendominasi di Provinsi Lampung.

“Ini masalah keberpihakan dan kebijakan hakim. Seharusnya hakim menerapkan UU lebih menitik tekankan kepada aspek kemanusiaan,” kata dia.

LBH menekankan, peraturan tentang diakuinya hukuman mati dalam ketentuan pidana materiel, harus dihapuskan.

Selama masih diberlakukan, maka selama itu juga majelis hakim akan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang duduk di kursi pesakitan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com