Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solo, Legenda dan Budaya Jawa

Kompas.com - 17/09/2018, 18:51 WIB
Amir Sodikin

Editor

KOMPAS.com - Jelang tengah malam 1 Suro, iring-iringan tujuh ekor kebo bule Kiai Slamet keluar dari gerbang timur Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lima orang “semut ireng” mengiringi sambil menyebar ketela untuk dimakan oleh kerbau-kerbau itu.

Ketujuh kerbau itu berada di urutan pertama sebagai pembuka jalan arak-arakan pusaka keraton mengelilingi kota Solo

Di belakang mereka, para abdi dalem yang terdiri dari beberapa perempuan keluar dari pintu utama Kori Kamandungan dengan membawa sesaji untuk diberikan kepada ketujuh kerbau tersebut.

Berikutnya, puluhan abdi dalem, kerabat keraton, dan keluarga keraton keluar dari pintu utama membawa 17 pusaka keraton.

Masyarakat antusias memadati kawasan keraton siap berebut sisa makanan dan minuman kerbau, bahkan berusaha meraih kotoran kerbau (tlethong).

Kirab malam 1 Suro merupakan salah satu tradisi keraton Surakarta yang digelar rutin setiap tahun.

Dikenal sebagai kota budaya, Surakarta yang lebih populer dengan sebutan Solo, kental dengan tradisi, adat dan budaya Jawa yang mengakar hingga kini.

Baca juga: Di Balik Makna Peringatan 1 Suro bagi Masyarakat Jawa...

Kota Solo merupakan kota kuno yang dibangun oleh Pakoe Boewono II. Riwayat kota ini tidak lepas dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan penerus Kerajaan Mataram Islam.

Menengok sejarah terbentuknya kota Solo, erat kaitannya dengan peristiwa berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning tahun 1742. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan “Geger Pecinan” itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Kartasura, Sunan Pakoe Boewono II.

Pemberontakan itu akhirnya dapat ditumpas dengan bantuan VOC Belanda dan Keraton Kartasura dapat direbut kembali. Namun bangunan keraton hancur lebur, sehingga perlu mencari lokasi ibu kota untuk membangun keraton yang baru.

Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, SISKS Paku Buwono XIII, Hangabehi dan permaisurinya, KRAy Pradapaningsih mengikuti Kirab Agung di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (5/5/2018).KOMPAS.com/Labib Zamani Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, SISKS Paku Buwono XIII, Hangabehi dan permaisurinya, KRAy Pradapaningsih mengikuti Kirab Agung di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (5/5/2018).
Berjarak sekitar 20 kilometer ke arah tenggara dari Kartasura, ditemukan tempat yang cocok untuk membangun keraton baru yaitu di Desa Sala di tepi sungai Bengawan Sala. Desa Sala dan sekitarnya mulai ramai dan berubah menjadi sebuah kota sejak 20 Februari 1745, yaitu sejak berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari keraton Kartasura ke Sala.

Nama “Surakarta” diberikan bagi pusat pemerintahan baru itu, yang kemudian dikenal dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat.

Kehadiran dua nama, Solo dan Surakarta menjadi keunikan bagi kota tua ini. Ada beberapa cerita dibalik dua nama itu. Konon Kota Solo awalnya dibentuk oleh masyarakat kuli (dalam Bahasa Jawa: soroh bau dan pemimpinnya disebut Ki-Soloh atau Ki-Solo atau Ki-Sala) yang berada di Bandar Nusupan.

Baca juga: Naik Kereta Garuda Kencana, Raja Keraton Surakarta Sebar Koin ke Warga

Mereka tinggal di tepi sungai Bengawan Solo, di dekat pelabuhan tempat mereka bekerja untuk majikannya yang ada di Kadipaten Pajang (1530-an), sehingga membentuk permukiman tepian sungai.

Dalam "Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa” dari Jurnal Lanskap Indonesia I Vol 2 No 2 Tahun 2010 disebutkan, daerah yang digunakan sebagai pusat pemerintahan baru kerajaan Mataram ini disebut Sala, karena di sana hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama Ki Gede Sala.

Selain itu, desa ini banyak ditumbuhi pohon sala, yang diduga sejenis pohon salam. Sejak saat itu Desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kota ini pun menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram.

Adanya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram terpecah. Dalam buku Babad Giyanti, Sejarah Pembagian Kerajaan Jawa oleh Dr Purwadi MHum, Perjanjian Giyanti atau “Palihan Nagari” merupakan bentuk kesepakatan pihak VOC Belanda dengan pihak Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan kelompok Mangkubumi, yang sejak itu berganti gelar Sultan Hamengku Buwono I.

Perjanjian itu berisi kesepakatan “membelah dua Negara Mataram” separuh tetap dikuasai oleh Paku Buwono III dengan ibu kota Surakarta, dan lainnya dikuasai oleh Sultan Hamengku Buwono I dengan wilayahnya Yogyakarta.

Hasil perjanjian itu lahirlah dua kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat atau Negari Agung.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningkrat hingga kini masih berdiri megah di tengah kota Solo. Keraton yang telah menjadi ikon kota Solo itu masih menyiratkan kemegahan bangunannya yang menyimpan warisan sebuah Kerajaan Mataram Jawa yang pernah berjaya berabad-abad silam.

Baca juga: Kerbau Bule Pusaka Keraton Surakarta Mati Ditombak

Tak hanya bangunannya, budaya Jawa yang kental dengan adat-istiadat leluhur masih tetap terjaga dan lestari, serta masih dapat dijumpai di kota ini.

Kota budaya yang di tahun 2018 telah berusia 273 tahun ini tetap mempertahankan dan melestarikan tradisi, adat, dan budaya Jawa yang telah mengakar. Sejak abad ke-19 kota ini telah mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, pakaian, tarian, arsitektur, makanan, dan beragam hasil budaya yang tetap mampu dijaga.

Tak salah jika kemudian kota yang mengusung slogan The Spirit of Java ini disebut sebagai pusat pengembangan tradisi Jawa.

Potret kemakmuran dan kejayaan kerajaan Mataram tempo dulu masih dapat dijumpai dalam tradisi seni dan budaya yang kerap ditampilkan dalam event pariwisata Kota Solo. Kota ini mampu memanfaatkan dan mengembangkan aset warisan budaya menjadi obyek wisata.

Untuk memperkenalkan dan membangkitkan suasana kejayaan masa lalu, berbagai tradisi adat dan budaya ditampilkan dalam bentuk seni.

Gunungan kakung dan putri dalam prosesi grebeg besar di Keraton Surakarta Hadiningrat. KOMPAS.com/Silvita Agmasari Gunungan kakung dan putri dalam prosesi grebeg besar di Keraton Surakarta Hadiningrat.

Upacara ritual keraton yang sakral kerap ditampilkan dan mampu menarik masyarakat Solo untuk mengikuti jalannya prosesi ritual tersebut. Salah satunya adalah upacara Kirab Tradisi Agung Keraton Kasunanan Surakarta yang digelar pada 5 Mei 2018.

Kirab itu digelar sebagai peringatan ke-14 tahun naiknya Hangabehi ke tahta sebagai Pakoe Boewono XIII atau disebut Tingalan Jumenengan Dalem Ke-14 Sampeyan Dalem Ingkang Susuhunan Kanjeng Sunan (SISKS) Pakoe Boewono XIII.

Dalam kirab itu, enam ekor kuda menarik Kereta Kiai Garuda Kencana yang membawa Raja Keraton Surakarta Pakoe Boewono XIII Hangabehi dan permaisurinya, KRAy Pradapaningsih.

Pusaka kereta kencana buatan tahun 1836 itu berangkat dari depan Sasono Setinggil menuju keluar keraton untuk berkeliling Kota Solo. Di acara Kirab Agung itu Raja Solo, Pakoe Boewono XIII bersama keluarga menyapa warga Solo dan menyebar koin atau udik-udik.

Masyarakat kota Solo menyambut dengan antusias Kirab Agung yang menempuh rute sepanjang 4 kilometer.

Baca juga: Ketika Warga Berebut Berkah Gunungan Garebek Maulid Keraton Surakarta

Acara ritual adat lainnya adalah “Grebeg Maulud” atau biasa disebut “Sekaten”, yaitu perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di acara ini selalu ada tabuhan gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, upacara Jamasan (membersihkan) Meriam Pusaka Kyai Setomi, serta pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung.

Dua gunungan berupa tumpeng raksasa yang disebut Gunungan Jaler dan Gunungan Estiakan diarak dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung. Gunungan ini didoakan sebelum dibagikan ke masyarakat.

Kirab malam 1 Suro sampai sekarang selalu menjadi momentum yang paling meriah. Di acara ini, Keraton Surakarta rutin menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Keraton. Dari rangkaian acara ritual itu, yang paling ditunggu warga Solo adalah arak-arakan kebo bule Kyai Slamet.

Tampilnya kebo bule Kyai Slamet dalam kirab ini sebagai perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang).

Mengutip dari laman situs web Kepustakaan Keraton Nusantara disebutkan bahwa sosok kerbau dihadirkan dalam kirab dan diikuti oleh para abdi dalem dan rakyat, sebagai simbol legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.

Peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa.

Simbol kebo bule Kyai Slamet adalah sebuah visi raja yang secara harfiah merupakan visi Keraton Surakarta yang ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.

Solo kaya dengan simbol dan ritual budaya. Segala upacara adat, ritual adat, prosesi adat tradisi, dan ritual keagamaan kerap digelar dalam berbagai moment.

Nuansa sejarah dan budaya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat kota ini. Solo memang identik dengan legenda dan budaya Jawa. (MG Retno Setyowati/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com