Salin Artikel

Sekolah Alam Wangsakerta, dari Desa Membangun Indonesia...

Andaikan dunia ini penuh dengan air mataku

Itu belum bisa menggantikan sakitmu melahirkan aku

Kau sungguh mulia Ibu

Bait puisi itu membuat Aisyah, gadis berusia 16 tahun menangis. Dia terpaksa menghentikan bacaan puisinya di hadapan banyak orang, hingga seorang guru memeluk dan menenangkannya.

Aisyah kembali membaca dan menuntaskan pementasannya.

Bait lagu “Ibuku Sayang” yang dijadikan puisi itu dibacakan Aisyah, seorang gadis Blok Karang Dawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang putus sekolah.

Dia membacakan puisi itu dihadapan rekannya yang juga bernasib sama; anak-anak desa yang putus sekolah.

Hari itu, Rabu (14/11/2018), mereka berkumpul dalam acara “Dari Desa Membangun Indonesia”, yang digagas Sekolah Alam Wangsakerta.

Acara itu merupakan hari istimewa bagi mereka, sebuah hari yang tak mereka pikirkan sebelumnya. Mereka merayakan usia satu tahun pendidikan Sekolah Alam Wangsakerta dengan membuka lapak hasil karya, berupa suvenir, olahan makanan alam, dan juga sejumlah bibit tamanan yang mereka rawat.

“Lumayan repot. Beberapa hari nyiapin acara, pokoknya full time. Tapi enak di sini. Banyak kasih sayang dari teman-teman sama guru-guru, Bu Fatimah, Bu Farida, Bu Siska, Pak Wakhit, dan lainnya,” Kata Aisyah.

Mereka tampak riang gembira mengikuti acara sejak pagi hingga malam. Kebahagiaan itu tak datang begitu saja.

Aisyah kembali semangat bersekolah saat bergabung dengan Sekolah Alam Wangsakerta. Menurut dia, guru di sekolah sederhana ini, mendidik dan membimbing, layaknya orangtua.

Berbeda dengan sekolah Aisyah sebelumnya. Dia menyebut guru sekolahnya sebelumnya banyak menyuruh menulis, namun jarang menjelaskan, hanya di duduk kantor.

Aisyah adalah putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Ilman dan Tisni. Mereka berlima hidup dalam kesederhanaan.

Kondisi Ilman yang terserang penyakit saraf parkinson membuatnya tak lagi dapat membecak. Sementara Tisni, hanya ibu rumah tangga. Kakak pertama Aisyah kerja buruh serabutan.

“Awalnya kata bapak jangan sekolah lagi. Sana kerja saja. Aisyah keluar sekolah. Enggak izin sama guru tiga bulan kerja di Sumber. Awalnya katanya kerja chicken (ayam), tapi tahunya nugget, kaya pabrik gitu. Di sana Aisyah dimarah-marahin terus soalnya paling kecil sendiri 15 tahun. Lainnya usia 20 tahun ke atas. Aisyah disuruh-suruh terus,” ungkap dia.

Pengalaman itu membuatnya gadis itu kaget tentang dunia kerja. Aisyah memutuskan tidak ingin kembali kerja dan menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Alam Wangsakerta.

“Aisyah mau sekolah di sini. Nanti kalau lulus, Aisyah mau kuliah seperti Pak Wakhit,” harapnya dengan mata berkaca.

Nasib sama juga dialami Misjani remaja usia 15 tahun. Bahkan, remaja yang dikenal periang ini putus sekolah sejak kelas 3 Sekolah Dasar. Lingkungan membuatnya putus sekolah.

Menurut Misjani, hal ini lumrah dan banyak terjadi pada rekan seusianya di desanya. “Tadinya keasikan bermain sama teman-teman. Sering pulang. Jadinya enggak semangat sekolah, dan keluar,” ungkap dia.

Putra keenam dari tujuh bersaudara pasangan Samirah dan Kadi kembali menemukan semangatnya satu tahun lalu, yakni pada saat dia bersama sekitar 20 rekannya yang putus sekolah mengenal Sekolah Alam Wangsakerta.

Mereka belajar banyak hal tanpa dipungut biaya seperpun. Bahkan, jam belajarpun mereka yang tentukan, yakni pukul 13.00–17.00 WIB.

“Saya berpikir, untung ada sekolah ini, kalau tidak ada mah pikirane mendi-mendi (enggak tahu ke mana), pikiran untuk masa depan, apa lagi teknologi. Pokoknya belajar memiliki keahlian. Untung ada sekolah ini, kalau enggak ada gila-gila ampun,” kata Misjani, semangat.

Siswa putus sekolah belajar pemetaan desa

Sekolah Alam Wangsakerta, menurut Misjani, berbeda dengan sekolah pada umumnya. Para siswa diajarkan mengenal alam lingkungan serta berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Bahkan, para guru membimbing mereka mampu memetakan kondisi dan masalah-masalah desa mereka, perekonomian, kebersihan, serta sumber daya alam.

Enam bulan pertama, Misjani dan rekannya belajar di dalam sekolah ini. Enam bulan terakhir mereka belajar pemetaan, langsung terjun ke rumah warga.

Misjani merasa mendapat banyak ilmu dan pengetahuan dalam proses pemetaan itu. “Saya jadi bisa mengenal banyak orang. Alhamdulillah, enam kepala RT seluruhya kenal semua. Ilmu yang utama berani bicara di depan orang banyak,” kata siswa penjual es lilin di sekolah SD itu.

Farida Mahri, salah satu pendiri sekolah ini menuturkan, para siswa diajarkan untuk mengenal desanya sendiri, masalah, serta potensinya.

Materinya bersifat tematik, tentang pangan, energi lingkungan hidup, dan lainnya. Mereka praktik keliling desa memperhatikan kondisi sekitar, mencatat, mendiskusikan, dan mencari solusinya sendiri.

Semisal, satu ketika mereka melihat sampah berserakan, dan tempat ibadah kotor. Keesokan harinya mereka kerja sama dan langsung membersihkan sendiri.

“Enggak ada penentuan baku. Kita menyusun tema saja. Tentang pangan, kita langsung ke tanaman. Kalau bahasa, kita gunakan cerpen Kompas yang bahasanya mudah dicerna anak-anak. Kalau matematika, kita praktik langsung hitung-hitungan, dan lainya,” ujar Farida.

Istri dari Wakhit Hasim, Dosen Akidah Filsafat IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, juga mengajak para siswa membedah aktivitas keluarga mereka. Hasilnya, para siswa menilai ibu-bapak mereka sangat sibuk, wajib dihormati, dan tidak boleh lagi direpoti.

“Beberapa hari setelah itu, orangtua masing-masing anak mengaku aneh sekaligus bahagia. Mereka bilang ke saya, anaknya kok jadi rajin, mencuci piring dan baju sendiri,” cerita Farida.

Menurut dia, menanamkan moral dan etika langsung dipraktikan bukan hafalan.

Sekolah ini tidak memisahkan peserta didik dengan keluarga dan lingkungan desa mereka tinggal. Kesadaran itu, secara konkret, dapat membantu desa hingga Negara lebih luas.

Dia membandingkan, lembaga sekolah formal dan informal, justru kerap tidak memiliki kaitan dengan program yang digulirkan oleh pemerintah tentang kemajuan desa.

Sekolah Alam Wangsakerta memiliki target sederhana, menghasilkan generasi yang mendorong kemajuan desa. “Sesimpel itu. Namun, untuk bisa memajukan desa, para siswa harus kenal desanya dan dibekali ilmu pemetaan desa,” sambung dia.

Hingga hari ini, Farida menyadari, sekolah ini belum bisa memiliki legal formal karena aturan yang ketat. Dia bersama suaminya kerja sama dengan salah satu PKBM Cirebon.

“Para peserta didik di sini mayoritas putus sekolah kelas 4 SD. Mereka nantinya dapat ujian untuk menyetarakan diri melalui program paket A, B dan C,” kata dia.

Siswa dan guru yang putus sekolah

Fatimah, warga pribumi sekitar menyampaikan, pasangan suami istri Farida Mahri dan Wakhit Hasyim membuktikan membangun Blok Karang Dawa, Desa Setupatok, dari nol.

Mereka membabat alas tempat ini, yang dulunya hutan, sepi, tak terjamah, menjadi kawasan Sekolah Alam Wangsakerta, yang dipenuhi ladang dan area pembibitan.

Kawasan ini juga menjadi ramai aktivitas setiap harinya, yang dahulu orang enggan untuk melintas.

Ibu tiga anak ini bersyukur impiannya untuk membangkitkan semangat belajar anak putus sekolah di desanya terwujud.

Dia bergabung dalam Sekolah Alam Wangsakerta sejak satu tahun lalu, dan menjadi salah satu pengampu.

Meski tidak pernah dibayar sepeserpun, dia sangat semangat untuk membantu anak-anak yang putus sekolah.

“Saat Bu Farida bilang ke saya 'kita akan bangun sekolah untuk anak-anak putus sekolah', saya sampe nangis, bersyukur. Itu impian saya, ingin jadi guru. Kalau lihat anak-anak putus sekolah saya nangis, karena saya ngalamin sendiri, putus sekolah karena ekonomi,” kata salah satu guru yang tak lulus sekolah dasar itu.

Setelah obrolan itu, malam itu juga, Fatimah bersama Farida keliling kampung, mencari anak-anak putus sekolah. Hasilnya, September 2017, ada 20 anak yang mulai ikut belajar.

Meski tak lulus sekolah dasar, Fatimah dikenal perempuan aktif di desanya. Dia adalah salah satu kader posyandu, yang juga aktif dalam kegiatan sekitar.

Bahkan, dia juga turut membantu pendidikan anak usia dini (PAUD). Dia hanya ingin, nasib yang menimpanya tidak lagi dialami anak-anak generasi penerus Desa Setupatok.

Dalam satu tahun, proses pendampingan yang dilakukan sekolah terhadap Blok Karang Dawa mulai tampak hasilnya. Satu persatu warga yang sebelumnya tertutup mulai terbuka dan rajin mengadakan musyawarah dan pertemuan.

Sebelumnya, kata Fatimah, para warga jarang bertemu bahkan acuh terhadap masalah bersama. Mereka hanya sibuk memikirkan diri sendiri.

Sekolah Alam Wangsakerta jadi percontohan

Rudi Sekretaris Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, mengaku kagum dan mendukung aktivitas Sekolah Alam Wangsakerta.

Pada kegiatan “Dari Desa Membangun Indonesia”, kepala desa langsung menghadiri sementara Rudi mengadakan pertemuan pihak swasta di balai desa.

“Kami sudah membahas bersama kepala desa, dan sebelumnya juga sudah berbincang dengan Fatimah, warga kami, guru di situ. Desa mendukung sekali, baik secara moril dan materil. Selama ini belum ada pemetaan seperti itu,” kata Rudi, saat ditemui Kompas.com, di ruang kerjanya, Rabu (21/11/2018).

Rudi tertarik dengan hasil pemetaan yang dilakukan para siswa. Mereka dapat menghasilkan banyak data, antara lain data jumlah penduduk, luas wilayah, batas antar satu RT dengan RT lain, pendapatan ekonomi warga, jamban atau sanitasi, dan lainnya.

Dia berharap, hal tersebut dapat diadopsi dan dilakukan pemetaan pada lima dusun lainnya, di Desa Setupatok.

“Itu (pemetaan) dilakukan oleh anak putus sekolah. Saya acung jempol, kok bisa anak putus sekolah seperti itu. Mereka putus sekolah juga mungkin karena faktor biaya,” ujar Rudi.

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, ungkap Rudi, ada sebanyak 100 lebih anak putus sekolah sekolah yang tersebar di enam dusun. Sebagian besar mereka putus sejak belajar di sekolah dasar.

Mereka putus karena latar belakang biaya.

“Mata pencarian orangtua mereka buruh harian lepas, pembuat cobek, dan lainnya. Tapi, alhamdulillah, jumlah anak putus sekolah semakin menurun. Orangtua mereka yang sebelumnya menyuruh anak untuk langsung kerja, kini sudah berfikir, 'cukup saya saja yang bodoh',” kata Rudi.

Pihaknya akan mengajak kerja sama para siswa-siswi didik sekolah tersebut untuk membangun desa. Karena, dari pemetaan, warga dapat mengetahui dan mencari solusi atas tiap masalah.

https://regional.kompas.com/read/2018/11/27/15543901/sekolah-alam-wangsakerta-dari-desa-membangun-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke