Salin Artikel

Kisah Srikandi Pejuang Agraria, Tanah Adalah Kehormatan

Terdapat 450 konflik yang berdampak pada 86.745 kepala keluarga (KK). Konflik tersebut melibatkan warga, perusahaan perkebunan, pertambangan, BUMN, dan lainnya.

Di Bengkulu, konflik agraria juga terjadi. Direktur eksekutif Walhi Bengkulu, Benny Ardiansyah mengungkapkan, Provinsi Bengkulu menduduki predikat tertinggi dengan jumlah 38 orang petani yang menjadi korban konflik agraria secara nasional. 

"Korban meliputi dipenjara, ditembak aparat, dan lainnya. Data dikumpulkan sejak tahun 2012, mereka berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan," kata Benny, Selasa (5/6/2018).

Kompas.com menelusuri perjuangan masyarakat mempertahankan wilayah dan hak atas tanah hingga kini terus berlangsung di Bengkulu.

Weni, sang orator ulung

Perjuangan tersebut tidak saja didominasi kaum pria. Bahkan di beberapa wilayah justru kaum perempuan menjadi mesin penggerak utama.

"Tanah adalah kehormatan. Ia merupakan identitas bagi kehidupan. Bagi petani dan masyarakat adat Rejang di Bengkulu, tanah bukan sebatas media mencari nafkah, tanah merupakan asal usul pengingat pada peradaban," demikian orasi sederhana Weni (41), seorang perempuan adat Marga Bermani, Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Senin (21/5/2018).

Pidato singkat Weni sontak membuat hadirin seperti mendapatkan energi dalam pertemuan yang digelar malam hari itu.

Weni bersama ratusan petani di Desa Lubuk Kembang dalam dua tahun terakhir mengaku khawatir atas rencana penetapan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) berada di perkebunan yang mereka kelola sejak ratusan tahun.

"Tanah itu merupakan warisan. Bahkan 36 petani telah mendapatkan sertifikat, sisanya memiliki surat waris, jual beli tanah dan lain-lain. Secara mendadak pemerintah pada 2017 memasang patok di kebun kami untuk menjadikan HPT," sebut Weni.

Akibat pemasangan patok dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XX Bandar Lampung, menurut petani, Badan Pertanahan (BPN) tak bersedia mengeluarkan sertifikat.

"Dulu sebelum pematokan, BPN mau keluarkan sertifikat. Sekarang setelah pemasangan patok, BPN tidak berani keluarkan sertifikat," cerita Weni.

Selama ini kebun ditanami dengan kopi dan palawija. Dari kebun kehidupan warga bergantung. Sadar akan bahaya mengancam perkebunan mereka, Weni mengumpulkan para petani. Dibutuhkan kerja tersusun agar tanah tidak hilang. 

"Bila HPT ditetapkan pemerintah di atas kebun kami maka kami akan kehilangan tanah sebagai asal usul, tempat bertahan hidup dan kehormatan. Maka kami berkumpul menentukan sikap dan langkah," ujar Weni.

Dalam rapat tersebut, Weni terpilih sebagai ketua koordinator penolakan HPT. Namun ia menolak jabatan itu dengan alasan masih banyak tetua dan tokoh lainnya, terutama kaum pria. Namun beberapa bulan berjalan, organisasi tersebut terancam bubar karena tak ada penggerak.

"Kami menggelar rapat lagi dan forum meminta saya untuk memimpin, saya ucap bismillah, maka amanah itu saya terima," jelasnya.

Baru saja dilantik sebagai koorinator penolakan HPT oleh ratusan petani, Weni melakukan gebrakan dengan berkirim surat pada seluruh instansi pemerintah daerah dan pusat atas keluhan petani.

"Pemerintah mulai merespons. Memang belum ada putusan mengikat, namun kami tetap memantau bahwa rencana HPT akan tetap kami tolak, apapun taruhannya," jelas Weni.

Sejak diminta menjadi pemimpin gerakan penolakan HPT, Weni mengaku semakin sibuk melakukan pertemuan, rapat dengan masyarakat dan tokoh. Ia harus cerdik dan pandai mencari jalan keluar atas persoalan.

"Pulang kadang larut malam jam 00.00 WIB bahkan jam 01.00 WIB," katanya.

Perjuangan Weni menjadi perempuan pejuang agraria ternyata tak lepas dari dukungan suaminya, Ariantono (40) yang bekerja sebagai sopir truk. 

"Suami sangat mendukung perjuangan saya, begitu juga dua anak saya," kata Weni.

Meski sibuk dalam rapat-rapat usaha mempertahankan tanah, Weni memiliki tips agar kebutuhan rumah tangga tidak telantar.

"Saya selalu bangun subuh, kebutuhan suami, anak-anak, dipenuhi. Baik makan, sekolah, dan kerja mereka saya yang siapkan. Jadi saat matahari terbit semua telah selesai dan memulai kegiatan masing-masing," urainya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan, Provinsi Bengkulu, Agus Priambudi, menyatakan, saat ini rencana menjadikan kawasan perkebunan masyarakat itu sebagai HPT masih dalam kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Saat ini masih dilakukan penelitian oleh tim KLHK, karena HPT itu awalnya usulan Pemda Rejang Lebong. Lalu di pertengahan jalan, rencana itu diubah. Saat ini, penelitian masih berjalan," kata Agus Priambudi.

Ibu Piah, tulang punggung yang pendiam 

Sirkandi lain yang membela hak tanah warga adalah Piah (45), warga Desa Pering Baru, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Ibu rumah tangga ini dikenal pendiam.

Dia mau berbicara saat ditanya dan tak fasih berbahasa Indonesia. Piah memiliki beberapa hektar kebun pada tahun 1986. Kebun Piah dan keluarganya dipakai untuk perkebunan kelapa sawit milik sebuah perusahaan negara.

Piah dan keluarga mengaku tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perkebunan milik sebuah perusahaan negara tersebut.

"Saat itu kebun kami diambil. Siapa melawan ditembak. Saya ingat waktu itu padi kami siap panen, namun digusur pada malam hari," kenang Piah dengan bahasa Serawai.

Tak terhitung aksi yang dilakukan Piah bersama ratusan petani lain menggugat hak agar tanah dikembalikan. Bahkan, suaminya, Nahadin harus merasakan dinginnya lantai penjara akibat sebuah aksi unjuk rasa beberapa tahun lalu.

Piah mengisahkan, saat suaminya bersama belasan petani lainnya dipenjara, para istri mengalami trauma.

"Para istri yang suaminya dipenjara mengalami trauma. Mereka tak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka berutang," kata Piah.

Piah mengatakan, selama para suami dipenjara, ia menguatkan para istri yang ditinggal. Piah memberikan contoh nyata dengan cara tetap bekerja di ladang untuk menghidupi keluarga menggantikan posisi suami yang ditahan.

"Saya terus turun ke ladang, atau mencari kerja upahan membersihkan kebun orang. Uangya untuk makan anak-anak. Sesekali kalau ada rezeki, kami bersama para istri mengantar makanan ke penjara," kenang Piah.

Saat ditemui Kompas.com, Piah mengatakan, hingga detik ini ia tetap berjuang untuk mengembalikan tanah keluarga yang merupakan kehormatan itu.

"Kami tetap minta pada pemerintah agar tanah leluhur kami dikembalikan. Kami tidak minta lebih dan juga tidak mau terima kurang jumlahnya. Pesan ini akan diwariskan terus pada anak cucu," tutupnya.

Maryam barikade hidup

Maryam (45) adalah perempuan yang tinggal di Desa Rawa Indah, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Maryam merupakan saksi dan tokoh kunci mengusir pertambangan pasir besi yang mengancam menenggelamkan kampungnya.

"Pencarian kami kebun, dan cari lokan di tepi pantai. Pada tahun 2000 kampung kami diancam dengan aktivitas pertambangan pasir besi. Pantai didozer hingga hilanglah kerang makanan bergizi dan pendapatan keluarga," jelasnya.

Maryam dan ribuan warga sempat mengajukan berbagai gugatan dan menggelar aksi unjuk rasa agar izin pertambangan pasir besi di kampungnya dihentikan. 

"Saya tidak dapat menghitung, sudah berapa kali unjuk rasa. Namun biarlah yang penting pertambangan itu angkat kaki dari kampung. Ia merusak lingkungan hidup kami," ujarnya.

Maryam tak begitu mahir dalam orasi saat unjuk rasa. Namun ia merelakan dirinya berada di garis depan menjadi barikade hidup bersama perempuan lain melindungi rakyat dan anak-anak dari pentungan dan pukulan aparat.

"Kami kaum perempuan memiliki keperluan lebih penting atas kondisi lingkungan yang sehat dan bersih. Maka dari itu wajar kalau saya harus berada paling depan meneriakkan ketakutan kami akan lingkungan hidup kampung yang rusak akibat tambang," ujarnya pelan.

Maryam mengaku tak jarang ia mendapati pukulan dari aparat saat menggelar aksi unjuk rasa. Namun baginya, hal itu adalah pengorbanan yang harus ia terima.

Weni, Piah dan Maryam merupakan tiga sosok perempuan pejuang agraria dan lingkungan hidup di Bengkulu. Tiga sosok ini nyaris luput dari amatan publik. Namun, perjuangannya sangat menginspirasi. 

"Tindakan ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa hak kami terganggu, maka wajib diperjuangkan," jelas Maryam.

Perempuan paling rugi

Mia Siscawati, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengatakan ketimpangan agraria mengakibatkan perempuan sebagai korban paling merugi dalam urutan kemiskinan.

Ketimpangan agraria juga menjadikan perempuan berada dalam posisi terburuk dalam klasmen kemiskinan.

Kerusakan sungai akibat limbah membuat perempuan paling rentan terkait kesehatan yang juga dapat mempengaruhi kondisi anak. 

"Kemiskinan akibat ketimpangan agraria dan ingkungan hidup yang buruk menjadikan perempuan lemah. Kesehatan yang buruk melahirkan generasi yang lemah. Ketimpangan agraria berimbas ke mana-mana," ungkap Mia.

Sementara itu, Satyawan Sunito, Direktur Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan, ketimpangan tanah di Indonesia harus diakhiri.

Ia berpesan, sekali tanah diberikan pada Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan atau pertambangan, maka lahan itu tak akan pernah kembali ke masyarakat.

"Sekali HGU diberikan, tanah tak pernah kembali pada masyarakat," tandas Satyawan Sunito.

https://regional.kompas.com/read/2018/06/06/20265561/kisah-srikandi-pejuang-agraria-tanah-adalah-kehormatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke