Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat "Naik Kelas" dan Raih Penghargaan UNESCO

Kompas.com - 08/03/2018, 15:11 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

 

BANTUL, KOMPAS.com - Gerabah adalah kerajinan yang populer di kawasan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di tanah kelahirannya itu, tak heran jika Sidik Purnomo tumbuh menjadi pemuda yang gemar dengan seni mengolah tanah liat.

Kegemaran itu pula yang telah mengantarkan Sidik memenangi Kompetisi Pemuda Kreatif (Youth Creative Competition) yang digelar oleh UNESCO dan Citi Foundation di Yogyakarta belum lama ini.

Pemuda kelahiran 9 Juni 1994 itu mulai belajar serius tentang gerabah sejak duduk di bangku SMK Negeri 1 Rota, Bayat, Jurusan Kriya Keramik. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di jurusan yang sama di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta hingga sekarang.

Ilmunya tentang gerabah juga diperoleh ketika berkesempatan magang di Jepang pada tahun 2013-2014. Dari negeri sakura itu, Sidik belajar bagaimana menghargai gerabah menjadi karya seni tinggi.

Baca juga: Perajin Rotan Asal Aceh, Aminah Beromzet hingga Rp 30 Juta Per Bulan

Bagi Sidik, gerabah memang tidak sekadar bisa dibuat peralatan rumah tangga maupun cenderamata, seperti kebanyakan gerabah yang dijumpai di kawasan Bayat. Namun, gerabah bisa dikreasikan menjadi benda-benda dekoratif, tidak terkecuali peralatan rumah tangga yang memiliki nilai seni tinggi.

"Kalau lihat di Bayat, gerabah hanya dibuat benda-benda itu-itu saja, sejak dahulu sampai sekarang juga masih, harga juga relatif murah. Padahal, gerabah Bayat bisa dibuat dengan teknik tertentu sehingga punya ciri khas, bisa dijual lebih mahal," papar Sidik saat ditemui di studio Kresan Art di Dusun Pringgading RT 1, Desa Goasari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, belum lama ini.

Kata Sidik, tanah liat khas Bayat memiliki keunikan tersendiri dibanding tanah liat dari daerah lain, yakni memiliki warna cenderung kecoklatan. Jika pada tahap terakhir (glasir) menggunakan teknik reduksi akan menghasilkan warna yang menarik dan alami.

"Saya pakai tanah liat dari Bayat, karakteristik beda, dari tekstur dan warna dasar coklat. Saya sering pakai teknik glasir reduksi sehingga ada efek gelap, hasil akhirnya terkesan handmade," ungkap putra dari pasangan Sadiyem dan Sagiman ini.

Kalau gerabah pada umumnya, lanjut Sidik, memiliki dasar warna merah dengan teknik glasir oksidasi akan menghasilkan keramik yang cerah dan bening. Sidik sendiri memakai tungku pembakaran sederhana yang dirakit sendiri.

Baca juga: Mengenal Singgih, Perajin Stik Bambu di Madiun yang Dikenal hingga Luar Negeri

Beberapa gerabah tanah Bayat hasil produksi Sidik Purnomo. KOMPAS.com/IKA FITRIANA Beberapa gerabah tanah Bayat hasil produksi Sidik Purnomo.

Mengangkat gerabah Bayat

Mahasiswa semester VIII itu menambahkan, potensi Bayat tidak hanya terletak pada jenis tanahnya, tetapi juga cara pengolahan yang unik. Warga biasa menggunakan alat putaran dengan teknik miring. Teknik yang berbeda dengan pembuatan gerabah pada umumnya.

Konon teknik ini sudah ada sejak nenek moyang. Sidik ingin teknik putaran miring tetap bertahan di tengah perkembangan gerabah atau keramik era ini.

"Warga di Bayat biasa pakai putaran miring, kalau biasanya kan datar. Mungkin zaman dulu pembuat gerabah adalah para wanita yang pakai kain jarik untuk rok. Jadi kedua kakinya tidak bisa terbuka leluasa seperti kalau pakai celana," ucap Sidik.

Menurut dia, teknik ini sejatinya menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Bayat. Dia pun bermimpi, jika lulus kuliah nanti, akan kembali ke kampung halamannya itu untuk mengembangkan gerabah agar mempunyai nilai seni dan nilai jual yang tinggi.

Sejauh ini Sidik sudah menghasilkan ratusan karya keramik, selain dekoratif dan instalasi, Sidik juga mulai menerima pesanan peralatan makan (table ware), seperti mangkok, cangkir, dan gelas.

Sebelumnya Sidik sudah kerap mengikuti berbagai pameran fine art dan menjadi pemateri workshop.

"Saya memproduksi table ware, kadang-kadang fine art, dan akhir-akhir ini banyak mengerjakan order proyek limited edition, biasanya untuk kebutuhan kafe atau personal. Semua bahan glasir food grade, kecuali timbal, hanya untuk fine art," imbuhnya.

Sidik menjual produknya dengan harga paling murah Rp 30.000 per buah. Meski pemasaran baru sebatas melalui media sosial, pesanan sudah datang dari berbagai daerah, seperti Bali dan Belanda.

Baca juga: Win Bara Biru, Pesulap Limbah Kayu Jadi Miniatur Harley-Davidson

Tanah liat dari Bayat, Klaten, dapat diolah menjadi kerajinan atau seni gerabah/keramik dengan harga tinggi. KOMPAS.com/IKA FITRIANA Tanah liat dari Bayat, Klaten, dapat diolah menjadi kerajinan atau seni gerabah/keramik dengan harga tinggi.

Penghargaan UNESCO

Sidik bersyukur masuk kriteria UNESCO untuk mendapatkan pendampingan sebagai salah satu pemuda kreatif. Setelah menerima penghargaan itu, dia banyak dibantu dalam hal pengelolaan atau manajemen bisnis.

Terlebih lagi, sejauh ini Sidik masih terkendala dengan pemakaian tungku yang masih eksperimen sehingga kurang maksimal. Hasil gerabah akan lebih bagus jika menggunakan tungku konvensional, tetapi harganya mahal, sekitar Rp 20 juta per unit.

Kompas TV Harga yang di jual mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 ribu per satuannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com