Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Hanna Sang Mantan TKW, Sakit Lumpuh Tak Menghalanginya Berkreasi...

Kompas.com - 31/08/2018, 08:00 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com- Bunga plastik berwarna warni tampak indah di berbagai sudut ruangan rumah sederhana yang terbuat dari batako dan batu putih dan kayu-kayu, serta berlantai tanah di Dusun Gedoro, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta.

Itulah rumah milik Hanna Yulianingsih (29) penyandang disabilitas yang terus berupaya bekerja meski dengan segala keterbatasan.

Setiap hari walau menggunakan kursi roda, Hanna tetap melakukan berbagai aktivitas. Saat ini kedua kaki dan tangan kirinya pada bagian jari tidak dapat sempurna digerakkan.

Anak keempat dari enam bersaudara, pasangan pasangan Sudiyem dan Suwardiyono, mengalami lumpuh sejak 2016 lalu.

"Sebelumnya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Taiwan selama lima tahun, menjadi pengasuh lansia, saat itu tanggal 2 Januari 2016 dini hari tiba-tiba disekitaran pundak terasa nyeri sekali, dan diikuti dengan mati rasa di 3/4 tubuh,"katanya ditemui di rumahnya Kamis (30/8/2018) pagi. 

Baca juga: Kisah Sedih Legenda Pebalap Sepeda Indonesia, Hendrik Brocks (2)

Dia pun dibawa ke rumah sakit oleh majikannya. Lalu dirawat sementara di Taiwan hingga sekitar dua bulan, menunggu kondisinya lebih membaik.

Hasil pemeriksaan dokter Hanan ternyata mengalami pecah pembuluh darah. Saat kondisinya membaik Hanna mulai diantar oleh keluarga majikannya untuk terbang ke Jakarta, dimana keluarga Hanna sudah menyambutnya.

"Sebelum diperbolehkan pulang ke Indonesia, saat itu dokterpun mempertanyakan apakah saya akan kuat jika harus naik pesawat dengan kondisi seperti ini," ucapnya

Selepas di rumah, dirinya mengaku sempat tak bersemangat. Berbagai cara pengobatan telah dicoba mulai dari dokter spesialis hingga pengobatan alternatif, tetapi masih saja tak kunjung ada perubahan.

"Kata dokter di Taiwan memang cidera punggung yang saya alami lebih parah dibandingkan terkena stroke,"jelasnya

Untuk melatih syaraf motoriknya, dia belajar membuat kerajinan, dibantu kakaknya, yang bernama Sutrini.

Baca juga: Kisah di Balik Prestasi 5 Atlet Indonesia, dari Menjadi Buruh Cuci hingga Tukang Lipat Parasut

 

Meski dengan keterbatasan karena harus duduk di kursi roda, tangan terampilnya mulai bekerja memotong botol plastik bekas air mineral yang sudah tidak digunakan, menjadi hiasan bunga plastik dengan berbagai warna.

Menggabung-gabungkan potongan botol plastik itu, merangkai disambungkan dengan kawat sebagai tangkai dan potongan botol plasti tersebut mulai direkatkannya dengan lem satu persatu.

Belajar dari Youtube

Hanna Yulianingsih (29) sedang membuat kerajinan di rumahnya di Dusun Gedoro, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Kamis (30/8/2018) KOMPAS.com/MARKUS YUWONO Hanna Yulianingsih (29) sedang membuat kerajinan di rumahnya di Dusun Gedoro, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Kamis (30/8/2018)
Berbagai kerajinan yang berbahan dasar dari botol plastik bekas air mineral, kain perca, bahkan ia dapat membuat berbagai jenis bunga dari bahan botol plastik, tempat tisu dari bahan plastik bekas minuman, dan bross dari kain, maupun dari bahan sutera emas.

Berbekal channel Youtube kerajinan ia buka dan mulai ia pelajari dengan dengan gawainya. "Lumayan untuk membantu perekonomian, meski belum maksimal,"imbuhnya

Meski mengalami kesulitan pemasaran, dirinya tetap terus memasarkan produknya melalui media sosial. Terakhir produk brosnya terjual sampai wilayah Semarang, Jawa Tengah. 

Disela membuat kerajinan, asa untuk sembuh terus diperjuangkannya. Untuk melatih kaki-kakinya setiap pagi ia menggunakan kayu yang dipasang di tanah belakang rumahnya dan bambu memanjang empat meteran sebagai pegangan penganti Parallel bars, sebagai alat latihan berjalan.

Baca juga: Kisah di Balik Kekeringan, Warga Rela Menunggu Air Sisa Telaga

Kakak Hanna, Sutrini mengaku senang adiknya mulai bangkit dan kembali beraktivitas meski dengan keterbatasan.

"Semoga diberikan kesembuhan, Adik saya ini sosok yang tegar menghadapi cobaan, tetap semangat meski ada keterbatasan"katanya

Ketua Forum Kaum Difabel Gunungkidul (FKDG) Mujiono mengatakan dirinya mengapresiasi kegigihan Hanna untuk sembuh.

Selain itu, dia cepat beradaptasi dengan kondisinya. Hanna dinilai layak menjadi motivator disabilitas Gunungkidul untuk menginspirasi disabilitas lain yang mungkin beberapa saat ini masih terpuruk.

"Harapannya para difabel tidak hanya berdiam diri di rumah. Mereka dapat berkarya dengan kemampuan yang ada. Tidak bergantung kepada orang lain," ucapnya

Pihaknya berusaha mengajukan bantuan kursi roda kepada pemerintah. Sehingga memudahkan untuk beraktivitas.

Baca juga: Cerita Nanda, Atlet Difabel yang Kaget Saat Diminta Bawa Obor Asian Games

 

"Selain memberikan bantuan kami juga akan melakukan pelatihan pemberdayaan untuk kaum difabel, dengan menggandeng beberapa instansi, seperti disperindag dan disdikpora," katanya.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Gunungkidul Sulistyo Hadi menambahkan, saat ini mencatat setidaknya ada sekitar 8.000 penyandang disabilitas di Gunungkidul yang harus menjadi perhatian.

"Tidak hanya Dinsos, tetapi semuanya baik OPD (Organisasi Perangkat Daerah) maupun masyarakat harus bersinergi memberikan dukungan kepada penyandang disabilitas,"ucapnya

Diakuinya, meski terus diupayakan pendampingan, dan dukungan lainnya. Namun karena keterbatasan anggaran yang sering menghambat. "Harus bergantian, dan bertahap," katanya. 

Kompas TV Siapa yang tak mengenal badut sebagai ikon dari sebuah taman edukasi yaitu Taman Mini Indonesia Indah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com