Maryam (45) adalah perempuan yang tinggal di Desa Rawa Indah, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Maryam merupakan saksi dan tokoh kunci mengusir pertambangan pasir besi yang mengancam menenggelamkan kampungnya.
"Pencarian kami kebun, dan cari lokan di tepi pantai. Pada tahun 2000 kampung kami diancam dengan aktivitas pertambangan pasir besi. Pantai didozer hingga hilanglah kerang makanan bergizi dan pendapatan keluarga," jelasnya.
Maryam dan ribuan warga sempat mengajukan berbagai gugatan dan menggelar aksi unjuk rasa agar izin pertambangan pasir besi di kampungnya dihentikan.
"Saya tidak dapat menghitung, sudah berapa kali unjuk rasa. Namun biarlah yang penting pertambangan itu angkat kaki dari kampung. Ia merusak lingkungan hidup kami," ujarnya.
Maryam tak begitu mahir dalam orasi saat unjuk rasa. Namun ia merelakan dirinya berada di garis depan menjadi barikade hidup bersama perempuan lain melindungi rakyat dan anak-anak dari pentungan dan pukulan aparat.
"Kami kaum perempuan memiliki keperluan lebih penting atas kondisi lingkungan yang sehat dan bersih. Maka dari itu wajar kalau saya harus berada paling depan meneriakkan ketakutan kami akan lingkungan hidup kampung yang rusak akibat tambang," ujarnya pelan.
Maryam mengaku tak jarang ia mendapati pukulan dari aparat saat menggelar aksi unjuk rasa. Namun baginya, hal itu adalah pengorbanan yang harus ia terima.
Weni, Piah dan Maryam merupakan tiga sosok perempuan pejuang agraria dan lingkungan hidup di Bengkulu. Tiga sosok ini nyaris luput dari amatan publik. Namun, perjuangannya sangat menginspirasi.
"Tindakan ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa hak kami terganggu, maka wajib diperjuangkan," jelas Maryam.
Perempuan paling rugi
Mia Siscawati, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengatakan ketimpangan agraria mengakibatkan perempuan sebagai korban paling merugi dalam urutan kemiskinan.
Ketimpangan agraria juga menjadikan perempuan berada dalam posisi terburuk dalam klasmen kemiskinan.
Kerusakan sungai akibat limbah membuat perempuan paling rentan terkait kesehatan yang juga dapat mempengaruhi kondisi anak.
"Kemiskinan akibat ketimpangan agraria dan ingkungan hidup yang buruk menjadikan perempuan lemah. Kesehatan yang buruk melahirkan generasi yang lemah. Ketimpangan agraria berimbas ke mana-mana," ungkap Mia.
Baca juga: Paparan Siti Nurbaya soal Reforma Agraria
Sementara itu, Satyawan Sunito, Direktur Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan, ketimpangan tanah di Indonesia harus diakhiri.
Ia berpesan, sekali tanah diberikan pada Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan atau pertambangan, maka lahan itu tak akan pernah kembali ke masyarakat.
"Sekali HGU diberikan, tanah tak pernah kembali pada masyarakat," tandas Satyawan Sunito.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.