Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Tanah Liek, Batik Kuno Minangkabau yang "Bangun" dari Mati Suri

Kompas.com - 03/10/2017, 09:13 WIB
Rahmadhani

Penulis

Hal ini diamini oleh Bambang Hermawanto, seorang perajin dan pebisnis batik tanah liek dari Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.

Pada tahun 2000, pemilik merek Citra Batik ini mencoba menghidupkan kembali semangat pembuatan batik tanah liek ini di tengah masyarakat melalui kegiatan pelatihan.

"Saat Dharmasraya memekarkan diri tahun 2003 lalu, saya membawa batik tanah liek ke Bumi Lansek Manih ini," ucapnya.

Tak hanya menghidupkan kembali produksi batik, dia juga menambahkan satu motif batik yang dikenal dengan motif bunga sawit.

"Hal ini dilatarbelakangi dengan alam Dharmasraya yang dipenuhi kebun sawit," ujarnya.

Kini motif tersebut laku di pasaran dan menjadi ciri khas batik tanah liek Dharmasraya. Bambang tetap memproduksi motif tradisional lain sesuai pesanan, termasuk menerima masukan masyarakat untuk pewarnaan.

"Ada yang menawarkan pada saya lilin madu lebah. Tapi belum saya lihat. Kami cenderung menggunakan pewarna alami, di samping tanah liat yang menjadi ciri khas," ucapnya.

Bangunnya kembali batik kuno ini juga menaikkan harga jual. Kain batik yang dijual Bambang berkisar dari Rp 200.000 hingga Rp 1,5 juta.

Karena peluang bisnis yang menjanjikan. Batik tanah liek juga sudah memasuki rumah-rumah mode di Kota Padang.

Belajar hingga Yogyakarta

Wirda Hanim (62), perajin batik yang meneruskan batik tanah liek dengan merek dagang Citra Monalisa. KOMPAS/M CLARA WRESTI Wirda Hanim (62), perajin batik yang meneruskan batik tanah liek dengan merek dagang Citra Monalisa.
Wirda Hanim, salah satu pelopor pengembangan batik kuno di Kota Padang sejak tahun 1995, menyebutkan, batik asal Sumbar ini dinamakan tanah liek karena menggunakan tanah liek (liat) dalam proses pewarnaannya. Warna tanah liat yang kuning kecoklatan ini akhirnya menjadi warna dasar kain sebelum diberi motif.

Perjalanan Wirda menemukan batik tanah liek ini juga tidak mudah. Awal ketertarikannya terhadap batik ini saat melihat upacara adat di kampung halamannya di Sumanik, Kabupaten Tanah Datar.

Dia melihat batik yang dikenakan para pemuka adat, datuak dan bundo kanduang tersebut sudah lapuk dan robek di sana-sini.

Kain serupa kain lapuk ini pun sudah tidak diproduksi sejak lama. Dengan niat memproduksi kembali batik kuno ini, dia belajar membatik hingga ke Yogyakarta.

(Baca juga: Batik Pesisir Madura yang Berwarna Mencolok dan Menantang)

Usai belajar membatik, kali ini dia harus berusaha keras mencari perpaduan warna yang mirip dengan warna batik tanah liek yang pernah dilihatnya sebelumnya.

Meskipun berhasil membuat perpaduan warna dengan bahan kimia, dia belum puas. Batik yang dihasilkan tidak sama dengan aslinya.

Akhirnya dia kembali ke Kampung Sumanik dan menelusuri proses pembuatannya. Saat itu, baru tahulah dia bahwa pewarnaan batik tanah liek menggunakan getah tumbuh-tumbuhan dan tanah liat.

"Kini namanya sudah dipatenkan menjadi batik tanah liek. Untuk warna digunakan getah gambir, rambutan, pinang, jengkol dan lainnya," ujarnya.

Pembuatannya hampir sama dengan batik pada umumnya, tetapi kain sebelum diberi motif terlebih dahulu direndam dalam air yang sudah dicampur dengan tanah liat. Barulah dibuat motif menggunakan canting dengan model batik tulis.

Setelah motif selesai dibuat, kain lalu diwarnai. Untuk menguatkan warna tanah liek, kain bisa direndam lagi dengan air tanah liat.

Untuk motif, hingga saat ini masih tetap menggunakan motif-motif tradisional yang biasanya juga digunakan untuk ukiran Rumah Gadang, seperti motif itiak pulang patang, kaluak paku, pucuak rabuang, dan lainnya.

Motif ini diambil dari fenomena alam yang terjadi di wilayah Minangkabau dan memiliki filosofi hidup orang Minangkabau. Itiak pulang patang misalnya, diambil dari kebiasaan itik yang berbaris rapi saat akan masuk kandang.

Hal ini melambangkan hubungan mamak atau paman dan kemenakan di Minangkabau. Induk itik sebagai mamak adalah panduan bagi anak itik yang dalam hal ini kemenakan. Dalam kebudayaan Minangkabau, mamak memiliki kewajiban untuk membimbing keponakannya.


 

Kompas TV Fashion show unik ini digelar di jalanan depan Pasar Klewer Solo, Jawa Tengah, Senin (2/10) siang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com