Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Srikandi Pejuang Agraria, Tanah Adalah Kehormatan

Kompas.com - 06/06/2018, 20:26 WIB
Firmansyah,
Farid Assifa

Tim Redaksi

"Pulang kadang larut malam jam 00.00 WIB bahkan jam 01.00 WIB," katanya.

Perjuangan Weni menjadi perempuan pejuang agraria ternyata tak lepas dari dukungan suaminya, Ariantono (40) yang bekerja sebagai sopir truk. 

"Suami sangat mendukung perjuangan saya, begitu juga dua anak saya," kata Weni.

Meski sibuk dalam rapat-rapat usaha mempertahankan tanah, Weni memiliki tips agar kebutuhan rumah tangga tidak telantar.

"Saya selalu bangun subuh, kebutuhan suami, anak-anak, dipenuhi. Baik makan, sekolah, dan kerja mereka saya yang siapkan. Jadi saat matahari terbit semua telah selesai dan memulai kegiatan masing-masing," urainya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan, Provinsi Bengkulu, Agus Priambudi, menyatakan, saat ini rencana menjadikan kawasan perkebunan masyarakat itu sebagai HPT masih dalam kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Saat ini masih dilakukan penelitian oleh tim KLHK, karena HPT itu awalnya usulan Pemda Rejang Lebong. Lalu di pertengahan jalan, rencana itu diubah. Saat ini, penelitian masih berjalan," kata Agus Priambudi.

Ibu Piah, tulang punggung yang pendiam 

Sirkandi lain yang membela hak tanah warga adalah Piah (45), warga Desa Pering Baru, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Ibu rumah tangga ini dikenal pendiam.

Baca juga: Petani, Nelayan dan Masyarakat Adat Rentan Alami Kriminalisasi dalam Konflik Agraria

Dia mau berbicara saat ditanya dan tak fasih berbahasa Indonesia. Piah memiliki beberapa hektar kebun pada tahun 1986. Kebun Piah dan keluarganya dipakai untuk perkebunan kelapa sawit milik sebuah perusahaan negara.

Piah dan keluarga mengaku tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perkebunan milik sebuah perusahaan negara tersebut.

"Saat itu kebun kami diambil. Siapa melawan ditembak. Saya ingat waktu itu padi kami siap panen, namun digusur pada malam hari," kenang Piah dengan bahasa Serawai.

Tak terhitung aksi yang dilakukan Piah bersama ratusan petani lain menggugat hak agar tanah dikembalikan. Bahkan, suaminya, Nahadin harus merasakan dinginnya lantai penjara akibat sebuah aksi unjuk rasa beberapa tahun lalu.

Piah mengisahkan, saat suaminya bersama belasan petani lainnya dipenjara, para istri mengalami trauma.

"Para istri yang suaminya dipenjara mengalami trauma. Mereka tak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka berutang," kata Piah.

Piah mengatakan, selama para suami dipenjara, ia menguatkan para istri yang ditinggal. Piah memberikan contoh nyata dengan cara tetap bekerja di ladang untuk menghidupi keluarga menggantikan posisi suami yang ditahan.

"Saya terus turun ke ladang, atau mencari kerja upahan membersihkan kebun orang. Uangya untuk makan anak-anak. Sesekali kalau ada rezeki, kami bersama para istri mengantar makanan ke penjara," kenang Piah.

Saat ditemui Kompas.com, Piah mengatakan, hingga detik ini ia tetap berjuang untuk mengembalikan tanah keluarga yang merupakan kehormatan itu.

"Kami tetap minta pada pemerintah agar tanah leluhur kami dikembalikan. Kami tidak minta lebih dan juga tidak mau terima kurang jumlahnya. Pesan ini akan diwariskan terus pada anak cucu," tutupnya.

Maryam barikade hidup

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com