Menanggapi gagasan Arief, Arimbi mengatakan, “Saya akan sampaikan dulu pada Pangeran Patih Raja Mohammad Qodiran (mewakili sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emiruddin),” tuturnya di Keraton Kanoman, Minggu (11/11/2018).
Meski demikian ia menyambut baik gagasan Arief. Ia berharap, poros keraton Cirebon ini bisa mengikat kerjasama di antara elit keraton, dan hubungan yang lebih baik serta positif di antara mereka.
Abdulgani pun optimis, gagasan ini bisa direalisasi segera.
“Saya mengapresiasi gagasan Sultan Kasepuhan. Perlu dibentuk panitia bersama dari para pemangku kepentingan. Pemerintah Kota Cirebon dan Polri sangat berperan dalam mengatur dan menata para pelaku usaha, dan kelancaran lalulintas selama berlangsung pasar malam Mauludan,” ucapnya.
Jika terealisir, lanjut Abdulgani, poros keraton ini bakal menimbulkan multiplier effect (efek pengganda) di semua aspek.
“Bukan hanya para PKL yang bakal mendapat keuntungan lebih banyak, tetapi juga para pengelola keraton. Hubungan anta elite keraton pun bisa lebih produktif. Komunikasi di antara kami pun bisa lebih baik, sementara aspek spiritual religius bisa meningkat karena ada dana lebih untuk membiayai dan merawat kegiatan ritual dan tradisi di lingkungan ketiga keraton,” papar Abdulgani.
Poros keraton, tambahnya, juga bisa memicu berkembangnya sektor pariwisata di Kota Cirebon. Saat ini sektor pariwisata masih mendominasi pendapatan asli daerah Pemerintah Kota Cirebon, yaitu sebesar 40 persen dari total PAD.
Nilainya, seperti disampaikan Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (DKOKP), Alimudin, mencapai lebih dari Rp 80 miliar per tahun.
“Destinasi utama wisata Cirebon masih keraton, diikuti wisata kuliner, dan destinasi religi. Peran destinasi keraton masih sangat kuat dan belum tergeser oleh jenis destinasi wisata lainnya,” jelas Alimudin.
Yang bakal menjadi hambatan besar, ujar Abdulgani, adalah pengaturan lalulintas, parkir, dan pengaturan serta penertiban kalangan PKL. Pemerintah Kota Cirebon dan Polri harus berani keras, dan tegas. Harus ada penempatan personel yang rutin hadir selama pasar malam Mauludan berlangsung.
Dengan demikian, suasana di pasar malam tertib dan nyaman, sementara acara acara ritual yang berlangsung di keraton bisa lebih khusuk.
Menurut Budayawan Cirebon Mustaqim Asteja, dan periset sejarah Keraton Kanoman, Farihin, Senin (12/11/2018), pesta Mauludan yang digelar selama sebulan di lingkungan Keraton di Cirebon, baru muncul di abad ke-20.
“Di lingkungan Keraton Kasepuhan, baru berlangsung sejak Sultan Sepuh ke-11,” sela Arief. Sultan Sepuh ke-11, bernama Raja Aluda Tajul Arifin (1899-1942).
Ia menjelaskan, pesta yang berpuncak pada acara panjang jimat ini awalnya tidak berskala besar seperti saat ini. Awalnya hanya pesta sederhana.
Pihak keraton menerima caosan (pemberian warga tanda mereka loyal pada keraton), lalu bershalawat dan berdzikir memeringati hari ulang tahun nabi.
Sementara itu, para abdi dalem menyiapkan hidangan yang disajikan di atas piring-piring besar porselen Cina yang dalam bahasa Cirebon disebut panjang jimat.
“Acara ini awalnya cuma semalam saja. Lama kelamaan, para pedagang kecil dari desa datang berdagang karena melihat, jumlah warga yang datang makin banyak. Mereka datang sepekan sebelum jamuan besar panjang jimat berlangsung. Lapak lapak sederhana mereka buat di dalam lingkungan keraton,” ungkap Arief.