Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Alam Wangsakerta, dari Desa Membangun Indonesia...

Kompas.com - 27/11/2018, 15:54 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

Mereka belajar banyak hal tanpa dipungut biaya seperpun. Bahkan, jam belajarpun mereka yang tentukan, yakni pukul 13.00–17.00 WIB.

“Saya berpikir, untung ada sekolah ini, kalau tidak ada mah pikirane mendi-mendi (enggak tahu ke mana), pikiran untuk masa depan, apa lagi teknologi. Pokoknya belajar memiliki keahlian. Untung ada sekolah ini, kalau enggak ada gila-gila ampun,” kata Misjani, semangat.

Siswa putus sekolah belajar pemetaan desa

Sekolah Alam Wangsakerta, menurut Misjani, berbeda dengan sekolah pada umumnya. Para siswa diajarkan mengenal alam lingkungan serta berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Bahkan, para guru membimbing mereka mampu memetakan kondisi dan masalah-masalah desa mereka, perekonomian, kebersihan, serta sumber daya alam.

Baca juga: Sekolah Alam Kampung Sawah, Sekolah yang Tak Ingin Jadikan Anak Ensiklopedia Berjalan

Enam bulan pertama, Misjani dan rekannya belajar di dalam sekolah ini. Enam bulan terakhir mereka belajar pemetaan, langsung terjun ke rumah warga.

Misjani merasa mendapat banyak ilmu dan pengetahuan dalam proses pemetaan itu. “Saya jadi bisa mengenal banyak orang. Alhamdulillah, enam kepala RT seluruhya kenal semua. Ilmu yang utama berani bicara di depan orang banyak,” kata siswa penjual es lilin di sekolah SD itu.

Farida Mahri, salah satu pendiri sekolah ini menuturkan, para siswa diajarkan untuk mengenal desanya sendiri, masalah, serta potensinya.

Materinya bersifat tematik, tentang pangan, energi lingkungan hidup, dan lainnya. Mereka praktik keliling desa memperhatikan kondisi sekitar, mencatat, mendiskusikan, dan mencari solusinya sendiri.

Semisal, satu ketika mereka melihat sampah berserakan, dan tempat ibadah kotor. Keesokan harinya mereka kerja sama dan langsung membersihkan sendiri.

“Enggak ada penentuan baku. Kita menyusun tema saja. Tentang pangan, kita langsung ke tanaman. Kalau bahasa, kita gunakan cerpen Kompas yang bahasanya mudah dicerna anak-anak. Kalau matematika, kita praktik langsung hitung-hitungan, dan lainya,” ujar Farida.

Istri dari Wakhit Hasim, Dosen Akidah Filsafat IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, juga mengajak para siswa membedah aktivitas keluarga mereka. Hasilnya, para siswa menilai ibu-bapak mereka sangat sibuk, wajib dihormati, dan tidak boleh lagi direpoti.

“Beberapa hari setelah itu, orangtua masing-masing anak mengaku aneh sekaligus bahagia. Mereka bilang ke saya, anaknya kok jadi rajin, mencuci piring dan baju sendiri,” cerita Farida.

Menurut dia, menanamkan moral dan etika langsung dipraktikan bukan hafalan.

Sekolah ini tidak memisahkan peserta didik dengan keluarga dan lingkungan desa mereka tinggal. Kesadaran itu, secara konkret, dapat membantu desa hingga Negara lebih luas.

Dia membandingkan, lembaga sekolah formal dan informal, justru kerap tidak memiliki kaitan dengan program yang digulirkan oleh pemerintah tentang kemajuan desa.

Sekolah Alam Wangsakerta memiliki target sederhana, menghasilkan generasi yang mendorong kemajuan desa. “Sesimpel itu. Namun, untuk bisa memajukan desa, para siswa harus kenal desanya dan dibekali ilmu pemetaan desa,” sambung dia.

Hingga hari ini, Farida menyadari, sekolah ini belum bisa memiliki legal formal karena aturan yang ketat. Dia bersama suaminya kerja sama dengan salah satu PKBM Cirebon.

“Para peserta didik di sini mayoritas putus sekolah kelas 4 SD. Mereka nantinya dapat ujian untuk menyetarakan diri melalui program paket A, B dan C,” kata dia.

Siswa dan guru yang putus sekolah

Fatimah, warga pribumi sekitar menyampaikan, pasangan suami istri Farida Mahri dan Wakhit Hasyim membuktikan membangun Blok Karang Dawa, Desa Setupatok, dari nol.

Mereka membabat alas tempat ini, yang dulunya hutan, sepi, tak terjamah, menjadi kawasan Sekolah Alam Wangsakerta, yang dipenuhi ladang dan area pembibitan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com