Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Makna Peringatan 1 Suro bagi Masyarakat Jawa...

Kompas.com - 10/09/2018, 19:44 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pergantian tahun Hijriah dengan istilah Suro memiliki makna yang sangat dekat. Saking dekatnya, masyarakat Jawa menganggap hal ini sama.

Namun, pada dasarnya keduanya berbeda, baik antara kalender Islam dengan kalender Jawa yang digunakan sejak zaman Mataram Islam.

Perpaduan kalender Hijriah dengan kalender Jawa dimulai saat Sultan Agung berkuasa. Sultan Agung memadukan sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan adanya sedikit pengaruh penanggalan Julian dari Barat.

Sultan Agung yang ketika itu menanamkan Islam, mengeluarkan sebuah dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan. Hasilnya, setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Sampai pada saat ini, sistem penanggalan Jawa masih digunakan oleh banyak kalangan. Baik itu untuk menentukan acara, pernikahan maupun menentukan hari baik untuk kepentingan tertentu.

Baca juga: Tujuh Kebo Bule dan 19 Pusaka Dikirab pada Perayaan Satu Suro di Solo

Ketika memasuki Tahun Baru, masyarakat Jawa masih menyakralkan pergantian tahun itu dengan melakukan berbagai kegiatan.

Harian Kompas edisi 20 Juli 1990 menjelaskan, masyarakat Jawa (tradisional) lebih memandang pergantian kalender Jawa memiliki arti yang lebih daripada pergantian tahun baru lain seperti Masehi maupun Cina.

Masyarakat Jawa tradisional lebih memaknai perayaan pergantian tahun yang dikenal dengan 1 Suro dengan penghayatan, prihatin, religius dan penuh meditasi.

Untuk menyambut pergantian tahun ini, mereka (masayarakat Jawa tradisional) mempersiapkan dan bahkan memerlukan waktu untuk itu. Baik secara perseorangan/kelompok mengungkapkan ekspresi religiusnya dengan cara masing-masing,

Puasa mutih, mandi di tengah malam, bermeditasi, berziarah ke makam atau ke gunung, berjalan kaki sepanjang malam, bahkan mengelilingi tembok keraton merupakan hal yang biasa dilakukan.

Baca juga: Inilah 5 Tradisi Menyambut Bulan Suro di Pulau Jawa

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com